Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Soalnya memang jarang

Nuzurlis koto & toto riboedijanto merupakan seniman yang kedua kali berpameran keramik yaitu keramik yang dibuat sebagai seni bentuk. terasa karya mereka masih belum memberi bentuk khas.(sr)

20 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG bikin keramik itu jarang. Yakni keramik yang dibuat sebagai seni bentuk, bukan seni pakai. Entah itukah sebabnya Dewan Kesenian Jakarta baru dua kali mengadakan pameratl keramik -- sejak berdirinya tahun 1968. Pertama keramik llilda Sidharta tahun lalu. Kedua, karya dua senirnan nIuda Nuzurlis Koto dan Toto Riboedijanto. 10-21 Januari 1979 ini. Memang, dulunya keramik itu seni pakai: vas dan pot bunga, guci, gelas dan cangkir, asbak dan tetek bengek lain. Di Jawa Tengah, yang disebut grabah ialah perkakas dapur yang dibuat dari tanah liat, kemudian dikeraskan dengan bakar. Itulah keramik -- yang arti -- dasarnya memang tanah liat yang dibakar. Pendekatan seorang seniman pada keramik pun bisa macam-macam. Hilda tempo hari lebih menekankan kemungkinan yang bisa diperoleh lewat proses. Dia bernnain dengan proses -- bukan bentuk dulu lalu diproses. Itu Hilda. Sementara yang banyak ialah mencipta bentuk lewat media keramik. Dan bentuk di situ bisa bentuk sebagai bentuk bisa juga bertolak dari bentuk tradisionil atau sebut saja bentuk pakai. Baik Toto Riboedijanto maupun Nuzurlis, keduanya bertolak dari bentuk pakai tadi ujud vas bunga atau celengan. Itulah kenapa Nashar, anggota DKJ dalam pembukaan pameran ini mengatakan keramik-keramik ini merupakan upaya pencarian dengan jalan deformasi bentuk. Hanya dilihat sebagai barang seni, keramik kedua insan ini belum memberi bentuk khas. Deformasi di situ terasa sekedar mau lain, supaya tidak memberi kesan keramik pakai. Misalnya bentuk vas bunga yang kemudian dilobangi pada sisinya, lalu diberi semacam tanduk. Atau bentuk jambangan bunga juga, diberi tonjolan-tonjolan bulat pada dindingnya. Atau bentuk semacam katak, dikombinasikan dengan lain-lainnya. Hasilnya entah apa. Coba anda lihat keramik kuno di Museum Pusat misalnya. Ambil yang paling sederhana: sebuah guci tua. Meski dulu itu hanya digunakan untuk tempat menyimpan air atau anggur, mungkin, ternyata kwa bentuknya sendiri sudah enak dilihat. Dinding yang menggelembung itu ada rasanya. Bukan sekedar bentuk, tapi seolah ada gerak kembang kempis. Cobalah dicek. Nah, bentuk yang menyarankan rasa itulah yang minus pada karya Nuzurlis maupun Toto. Yang terasa adalah bentuk yang meski bervolume, kesannya datar. Lagi terlalu banyak tonjolan yang tidak perlu. Berlebihan, kurang selektif. Teknis juga membuat kita ragu. Misalnya retakan pada beberapa karya. Andai itu kesengajaan, nyatanya kita mendapat kesan sebagai kecelakaan. Nah: kalau memang kecelakaan, kenapa dipamerkan? Mungkin DKJ melihat potensi mereka yang masih punya kemungkinan untuk jadi berkembang. Tapi satu-satunya yang bisa diterima ialah: kalau DKJ bertolak dari kenyataan, bahwa yang bikin keramik sebagai barang seni memang jarang. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus