Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tsumura Reijiro, 73 tahun, maestro Noh dari aliran Kanze, berganti topeng perempuan sampai tiga kali. Setiap muncul, ia juga mengenakan kostum berbeda. Gaun "kimono"-nya berlapis-lapis dari warna jingga hingga merah. Membawa kipas, ia memerankan dewi penguasa Danau Batur, Bali, bernama Dewi Danu. Topeng perempuan Jepang pertama dan kedua pipinya sedikit tembem dibanding topeng Panji-kita mengandaikan ia memerankan gadis genit-cantik. Tapi suara yang keluar dari balik topeng itu tetap suara laki-laki-yang menggeram. Yang diucapkan dengan intonasi lambat, tertahan, bagai suara erangan dari dalam.
Dan topeng terakhir yang dikenakannya di Teater Terbuka Museum Topeng, Ubud, adalah topeng berparas perempuan tua. Dewi Danu turun ke bumi dalam wajah aslinya (yang sebelumnya menyamar dalam bentuk manusia). Reijiro berjalan tertatih ke panggung, membawa gulungan kain. Ia memerankan sosok Dewi Danu yang membopong anak hasil perkawinannya dengan Sri Jaya Pangus, pangeran Bali.
"Topeng yang saya pakai untuk memerankan Dewi Danu adalah topeng Yamamba. Dalam tradisi Noh, topeng ini sakral. Menampilkan kekuatan alam. Roh gunung," katanya kepada Tempo sebelum pertunjukan.
Dewi Danu dalam mitologi Bali kuno adalah dewi penunggu Danau dan Pegunungan Batur. Suatu hari Sri Jaya Pangus, penguasa Kerajaan Balingkang, bermeditasi di Batur. Jaya Pangus, yang memiliki istri seorang perempuan dari Cina, Kang Ching Wie, saat itu tengah memohon dikaruniai momongan. Dewi Danu terpesona oleh Jaya Pangus. Ia menggodanya. Penunggu danau itu akhirnya bersanggama dengan sang raja sampai memiliki anak. Karena Jaya Pangus lama tak kembali, Kang Ching Wei mencarinya sampai ke Danau Batur. Tiga sosok itu lalu bertemu. Terjadilah konflik percintaan segitiga.
Kisah itu secara improvisatoris ditarikan Tsumura Reijiro bersama penari Yogyakarta, Didik Nini Thowok, dan penari Bali, Ni Wayan Sekariani. Didik memerankan Kang Ching Wie dan Ni Wayan Sekarini memainkan Jaya Pangus. Reijiro sendiri belum pernah mendengar kisah itu. Yang mempertemukan mereka adalah sutradara asal Jepang, Koyaro Tetsuno. Tetsuno sendiri adalah pemain gamelan Bali yang telah malang-melintang di Bali dan terakhir tahun lalu memainkan Calon Arang dengan komunitas W.B. Cudamani, Ubud.
"Saya membawa Master Tsumura Reijiro ke Danau Batur agar dapat merasakan suasana mitologi Dewi Danu," ujar Tetsuno. Dia mengatakan mereka naik ke atas bukit bertemu dengan pemangku Pura Dalem. "Saya mulanya mengira Danau Batur kecil, tapi ternyata besar. Dan gunungnya juga tinggi. Suasana alam di sini sangat kuat. Saya langsung merasa topeng Yamamba cocok dengan Dewi Danu," kata Reijiro.
Master itu mengungkapkan dalam tradisi Noh sendiri ada khusus pentas berjudul Yamamba. Nomor itu menampilkan bagaimana roh halus menceritakan kepada manusia tentang kisah-kisah reinkarnasi. Kisah-kisah bagaimana dalam kehidupan tidak ada baik-buruk, tidak ada yang mati. "Di Danau Batur, spirit Yamamba itu saya tangkap," ucap Reijiro.
Legenda Dewi Danu, Jaya Pangus, dan Kang Ching Wie adalah mitologi kuno jauh sebelum Dinasti Wamardewa di Bali melahirkan Udayana dan Erlangga pada abad ke-10 Masehi. Atau setelah Bali ditaklukkan Majapahit, pada abad ke-14, yang melahirkan generasi Raja Kepakisan, Gelgel, sampai Klungkung. Kisah Jaya Pangus dan Kang Ching Wie boleh jadi merupakan sedimen dasar yang menjelaskan bagaimana Bali sesungguhnya sangat dipengaruhi kultur Cina.
Bukan kebetulan Koyaro Tetsuno mengajak Didik Nini Thowok terlibat proyek ini. Pada 2004, Didik sudah blusukan di desa-desa Batur untuk meneliti kisah perkawinan antarbangsa ini. "Saya sampai ke Pura Dalem Balingkang di daerah Kintamani, Bangli. Di sana ada palinggih pemujaan untuk Kang Ching Wie," kata Didik.
Ia tertarik mempelajari sosok Kang Ching Wie. Di Jawa memang ada perkawinan pangeran dengan permaisuri Cina, tapi tidak menjadi mitologi semenonjol di Bali. "Saya kira asal-muasal barong dan uang kepeng dalam upacara-upacara Bali dari kisah Kang Ching Wie ini," ujarnya.
Menurut Didik, sebetulnya ada banyak versi percintaan Jaya Pangus dan Dewi Danu serta Jaya Pangus dan Kang Ching Wie. "Ada yang bilang mereka punya anak, ada yang bilang tidak," katanya. "Dalam survei saya di pedesaan Batur, ternyata banyak penduduk yang keturunan Cina."
Sebagaimana Didik, Koyaro Tetsuno sebelumnya menyusuri Pegunungan Batur. Ia keluar-masuk pura-pura di sana dan menggali cerita-cerita kuno dari penduduk. Ia bahkan mendengar dari mulut ke mulut bahwa ada sebuah desa terpencil di Pegunungan Batur yang masih menyimpan sebuah barong kuno. Ada kemungkinan itu barong tertua di Bali. Namun sampai kini ia belum menemukan desa itu. Yang jelas, Danau Batur sampai sekarang adalah salah satu sumber mata air Bali. Tetsuno kagum sampai kini masih ada upacara setempat yang mempersembahkan sesajen untuk dewi. "Di Batur masih ada ritual melemparkan sapi di danau. Sapi itu dibawa dengan sampan, lalu ditenggelamkan di tengah-tengah danau. Itu sebagai bentuk kepercayaan agar air danau tak habis," ujarnya.
Legenda perkawinan Jaya Pangus dan Kang Ching Wie di sisi lain menarik karena mengandaikan kemultikulturan Bali. Akar kebudayaan Bali sesungguhnya menerima dan mengolah pengaruh dari luar. Bali bukan identitas yang tertutup.
Agaknya unsur kebinekaan itu yang menjadi rujukan ketika Bali Safari & Marine Park didirikan pada 2007. Di lokasinya dibangun sebuah teater dengan 1.400 kursi yang tiap hari secara kolosal mementaskan kisah Jaya Pangus dan Kang Ching Wie. Disutradarai Peter J. Wilson dan I Made Sidia serta musik ditata oleh Chong Lim, tiap hari, pukul 3 sore, kita bisa menyaksikan pertunjukan spektakuler. Ratusan pemain yang didatangkan secara bergantian dari berbagai banjar muncul silih berganti dengan set yang selalu bergerak, berubah-ubah. Pertunjukan ini berbeda dibanding tontonan lain karena di panggung juga dihadirkan gajah, singa, dan unta hidup.
Tatkala masuk panggung, Jaya Pangus datang dengan seekor gajah besar. Ketika Kang Ching Wie muncul, di panggung mendadak ada moncong sebuah kapal kayu. Dan dari lambungnya kemudian muncul saudagar Cina yang membawa macan, unta, dan binatang-binatang lain saat peperangan Dewi Danu dan Kang Ching Wie. Kalau pertunjukan terasa verbal dan sarat pengenalan kisah, tontonan ini memang diniatkan untuk konsumsi turis yang tujuan utamanya memang menonton binatang-binatang di Bali Safari. Dipastikan anak-anak akan berteriak melihat harimau muncul dalam pertunjukan ini.
Meski demikian, membandingkan pentas Tsumura Reijiro di Museum Topeng dengan pentas di Bali Safari Park tak kalah mengesankan. Properti di panggung minim. Hanya ada dua nampan api dengan kobaran yang tak selalu terang menyala. Remang-remang sawah dan pohon-pohon kelapa yang menjadi backdrop justru menjadikan suasana magis. Gamelan Bali dari Sanggar Ceraken berpadu dengan ketukan kendang Tsuzumi yang dimainkan musikus Noh, Yasufuku Mitsuo. Kendang yang dipukul konstan itu menghasilkan suara monoton, kering, dan keras. Tentu adegan tidak dibuat sedeskriptif di Bali Safari Park. Koyaro Tetsuno membiarkan mereka berekspresi dengan karakter masing-masing. Noh dibiarkan bergerak seperti Noh, tari Bali sebagaimana tari Bali.
DAN malam itu Didik Nini Thowok mengenakan busana Cina warna-warni. Itu kostum Kang Ching Wie yang didesainnya sendiri. Sekitar 500 orang bertepuk tangan saat dengan gemulai Didik memainkan dua "mercon" di tangan kanan-kirinya dan saat seperti dilemparkannya, srettt, molor selendang-selendang panjang warna-warni. Ia lalu meliak-liukkan, menggelombang-gelombangkannya. Didik, yang umurnya hampir 60 tahun, tampak luwes.
Bila diamati, yang menarik malam itu sesungguhnya adalah pentas transgender. Didik memerankan sosok perempuan Kang Ching Wie. Ia memang biasa memerankan sosok "tranvestit". Tapi malam itu lain karena ia juga berdialog dengan Tsumura Reijiro, yang melakonkan peran perempuan-Dewi Danu. Dalam tradisi klasik Noh memang tidak ada penari putri. Semua karakter putri dimainkan laki-laki. Sebab, Noh asal mulanya berkaitan dengan ritual yang hanya bisa dilakukan pria. Sedangkan Ni Wayan Sekariani memainkan sosok laki-laki, Jaya Pangus.
Didik sendiri tak canggung sepanggung dengan Master Noh karena ia pernah berguru Noh di Tokyo, meski berbeda aliran. Ia mempelajari aliran Kita-aliran utara. "Perbedaannya sedikit sekali, seperti tari Yogya-Solo," kata Didik. Hal itu diakui Reijiro. "Ada lima aliran Noh: Kanze, Honssho, Konparu, Kongo, dan Kita. Dari segi tarian memang susah dibedakan. Perbedaannya kecil. Dari segi nyanyian mungkin agak jelas," ujar sang Master.
Selain itu, tak terelakkan, yang menjadi kekayaan pertunjukan adalah dialog bahasa. "Saya sendiri tidak mengerti apa yang diucapkan Master Reijiro. Bahasa Jepangnya bahasa Jepang kuno," kata Koyaro Tetsuno. Andai Didik tidak terlalu membanyol (tapi tentu begitu karena ia dikenal sebagai penari humor), malam itu bisa lebih mengesankan. Sebab, intonasi kalimat penari Bali yang melengking-meledak bertemu dengan suara Noh yang datar, monoton, dan bertenaga serta bercampur dengan tutur Jawa yang halus.
Adegan memikat adalah ketika Ni Wayan Sekariani, yang berkostum penari gambuh, berdialog dengan Master Noh. Terasa perjumpaan yang aneh. Gerak, kostum, dan bahasa yang berbeda tiba-tiba tidak menjadi hambatan berkomunikasi. Pada lanskap yang hening, tiba-tiba kita bisa merasa di situlah letak kekuatan rohani seni tradisi.
"Semua sudah makan asam-garam. Meski berbeda teknik, kita bisa saling mengikuti. Tak ada kesulitan. Mengalir," ucap Reijiro.
Malam itu dua patung Barong Landung-yang merupakan simbol Jaya Pangus dan Kang Ching Wie-setinggi 3 meter juga dikeluarkan oleh pengelola Museum Topeng dan dipasang di halaman. Barong Landung laki-laki di Bali disebut Jero Gede dan yang perempuan dipanggil Jero Luh. Jero Gede bertampang ondel-ondel hitam bersiung menyeramkan, sementara Jero Luh bermata sipit. Pasangan barong itu pada upacara tertentu akan diarak di jalanan Bali untuk menangkal bencana serta mengusir roh jahat dan karma buruk. "Barong Landung penjelmaan Kang Ching Wie dan Jaya Pangus sampai sekarang dianggap pelindung Bali," kata Didik.
Malam itu hujan gerimis tidak membuyarkan penonton. Sajian ketiga penari itu puitik.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo