Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Membawakan lagu Onde-onde, mereka bernyanyi bergantian. Sesekali perempuan berkebaya dengan bawahan jarik batik itu meliuk-liukkan suaranya. Saat lain giliran vokalis lelaki, berpakaian adat Betawi, lengkap dengan peci, yang menyanyi. Lia dan Sumitra, kedua penyanyi itu, berdendang penuh penghayatan sambil bergoyang ringan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka diiringi sejumlah laki-laki yang memain alat musik, ada yang duduk dan ada pula dalam posisi berdiri. Sementara itu, dua perempuan lain, yang duduk di salah satu sudut, sesekali menggerak-gerakkan tangannya dan bertepuk mengikuti irama musik. Mereka bukanlah anak-anak muda, semua penyanyi dan pemusik itu telah berusia tua. Mereka tergabung dalam kelompok musik gambang kromong Sinar Baru, Bogor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam itu, Senin, 7 November 2022, mereka tampil dalam acara International Ethnic Music Festival di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Dalam pergelaran Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta itu, mereka membawakan beberapa lagu, seperti Jali-jali, Si Ronda, Renggong Manis, Kudehel, Balo-balo, Stambul Bilah, dan Akang Haji. Bahkan, pada salah satu lagu, mereka mengajak penonton naik ke panggung dan bergoyang bersama. Sejumlah penonton pun menyambutnya dengan antusias.
Sinar Baru bermarkas di Gunungsindur, Bogor. Kelompok ini dipimpin oleh Ukar Sukardi sejak 1985. Sebelumnya, grup ini bernama Gaya Muda, dipimpin oleh ayah mertuanya. “Saya penerus. Ini kepunyaan orang tua,” kata Ukar, seperti dikutip Antara. Kelompok ini tetap eksis dan memainkan lagu-lagu sayur (populer), termasuk lagu yang langka dan jarang dimainkan serta terancam punah.
Grup musik Sinar Baru asal Bogor tampil dalam di International Ethnic Festival 2022, di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, 7 November 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Ukar, yang mulai menyenangi dan memainkan musik gambang kromong sejak remaja, bersama kelompoknya masih kerap menerima undangan manggung di berbagai acara, seperti hajatan pernikahan dan ulang tahun. Para anggotanya yang sudah berusia lanjut tetap setia menghidupkan kelompok musik tradisi Betawi ini.
“Dulunya lenong, tapi sekarang diganti jadi gambang kromong,” tutur Marta Uban, salah satu anggota pengurus Sinar Baru. Marta berharap kebudayaan ini bisa diteruskan ke generasi selanjutnya. “Kami berharap, dengan adanya acara ini, gambang kromong bisa lebih dikenal lagi. Dilestarikan gitu.”
Nama gambang kromong berasal dari alat musik gambang dan kromong. Namun, dalam sebuah pertunjukan, tak hanya ada dua alat musik itu, terdapat juga sejumlah alat musik lain, seperti gamelan, kongahyan, sukong, tehyan, gong, kempul, gong enam, ningnong, dan kecrek. Sebagian alat musik itu berasal dari Cina. Jadi, orkes gambang kromong merupakan perpaduan musik Betawi dan Cina.
Tak hanya gambang kromong, International Ethnic Music Festival ketiga yang berlangsung dua hari itu, 7-8 November lalu, juga menghadirkan sejumlah kelompok musik lain, seperti Rapai Pase (Aceh), Timur Jauh (Ternate), Riau Rhythm (Riau), Kadapat (Bali), Leon Gilberto Medellin (Meksiko), Cristina Duque (Ekuador), dan Victor Hugo (Meksiko). Festival itu pun diwarnai dengan diskusi musik dan master class.
Festival ini pertama kali diselenggarakan pada 2019 dengan nama Etno Musik Festival. Kemudian pada 2021 berganti nama menjadi International Ethnic Music Festival karena melibatkan para pemusik tradisi dari luar negeri. Festival itu dimaksudkan sebagai ruang apresiasi bagi para pemusik tradisi, baik di Nusantara maupun di dunia internasional.
Berbeda dengan tahun lalu yang diadakan secara virtual, festival musik tersebut pada tahun ini dilaksanakan secara tatap muka. “Musik tradisional tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat,” ucap Cholil Mahmud, Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Ia mengatakan musik tradisi masih perlu dukungan, terutama dari pihak pemerintah bisa memberikan bantuan, seperti memfasilitasi kegiatan mereka.
Vokalis Efek Rumah Kaca itu mengatakan festival ini merupakan ajang internasional yang mempertemukan pembicara dan pelaku musik tradisi dari Indonesia serta luar negeri, yang secara tidak langsung menjadi medium untuk memperkenalkan musik tradisional Indonesia ke lingkup internasional. “Dalam perkembangannya, musik tradisi masih meraba-raba untuk membangun struktur kerjanya.” ucap Cholil kepada Tempo, Selasa lalu.
Grup musik Sinar Baru asal Bogor tampil dalam di International Ethnic Festival 2022, di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, 7 November 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Imam Firmansyah, anggota Komite Musik DKJ, menambahkan, festival ini diharapkan bisa mendorong terjadinya dialog antar-musikus tradisional di tengah zaman yang terus berubah, sehingga memunculkan gagasan-gagasan inovatif dalam pelestarian dan pengembangannya. Dengan demikian, musik ini bisa terus relevan dengan pendengar masa kini yang umumnya kaum muda. “Banyak yang perlu diperkenalkan dari kedahsyatan musik tradisi Indonesia,” tutur Imam.
Malam pertama acara itu, selain gambang kromong, tampil pula kelompok Rapa'i Pase Raja Buwah asal Aceh Utara. Delapan pria berpakaian khas Aceh itu memainkan alat musik perkusi ukuran besar. Alat musik tersebut digantungkan pada sebuah tiang besi yang kemudian dipukul menggunakan tangan sehingga menghasilkan irama tertentu.
Ruangan yang gelap dengan hanya disinari cahaya dari panggung membuat suasana makin mencekam. Suara dentuman dari rapai membuat ruangan sedikit bergetar. Para penonton seakan-akan sedang menyaksikan sebuah upacara adat. “Dengan pertunjukan ini, kami ingin menyampaikan ke masyarakat bahwa ini adalah peninggalan dari Kerajaan Samudera Pasai,” ucap Muhammad Balia, salah seorang anggota kelompok ini.
Ia menjelaskan bahwa kesenian ini dibawa bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara melalui Samudera Pasai oleh para syekh dari Timur Tengah. “Namanya Syekh Rafa’i, makanya dinamakan Rapai. Sedangkan Pase ini diambil dari nama Kerajaan Samudera Pasai, makanya dinamakan Rapai Pase,” ucap pria asal Aceh tersebut.
Balia mengatakan ia dan rekannya sudah mempersiapkan pertunjukan ini dari jauh hari. “Kami ada latihan rutin dan juga ada acara adat di kampung-kampung.” Ia mengatakan biasanya rapai Pase dimainkan pada waktu tertentu, seperti saat panen padi dan upacara adat lainnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo