Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rambut panjang yang tergerai di samping wajah putihnya berwarna kuning. Kedua matanya hanya ditandai dengan sepasang tanda silang. Pada bagian mulutnya, mencuat kerucut panjang seperti alat pelantang suara berkelir hitam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sosok separuh badan itu juga memegang gelas untuk minuman anggur dengan tangan kanannya. Tulisan seperti "take beer" mengiringi di sudut kanan bawah. Agar lebih mengentalkan narasi karyanya, lukisan pada kanvas berukuran kurang dari 1 meter persegi itu dipasangi sehelai sarung pada latar belakangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berjudul Bahar, lukisan karya Ahmad Faisal Imron itu dipamerkan bersama karya empat seniman lain di ruang bawah tanah Rumah Seni Ropih, Bandung. Bertajuk "Absolute", pameran berlangsung pada 15-20 Desember 2018 dan dikuratori Anton Susanto. Selain Ahmad Faisal, ada Isa Perkasa, Nandanggawe, Rudi St Darma, dan Arman Jamparing.
Dua lukisan lain dengan kanvas berukuran serupa dan ditempeli sarung juga berderet di sebelahnya. "Temanya sama, tentang Islam," kata Ahmad Faisal di sela pembukaan pameran, Sabtu lalu.
Seniman kelahiran Bandung, 25 Desember 1973, itu merasa galau dengan kondisi Islam di negara ini. Sementara hadis Rasulullah SAW menyatakan Islam kelak terpecah menjadi 70-an aliran, yang dirasakan Ahmad malah sudah lebih. "Mungkin sudah 70-an ribu, seperti ada Islam speaker dan lain-lain," ujar perupa yang menetap di sebuah pondok pesantren di Bandung Selatan itu.
Yang membuatnya miris adalah soal kekerasan dan perpecahan di kalangan umat Islam. "Perbedaan apa pun hal wajar, tapi sekarang diruncingkan dengan konflik," ucapnya.
Seniman lain, Rudi St Darma, lulusan Universitas Pendidikan Indonesia, memajang karya 60 gambar (drawing) di atas kertas bergaris. Judulnya Pada Suatu Hari. Arman Jamparing, dengan gaya khas street art, menuangkan gambar cetakan dan kolase dengan cat semprot di lembaran plastik.
Sementara itu, Isa Perkasa, lulusan seni rupa Institut Teknologi Bandung, mengusung aneka bentuk karya bertema jagat. Ada lukisan besar bergambar gergaji yang mengarah ke bola dunia. Ada pula sebuah globe seukuran kap lampu taman, yang diletakkan di lantai, dikelilingi tali pengukur yang serabutan.
Karya Isa lainnya berupa kompor minyak tanah yang dipasangi lampu seolah-olah api. Di atasnya, wajan besar menindih bersama gambar peta Indonesia. "Kekaryaan ini tentang jagat, dunia, dan manusianya," tutur Isa.
Adapun Nandanggawe, seniman dari Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, masih setia dengan seni berbentuk kolase. Berjudul Ndankenstein Circus Series, karya kolasenya masih terkait dengan karya sebelumnya. "Setengah kolase baru, sisanya yang dulu," katanya.
Sebagai warisan pertunjukan dunia yang menghibur, sirkus biasa menyajikan akrobat, sulap, dan badut. Sirkus juga menghadirkan aneka rasa sekaligus dalam satu rangkaian peristiwa, seperti keindahan, ketegangan, kekaguman, juga humor. Kini, menurut Nandang, pola sirkus telah merembes dan menyebar dalam realitas keseharian.
Melalui teknik kolase dengan media berupa potongan gambar dari majalah bekas, tubuh dalam karya bertajuk sirkus ini adalah subyek sekaligus obyek. "Tubuh kolase yang tak bisa lagi dibaca sebagai identitas tunggal," ujarnya. Tubuh menjadi serpihan tanda dari persilangan teks yang berserak makna tak ubahnya potongan puzzle yang tak selesai dibentuk.
Nandang mengatakan ia bersama teman-temannya tidak mengikat karya terbarunya dalam pameran ini dengan satu tema khusus. Masing-masing bebas berkarya dengan ide dan persoalannya, yang ternyata banyak terkait dengan masalah hidup keseharian. Rencananya, mereka akan berpameran lanjutan tahun depan dengan tambahan karya seniman Bandung lainnya. ANWAR SISWADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo