PRIA itu menarik papan beroda yang dipenuhi puluhan kokeshi, boneka kecil tradisional Jepang. Di punggungnya menempel baling-baling. Sebuah mobil-mobilan dikendalikan remote control hilir-mudik di lantai. Ia menumpuk tiga kursi. Seorang wanita membuka jubahnya, dadanya telanjang. Di atas kursi, sang pria menarik tali hingga kitiran itu berputar, lalu berteriak: "Aku ingin dicintai." Perempuan itu girang, dengan buah dada terbuka, berlari meloncat-loncat mengitari panggung.
Apakah itu klimaks pertunjukan? Tentu saja bukan. Panggung menggulirkan adegan, seperti memulai pertunjukan dari awal. Tiga orang berpakaian putih duduk rileks. Melakukan improvisasi kaki. Paha diangkat kecil-kecil. Telapak kaki dijinjitkan. Tumit diketuk-ketuk ke lantai, selonjor. Dentingan piano terasa menenteramkan. Pappa Tarahumara ingin mereflesikan trauma 1930-an, era Perang Dunia II. Sebuah masa ketika cinta adalah fatamorgana.
Tetapi kelompok ini tak berpretensi menyampaikan makna tertentu. Kritikus Sho Suzuki menggolongkan Pappa Tarahumara dan Dumb Type, sebuah grup tari multimedia canggih dari Kyoto, sebagai kelompok yang tak bisa dikategorikan dengan tari kontemporer Jepang sebelumnya. Di masa lalu, ketika Jakarta dikunjungi Sankai Juku, Kota Yamasaki, atau kolaborasi Don Feng (Makoto Sato, Teru Goi, Keiko Takeya, Naraphong Charassri), kita menyaksikan eksplorasi tubuh dan gerak kelompok tari kontemporer Jepang yang liar. Tapi, secara keseluruhan, kita menangkap sesuatu yang sublim.
Malam itu, kita tak memperolehnya. Dibandingkan dengan pertunjukan karya kelompok tari kontemporer Jepang lainnya, Love Letter terasa abstrak. Runtuhnya harapan, oleh koreografer Hiroshi Koike, ditampilkan bukan dengan strategi memunculkan motif yang mengikat adegan demi adegan. Akhir pertunjukan tidak menyajikan imaji yang utuh. Kesendirian, ketidakberdayaan memperoleh cinta, justru ingin ditampilkan lewat gelombang irama pertunjukan.
"Semuanya tiba-tiba, tahu-tahu muncul, tahu-tahu hilang," tutur Koike, sang sutradara. Koike, 45 tahun, terpukau oleh pengertian waktu praindustri, yang berbeda dengan pemahaman waktu dunia modern yang mekanik. Itulah sebabnya kelompoknya diberi nama Pappa Tarahumara, yang diinspirasikan dari terjemahan tulisan Antonin Artaud berjudul Le Rite du Peyotl chez les Tarahumaras, yang berkisah tentang cara hidup suku Indian Meksiko. "Saya tercekam mendengar cerita Artaud, soal ruang yang bergerak tak terduga, bagaimana hutan bergoyang, ternyata ribuan kupu-kupu terbang," kata Koike kepada TEMPO.
Konsep waktu demikianlah yang tampaknya mendasari ritme pertunjukan Love Letter. Sepanjang pertunjukan, banyak adegan yang berangkat menuju puncak dan tiba-tiba diserakkan, berantakan, lalu dibangun kembali. Tak ada keajekan atau kontinuitas. Ketika para penari sampai pada titik gembira untuk menyanyi, mereka melakukan gerak bersama. Dengan ayunan lengan lebar-lebar, dan dinamika gerak cepat, tajam, bertenaga. Sesaat kemudian, tiba-tiba kembali minimal lagi, langkah-langkah kecil berjingkat.
Suatu kali, adegan telah menapak pada monolog panjang penari utama (Mariko Ogawa). Tapi terdengar lengkingan suara. Musik memuncak pada derum otomatik mesin pabrik. Terjadi perubahan gelap-terang yang tak diduga. Tiga lampu kap meluncur dari atas, panggung kuning temaram. Kesyahduan itu tak berlangsung lama. Alur yang penuh pembatalan merupakan metafora cinta yang tak dapat diraih.
Dengan spirit seperti itu, harus diakui bahwa bagian akhir, yang menampilkan interaksi antara aktor dan ruang benda, adalah yang mencerminkan kekuatan Pappa Tarahumara. Hampir semua kritikus asing menyebutkan, kedahsyatan Pappa Tarahumara sesungguhnya terletak pada pengolahan multimedia. Di Singapura Art Festival tahun lalu, dalam pentas berjudul Spring Time, kelompok ini menampilkan sebuah kepala virtual yang seolah melayang di panggung. Pentas menjadi baluran fantasi dan mimpi. Ini karena pada setiap pertunjukan mereka memiliki tim khusus desain kreatif untuk menciptakan properti imajinatif. Sayang, penonton Indonesia tak bisa menyaksikan kejutan-kejutan estetik semacam itu karena yang dibawa ke Jakarta bukanlah karya multimedia.
Love Letter bisa disebut karya Pappa Tarahumara yang sederhana dalam penggunaan teknologi. Ia adalah seri kedua dari sebuah karya tetralogi: berjudul WD (What We Have Done). Bagi yang penat menonton, Love Letter lebih merupakan fragmen-fragmen yang tak berhubungan satu sama lain. Adegan-adegan melantur berliaran tanpa klimaks, tanpa menuju akhir yang menggetarkan. Tapi, bagi yang menyukainya, karya ini adalah penjelajahan ritmis yang baru.
Pertunjukan ini ditutup dengan adegan laki-laki berbaling-baling duduk termangu menghadap patung-patung kecil bersosok perawat, polisi, dan tentara. Bagaimanapun, Koike adalah generasi koreografer Jepang yang merasa tersiksa dengan masa lalu Jepang.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini