MAX HAVELAAR Pemain: Peter Faber, E.M. Adenan Soesilaningrat, Rutger Hauer, Maroeli Sitompul, Herry Iantho, Rima Melati Skenario: Gerard Soeteman, Hiswara Darmaputera Sutradara: Fons Rademakers LIMA belas tahun sebelum ditunjuk sebagai asisten residen Lebak, Max Havelaar mengaku sudah berkeliling di Tanah Priangan dan bertemu dengan banyak pelarian dari Lebak (lihat buku Max Havelaar, terjemahan H.B. Jassin, halaman 205). Informasi itu mewakili tokoh utama film ini, dalam posisinya sebagai seorang pelaku sejarah. Dalam bab XVII buku yang sama, bekas asisten residen itu membuat pengakuan yang menarik. "Saya tidak tahu apakah Saijah cinta kepada Adinda ..., tidak tahu apakah ia meninggal di Lampung kena bayonet Belanda .... Tapi saya tahu lebih banyak dari semua itu. Saya tahu dan saya dapat membuktikan bahwa banyak orang seperti Saijah ...." Inilah bagian fiktif dari buku Max Havelaar, bagian di mana pelaku sejarah itu berubah fungsi menjadi saksi sejarah, dan pada saat yang sama seakan mencoba jadi juru bicara buat orang pribumi. Tapi untuk peran yang disebut terakhir ini, Max Havelaar dicurigai. Ya, bagaimana seorang ambtenaar, aparat kolonialis Belanda, bertindak jadi "juru bicara" pribumi ? Namun, patut digarisbawahi bahwa kecurigaan itu sudah diramalkan sebelumnya oleh Max Havelaar sendiri. "Oh, semoga saya dipanggil untuk membuktikan apa yang saya tulis! Oh, semoga orang berkata, Saijah itu hanya khayalan Anda ..." (buku Max Havelaar, halaman 300-301). Dari kalimat ini terungkap jelas, betapa tajam Max Havelaar -- seperti dikisahkan Multatuli -- mengendus kontroversi yang kelak akan timbul sekitar dirinya, terutama sebagai saksi sejarah dan "juru bicara" inlander. Tapi sesudah menonton film Max Havelaar, yang beredar pekan ini, adalah penting untuk pertama-tama menegaskan bahwa tim penulis skenario dan sutradara Fons Rademakers tidak terperangkap oleh kontroversi itu. Mereka tampaknya tidak punya alasan untuk mencurigai Max Havelaar, tapi di samping itu mereka juga tahu membuat jarak dengan tokoh ini. Mereka bekerja dengan konsep sederhana: hati nurani yang dibimbing akal sehat. Hasilnya sebuah film cerita dengan masa pemutaran 2,5 jam, yang dengan segenap ketelitian filmis mencoba mengangkat kisah penderitaan rakyat Lebak, lewat -- kaca mata asisten residen Max Havelaar. Hasilnya patut dipuji. Mengapa? Jika banyak pihak seakan menuding Max Havelaar sebagai "juru bicara inlander", film ini sejak awal -- sekali sudah memastikan bahwa asisten residen itu bukanlah juru bicara siapa-siapa. Dia semata-mata seorang ambtenaar aparat kolonialis Belanda, dan tiap detik masa jabatannya itu dia nikmati dengan sukacita. Gambaran wataknya kian nyata dalam dialog antara Max dan istrinya, Tine. sesaat sesudah menerima surat pengangkatan sebagai asisten residen Lebak. Mengetahui pos baru itu, Tine luruh antusiasnya. "Lebak daerah miskin," ucapnya ketus. Sang suami segera membenarkan, tapi cepat juga membuat perhitungan. Justru karena miskin, Lebak bisa merupakan batu ujian bagi kariernya. Jika ia sukses disana, jenjang berikutnya: residen tak sulit dicapai. Dari situ terbuka jalan ke jenjang lebih tinggi: gubernur jenderal. Kalkulasi ini diutarakan Max Havelaar dalam nada rendah, tapi dengan tekanan pada tiap kata. Jelas di sini bahwa dia seorang aparat tulen. bahkan berambisi menjadi orang pertama dari sistim penjajahan Belanda di negeri ini. Bahwa dalam melaksanakan kewajibannya Max Havelaar tidak sama dengan ambtenaar lainnya tentulah wajar sekali. Bahwa jabatannya tidak membuat ia kurang ajar pada wanita pribumi, ini juga masuk akal. Bahwa ia berpendapat inlander berhak di perlakukan lebih adil dan hidup lebih layak, ini juga tidak terlalu altruistik. Memang, sebuah sistim bisa mengubah banyak orang, tapi tidak semua orang. Max Havelaar adalah kekecualian, yang dampak sejarahnya ternyata begitu besar. Agaknya, inilah pesan yang berusaha disampaikan film ini, di samping beberapa pesan kecil lainnya. Misalnya tentang seorang bupati pribumi dan bawahannya yang menindas rakyatnya sendiri. Film ini tanpa dramatisasi menggambarkan bahwa hal itu bukanlah aib yang mustahil. Sampai kapan pun hal yang sama bisa ditemukan, dengan atau tanpa penjajahan. Misalnya lagi, rakyat Lebak itu cuma bisa pasrah, sama sekali tanpa protes, tinggal Adinda yang berusaha setengah-setengah dan bayi yang melengking keras. Sementara itu, yang lainnya diam, diam, diam .... Penonton yang masih bisa jujur akan mengakui bahwa kalaupun tidak terjadi di Lebak, toh massa yang diam bisa ditemukan kapan saja, dalam masyarakat terjajah ataupun tidak terjajah. Masalahnya kini terpulang pada penonton sendiri. Lebih dari satu abad sesudah Max Havelaar meninggalkan Hindia Belanda, adakah sosok humanisme yang dibawanya masih terlalu besar untuk ukuran kedewasaan kita? Adakah? Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini