Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toilet Blues
Sutradara: Dirmawan Hatta
Pemain: Shirley Anggraini, Tim Matindas, Tio PakusAdewo
Skenario: Dirmawan Hatta, R. Adam Herdanto
Produser: Edo W.F. Sitanggang
Produksi: Mitra Andalas Visual Production
Hidup itu seperti kereta api di atas rel. Kau bisa berhenti di sebuah stasiun, tapi kereta akan kembali berjalan menuju suatu tujuan, entah kau tentukan entah tidak. Anggalih (Tim Matindas) dan Anjani (Shirley Anggraini) mencoba membiarkan diri mereka tersesat. Tapi rel kereta itu hanya menuju satu titik: akhir film Toilet Blues karya Dirmawan Hatta yang meninggalkan setumpuk pertanyaan.
Anggalih adalah calon pastor yang bimbang. Masalahnya klise: ayahnyalah yang menghendaki dia jadi pastor. "Mungkin buat nebus harga dirinya. Habis dituduh ikut kasus penculikan mahasiswa itu, dia enggak pernah ke gereja lagi, malu," kata Anggalih. Dia memberontak dengan meninggalkan seminari.
Kondisi Anjani kurang-lebih mirip. Dia tertekan di bawah kungkungan seorang ayah yang otoriter. Tato menghiasi lengan dan punggungnya. Tindikan di telinga bagian atas. Berbaju tank top hitam dan bercelana jins robek-robek. Dia mabuk dan minggat dari rumah karena dituduh berzina dengan teman-teman lelakinya.
Keduanya bertemu dalam sebuah perjalanan tanpa arah. Perjalanan dengan kereta, truk, dan jalan kaki itu mengungkit kembali kenangan cinta monyet mereka sewaktu SMP. Dari percakapan merekalah kita memahami latar belakang tiap tokoh.
Sepanjang jalan itu mereka mempertanyakan soal kedewasaan, dosa, hidup, pengabdian, cinta, dan seterusnya. Pertanyaan itu berloncatan ketika mereka berada di rel kereta api, kompleks pelacuran, bukit, tepi danau, dan tepi pantai.
Anjani berharap Anggalih merebut dia dari orang tuanya. "Bagaimana kalau kau jadi pacar gue?" katanya kepada Anggalih. "Kan, lu bisa peluk gue, cium gue, grepe-grepe gue." Tapi cinta Anggalih adalah cinta platonis. "Gua mau jadi pastor. Gua akan masuk surga dan bawa cewek-cewek kayak lu masuk surga," ujarnya.
Film perjalanan atau road movie sebetulnya menggambarkan perkembangan karakter para tokoh dalam sebuah perjalanan yang mereka tempuh. Tapi film Hatta ini hanyalah sepotong fragmen. Karakter tokohnya tak benar-benar berubah banyak, meski ada beberapa simbol yang menunjukkan ketetapan hati mereka, misalnya ketika Anjani memilih ikut Om Ruben (Tio Pakusadewo), jurnalis setengah baya yang disuruh ayah Anjani mencari putrinya.
Film ini banyak meminjam parabel kerohanian Kristen, seperti adegan Anggalih menolong seorang pelacur dan mencuci kaki Anjani dengan air. Tradisi Jawa juga muncul: penjaga rel kereta (Gunawan Maryanto) yang puasa karena hari itu Jumat Pon, hari wafat putranya, serta saat dia mendoakan seorang lelaki yang meninggal (mungkin terlindas kereta) dalam bahasa Jawa dan Arab.
Kelemahan utama film ini adalah banyak subplot yang kurang diselesaikan dengan mulus. Ada, misalnya, adegan pelacur yang mau membayar utang Dewi dengan tubuhnya. Ia rela diperkosa bergantian oleh sekelompok pemuda di kamar hotel. Anggalih mendengar "pemerkosaan" itu. Setelah selesai, ia masuk dan menolong merawat luka-luka di tubuh pelacur itu. Ujung-ujungnya, mereka bercinta. Tapi, sampai ujung film, tak jelas siapa Dewi itu. Juga adegan surealistik pada pembukaan dan akhir film: Anjani tertidur pasrah dan Ruben melumuri kakinya dengan es krim lalu menyetubuhinya di sebuah ranjang bambu di tepi pantai. Apakah maknanya bagi keseluruhan film?
Film ini pada mulanya berjudul Nyanyian Angsa, yang diilhami puisi Rendra berjudul sama yang mengisahkan Yesus yang bercinta dengan seorang pelacur. "Tapi saya merasa kurang sreg dan membongkarnya hingga akhirnya jadi seperti ini," kata Hatta. Penyuntingan kembali itu nyatanya tak menjadikan film lebih lancar. Meski disuguhi berbagai pemandangan cantik, seperti danau dan pantai, kita tak bisa menikmati suatu alur cerita yang utuh.
Hatta adalah sutradara muda tapi sudah punya sebuah signature, khususnya dalam lanskap, sudut pengambilan gambar, pengadeganan, dan tema. Dia tampak bergulat dalam perkara keimanan dan agama, yang juga tampak pada karya sebelumnya, Optatissimus (2013). Namun cara bertutur dengan banyak subplot dan karakter masih jadi tantangan besar baginya.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo