INI memang pameran istimewa. Bukan karena didukung oleh 86 orang
senirupawan Bandung (pelukis pematung, grafikus) yang
menampilkan 220 karya, di Gedung Merdeka 4-11 Januari 1979. Tapi
karena pada pameran LSI (Liga Senirupawan Indonesia) inilah
pertama kalinya karya yang "halus", yang "murni seni"
digabungkan dengan karya dari jenis yang biasanya cenderung
dianggap "bukan seni".
Ada patung But Muchtar: seorang ibu duduk di kursi memangku
anak. Di dekatnya tergantung lukisan S. Saman 47 tahun, berjudul
Corak Dunia. Lukisan itu menggambarkan kerumunan orang
laki-perempuan telanjang yang berebut meraih tumpukan lembaran
uang puluhan ribu rupiah. Lalu patung kayu Surya Pernawa yang
terasa kaku tapi masih enak dipandang. Tak ketinggalan pula
karya Jim Supangkat: sebuah kotak berwarna perak, di atasnya
bertengger lampu merah mobil ambulans atau mobil patroli. Karya
ini karena dianggap mengganggu karya-karya lain, lalu
ditempatkan agak terpisah.
Semua itu, baik karya yang rapi maupun yang "seni rupa baru"
disodorkan begitu saja bersama karya-karya yang biasanya ditolak
oleh lembaga macam Dewan Kesenian Jakarta atau kalangan Seni
Rupa ITB. Yakni lukisan yang biasanya mengisi toko seni (art
shop), dijajakan di pinggir jalan atau kalau di Jakarta disebut
jenis lukisan Taman Surapati. Maka orang pun bisa mendapat
kesan, pameran ini acak-acakan, tidak "diseleksi".
Tapi justru di situ "seninya". Publik dengan demikian punya
pilihan lebih banyak untuk karya yang disukai. Atau menurut
Sidharta, pematung, dosen Seni Rupa ITB dan Ketua Umum LSI: "Ini
pertanda zaman. Semua seni hidup bersama-sama berdampingan."
Lebih-lebih karena LSI sendiri, seperti dikaukan oleh seorang
pelukis yang tak serta karena sesuatu hal, tidak dimaksudkan
untuk memperjuangkan satu konsepsi kesenian tertentu.
Pendirian seperti itu terasa wajar. Apalagi kini, setelah seni
rupa kita mendapat kejutan dari Seni Rupa Baru. Dengan Seni Rupa
Baru batas antara"seni" dan "barang remeh-temeh" dicoba
didobrak. Konsepsi estetik seperti ditantang untuk, bagi yang
menghendaki, diberi perumusan kembali.
Maka lukisan yang disebut "natural" dari tangan Wahdi maupun
yang Taman Surapati, mendapat jalan. Tentu saja tergantung mutu
masing-masing -- tetapi justru pameran ini tidak bermaksud
mempersoalkan mutu. Ini sebuah pameran profesi.
Ceritanya sebenarnya sudah dimulai sekitar 18 tahun lalu. 1960,
IAA (International Association of Art -- badan seni rupa
internasional yang berinduk di Unesco) meminta Indonesia ikut
menjadi anggota. Permintaan itu lewat Direktorat Kesenian. Oleh
Direktorat ditunjuk Affandi mewakili kita. Tapi sampai 1968 IAA
Indonesia tak ada kegiatannya. Padahal yang di luar sana kalau
mau meninjau kegiatan seni rupa sini, salah satunya lewat IAA
itu. Agaknya Affandi maklum: tahun 1968 ia meletakkan jabatan,
sambil mengusulkan agar seniman Bandung saja yang
menggantikannya. Terbentuklah satu presidium Komite Nasional
Indonesia untuk IAA: Popo Iskandar, Mochtar Apin Achmad Sadali,
But Muchtar, Pirous dan G. Sidharta.
Toh, sampai dengan 1977 kegiatannya nol. Bahkan Sidharta pernah
mau berhenti saja, tapi pihak IAA di Paris meminta agar
dipertahankan dulu. Akhirnya terpikirlah sebab kemacetan itu.
para wakil Indonesia itu tidak ditunjuk oleh yang mereka wakili
-- dan orang menganggap sepi saja bila dihubungi. Sebab mulanya
memang tak ada kontak.
Karena itu sejak awal 1978 KNI-IAA menghubungi rekan-rekan
mereka di kota-kota yang dianggap penting: Bandung sendiri,
Jakarta, Yogya dan Surabaya. Kesimpulan: semua pihak sebenarnya
menganggap penting untuk membentuk satu wadah, agar hubungan
kesenirupaan kita dan negara lain bisa lancar. Tapi daerah minta
contoh. "Coba Bandung bikin dulu," cerita Sidharta.
Bandung membentuk pantia 16 orang. 16 orang itu, ditambah
peninjau dari daerah lain, berkumpul tigaharidan sepakat
membentuk LSI tadi. Ditunjuk sebagai pengurus 1978-1980 G.
Sidharta, Mochtar Apin dan Barli sebagai para ketua, lalu
lain-lainnya Wahdi, Onong Nugraha, Oho Graha, Pirous, Jim
Supangkat dan Hidayat.
Tidak Boleh
Lalu siapa yang berhak menjadi anggota LSI Bandung itu? Semuanya
saja. Asal umur sudah 25 tahun, pernah ikut pameran,
berkecimpung dalam profesi seni rupa sudah lima tahun. Dan yang
dimaksud pameran di situ luas: boleh pameran tunggal, bersama
dan di mana saja -- termasuk di toko seni, misalnya. Yang tidak
memenuhi syarat tapi punya prestasi dan ingin masuk LSI, juga
diberi kesempatan. Syaratnya: ada rekomendasi dari
sekurang-kurangnya tiga anggota LSI.
Langsung LSI Bandung memperoleh anggota 86 orang. Ternyata, eh,
banyak nama-nama yang sebelumnya tidak pernah terdengar dalam
percaturan dunia seni rupa kita pada muncul. Aneh juga apa para
seniman yang suka menjajakan karya seni di pinggir jalan
membutuhkan LSI, atau pameran seperti ini? Ternyata ya. "Mereka
ternyata butuh nama juga," artinya bukan duit -- kata Sidharta.
Tapi ada juga yang belum masuk. Pelukis Srihadi misalnya. "Saya
kok tidak lihubungi," jawabnya sehabis menerima hadiah Pameran
Besar Seni Lukis di TIM akhir tahun kemarin. Juga Hendra
Gunawan. Pelukis yang baru tahun lalu bebas dari tahanan ini
konon tidak diperbolehkan -- sampai sekarang -- menjadi anggota
organisasi apa pun.
Musyawarah nasional guna menentukan siapa yang mewakili
Indonesia untuk IAA, agaknya masih harus menungu lama. LSI
Yogya, atau Jakarta dan Surabaya, yang diharap dibentuk
secepatnya, ternyata belum ada beritanya. Padahal IAA Jepang
misalnya sudah menghubungi Indonesia untuk ikut serta dalam
"Pameran Seni Rupa Asia Kontemporer" 1980, di Fukuoka. Apa akan
kita lepaskan begitu saja, apalagi kalau banyak seniman ingin
punya reputasi internasional?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini