Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ini sebuah pameran profesi

Para pelukis, pematung, grafikus yang tergabung dalam lsi menampilkan 220 karya, tidak terbatas pada mutu. lsi merupakan wadah seniman indonesia sebagai anggota dari iaa (international association of art).(sr)

20 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI memang pameran istimewa. Bukan karena didukung oleh 86 orang senirupawan Bandung (pelukis pematung, grafikus) yang menampilkan 220 karya, di Gedung Merdeka 4-11 Januari 1979. Tapi karena pada pameran LSI (Liga Senirupawan Indonesia) inilah pertama kalinya karya yang "halus", yang "murni seni" digabungkan dengan karya dari jenis yang biasanya cenderung dianggap "bukan seni". Ada patung But Muchtar: seorang ibu duduk di kursi memangku anak. Di dekatnya tergantung lukisan S. Saman 47 tahun, berjudul Corak Dunia. Lukisan itu menggambarkan kerumunan orang laki-perempuan telanjang yang berebut meraih tumpukan lembaran uang puluhan ribu rupiah. Lalu patung kayu Surya Pernawa yang terasa kaku tapi masih enak dipandang. Tak ketinggalan pula karya Jim Supangkat: sebuah kotak berwarna perak, di atasnya bertengger lampu merah mobil ambulans atau mobil patroli. Karya ini karena dianggap mengganggu karya-karya lain, lalu ditempatkan agak terpisah. Semua itu, baik karya yang rapi maupun yang "seni rupa baru" disodorkan begitu saja bersama karya-karya yang biasanya ditolak oleh lembaga macam Dewan Kesenian Jakarta atau kalangan Seni Rupa ITB. Yakni lukisan yang biasanya mengisi toko seni (art shop), dijajakan di pinggir jalan atau kalau di Jakarta disebut jenis lukisan Taman Surapati. Maka orang pun bisa mendapat kesan, pameran ini acak-acakan, tidak "diseleksi". Tapi justru di situ "seninya". Publik dengan demikian punya pilihan lebih banyak untuk karya yang disukai. Atau menurut Sidharta, pematung, dosen Seni Rupa ITB dan Ketua Umum LSI: "Ini pertanda zaman. Semua seni hidup bersama-sama berdampingan." Lebih-lebih karena LSI sendiri, seperti dikaukan oleh seorang pelukis yang tak serta karena sesuatu hal, tidak dimaksudkan untuk memperjuangkan satu konsepsi kesenian tertentu. Pendirian seperti itu terasa wajar. Apalagi kini, setelah seni rupa kita mendapat kejutan dari Seni Rupa Baru. Dengan Seni Rupa Baru batas antara"seni" dan "barang remeh-temeh" dicoba didobrak. Konsepsi estetik seperti ditantang untuk, bagi yang menghendaki, diberi perumusan kembali. Maka lukisan yang disebut "natural" dari tangan Wahdi maupun yang Taman Surapati, mendapat jalan. Tentu saja tergantung mutu masing-masing -- tetapi justru pameran ini tidak bermaksud mempersoalkan mutu. Ini sebuah pameran profesi. Ceritanya sebenarnya sudah dimulai sekitar 18 tahun lalu. 1960, IAA (International Association of Art -- badan seni rupa internasional yang berinduk di Unesco) meminta Indonesia ikut menjadi anggota. Permintaan itu lewat Direktorat Kesenian. Oleh Direktorat ditunjuk Affandi mewakili kita. Tapi sampai 1968 IAA Indonesia tak ada kegiatannya. Padahal yang di luar sana kalau mau meninjau kegiatan seni rupa sini, salah satunya lewat IAA itu. Agaknya Affandi maklum: tahun 1968 ia meletakkan jabatan, sambil mengusulkan agar seniman Bandung saja yang menggantikannya. Terbentuklah satu presidium Komite Nasional Indonesia untuk IAA: Popo Iskandar, Mochtar Apin Achmad Sadali, But Muchtar, Pirous dan G. Sidharta. Toh, sampai dengan 1977 kegiatannya nol. Bahkan Sidharta pernah mau berhenti saja, tapi pihak IAA di Paris meminta agar dipertahankan dulu. Akhirnya terpikirlah sebab kemacetan itu. para wakil Indonesia itu tidak ditunjuk oleh yang mereka wakili -- dan orang menganggap sepi saja bila dihubungi. Sebab mulanya memang tak ada kontak. Karena itu sejak awal 1978 KNI-IAA menghubungi rekan-rekan mereka di kota-kota yang dianggap penting: Bandung sendiri, Jakarta, Yogya dan Surabaya. Kesimpulan: semua pihak sebenarnya menganggap penting untuk membentuk satu wadah, agar hubungan kesenirupaan kita dan negara lain bisa lancar. Tapi daerah minta contoh. "Coba Bandung bikin dulu," cerita Sidharta. Bandung membentuk pantia 16 orang. 16 orang itu, ditambah peninjau dari daerah lain, berkumpul tigaharidan sepakat membentuk LSI tadi. Ditunjuk sebagai pengurus 1978-1980 G. Sidharta, Mochtar Apin dan Barli sebagai para ketua, lalu lain-lainnya Wahdi, Onong Nugraha, Oho Graha, Pirous, Jim Supangkat dan Hidayat. Tidak Boleh Lalu siapa yang berhak menjadi anggota LSI Bandung itu? Semuanya saja. Asal umur sudah 25 tahun, pernah ikut pameran, berkecimpung dalam profesi seni rupa sudah lima tahun. Dan yang dimaksud pameran di situ luas: boleh pameran tunggal, bersama dan di mana saja -- termasuk di toko seni, misalnya. Yang tidak memenuhi syarat tapi punya prestasi dan ingin masuk LSI, juga diberi kesempatan. Syaratnya: ada rekomendasi dari sekurang-kurangnya tiga anggota LSI. Langsung LSI Bandung memperoleh anggota 86 orang. Ternyata, eh, banyak nama-nama yang sebelumnya tidak pernah terdengar dalam percaturan dunia seni rupa kita pada muncul. Aneh juga apa para seniman yang suka menjajakan karya seni di pinggir jalan membutuhkan LSI, atau pameran seperti ini? Ternyata ya. "Mereka ternyata butuh nama juga," artinya bukan duit -- kata Sidharta. Tapi ada juga yang belum masuk. Pelukis Srihadi misalnya. "Saya kok tidak lihubungi," jawabnya sehabis menerima hadiah Pameran Besar Seni Lukis di TIM akhir tahun kemarin. Juga Hendra Gunawan. Pelukis yang baru tahun lalu bebas dari tahanan ini konon tidak diperbolehkan -- sampai sekarang -- menjadi anggota organisasi apa pun. Musyawarah nasional guna menentukan siapa yang mewakili Indonesia untuk IAA, agaknya masih harus menungu lama. LSI Yogya, atau Jakarta dan Surabaya, yang diharap dibentuk secepatnya, ternyata belum ada beritanya. Padahal IAA Jepang misalnya sudah menghubungi Indonesia untuk ikut serta dalam "Pameran Seni Rupa Asia Kontemporer" 1980, di Fukuoka. Apa akan kita lepaskan begitu saja, apalagi kalau banyak seniman ingin punya reputasi internasional?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus