Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Jaya Suprana: ‘Bunglon’Penikmat Hidup

Predikatnya segepok: pengusaha, pianis, kelirumolog, dan kolumnis. Cepat dan mudah berganti peran.

11 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sambil terengahengah pria itu menapaki anak tangga menuju lantai empat kantor Tempo. Tiap kali dia melangkah, tubuh suburnya bergoyanggoyang. “Kantor ini sukses ‘menyiksa’ saya,” ujarnya sambil terkekeh. Ia mengaku sudah lama melupakan timbangan. Tak peduli pula ia dengan bobot badan. Ia hanya ingat tinggi tubuhnya: 162 sentimeter. “Saya yakin,” katanya, “berat saya amat sangat terlalu tidak ideal menurut kaidah kesehatan medis modern.”

Ukuran tubuh superjumbo itu pula yang membuatnya harus memilih kelas bisnisyang tempat duduknya lebih longgartiap kali bepergian menggunakan pesawat. Kendati hal itu lebih sering merepotkannya, ia tak pernah berpikir untuk melangsingkan tubuh. Bahkan, kendati tak percaya reinkarnasi, bila hidup kembali setelah mati, ia memilih tetap dengan bentuk dan berat badannya sekarang.

Pria bertubuh tambun itu tak lain dari Jaya Suprana. Di usia yang sudah 58 tahun, ia masih melahap segala jenis makanan, dari hidangan kelas kaki lima hingga hotel bintang lima. Selera makannya seakan meledek anjuran semua dokter dan ahli gizi. “Makanan favorit saya,” katanya, “justru yang dikategorikan berbahaya bagi kesehatan, seperti sate dan jeroan.”

Toh, tubuh yang digelayuti lemak tak mengurangi kegesitannya. Ia tetap lincah menjalankan seabrek kegiatan sesuai dengan beragam predikatnya. Jaya dikenal sebagai “tukang jamu bersuspender”mengikuti gaya berpakaiannya seharihari. Dia adalah pemilik dan presiden komisaris PT Jamu Djago. “Saya ikut rapat perusahaan tiap hari,” ujarnya. Bila ia sedang di luar kota, rapat di kantor pusat Semarang diikutinya lewat teleconference.

Jaya mewarisi perusahaan jamu PT Jamu Djago dari ayahnya, Lambang Suprana. Pada mulanya, oleh ayahnya, Jaya ditempatkan menjadi direktur pemasaransepulang dia dari sekolah di Jerman. Tapi, sejak 1983, anak pertama dari dua bersaudara ini ditunjuk menjadi nakhoda Jamu Djago sampai dia berganti posisi menjadi presiden komisaris pada 1991. Sebagai businessman, Jaya bisa dibilang oke. Di tangannya, Jamu Djago lumayan berkibar di belantika bisnis obat dan kosmetik tradisional.

l l l

Selain bisnis, musik tepatnya pianomenjadi bagian penting dalam hidup Jaya. Sebagai pianis, dulu ia kerap menggelar konser tunggal. Sekarang ia lebih sering tampil bersama kelompoknya, Kuartet Punakawan. Kuartet ini konsisten cuma memainkan lagu daerah dan lagu nasional. Lagulagu tersebut, kata Jaya, merupakan citra kebinekaan bangsa Indonesia.

Nama Kuartet Punakawan dipilih lantaran keempat personelnya memiliki selera humor yang tinggi dan kebetulan berfisik serupa Punakawan. Jubing Kristianto (gitar) yang kurus tinggi mirip Petruk, Heru Kusnadi (bas) mirip Bagong, sedangkan Djunaedi Musliman (perkusi) kurus dengan senyum menyerupai Gareng. “Saya sendiri mirip Semar,” ujarnya.

Dari segi keterampilan, kebolehan ketiga rekannya tak perlu diragukan. Jubing adalah juara gitar nasional empat kali dan pernah juara di level Asia Tenggara. Sebagai pemain bas, Heru biasa keluarmasuk dapur rekaman. Adapun Djuned merupakan guru perkusi di beberapa sekolah musik.

Bersama rekanrekannya itu, Jaya mengecap kenikmatan surgawi. “Saya menikmati bermain musik indah bersama sesama musisi yang sejiwa dan sehati,” katanya. Mereka biasanya berlatih di Studio Jatayu Cakrawala, Jakarta. Di tempat ini pula keempatnya bertemu pertama kali pada Agustus 2005. Latihan itu tak perlu mengeluarkan biaya. “Kami malah diberi makan siang oleh pemilik studio yang baik hati itu,” ujar Jaya.

Kesibukan kuartet ini luar biasa. Hampir setiap bulan mereka manggung dari satu tempat ke tempat lain. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai negara lain. April lalu, mereka menggelar konser amal di Urayasu, Tokyo, Jepang. Mereka tampil atas undangan Perhimpunan Warga Negara Asing di Jepang bekerja sama dengan Dewan Kota Urayasu. Pertunjukan itu berhasil mengumpulkan 300 ribu yen atau sekitar Rp 22,5 juta, yang langsung disumbangkan untuk anakanak miskin yang tinggal di tepi Kali Ciliwung, Jakarta.

Bulan lalu, mereka kembali berpentas di Pusat Kebudayaan Prancis di Ban­dung, yang dipadati anakanak muda dan mahasiswa. Mereka antara lain memainkan lagu Bungong Jeumpa (Aceh) dan Yamko Rambe Yamko (Papua). Tiga pekan lalu, Jaya dan kawankawan sudah terbang lagi ke Perth, Australia. Di sana me­reka manggung dalam acara Festival Indonesia yang diadakan pemerintah Australia Barat. “Tapi yang mengundang kami Konjen di Perth,” katanya. Agustus mendatang, mereka akan mentas kembali di Benua Kanguru itu. Kali ini dalam acara Festival Nusantara di Brisbane.

Sejak dibentuk dua tahun lalu, Kuartet Punakawan memang lebih sering tampil dalam konser amal. Mereka sudah mengumpulkan US$ 100 ribu atau sekitar Rp 900 juta, yang digunakan untuk mendirikan sekolah bagi anakanak korban tsunami di Aceh dan Nias serta gempa di Yogya. Sebagian dana digunakan pula untuk membangun sekolah di pedalaman Flores, Nusa Tenggara Timur.

Musik tampaknya kini sudah lebih banyak menyita waktunya melebihi kesibukannya di dunia bisnis. Tak hanya menggelar konser, Jaya masih aktif membuat sejumlah komposisi, terutama memadukan piano dengan gamelan Jawa. Semua itu tak lepas dari pemujaannya terhadap gamelan. Kelengkapan instrumen musik gamelan, terutama Jawa dan Bali, menurut dia, tidak kalah dibanding orkestra Barat. Sayang, kendati telah susah payah belajar dari maestro gamelan Ki Nartosabdo, ia mengaku tetap tak bisa memainkan satu pun instrumen gamelan.

Dari tangannya telah lahir puluhan komposisi musik, seperti Fragmen, Dolanan, Epitaph, Tembang Alit, Berceuse, Sonata SekarSetaman, Fantasia Arumdalu, Urouro, Variasi IlirIlir, dan Suita Marzukiana. Ia juga mengaransemen ulang komposisi klasik ciptaan R. Maladi, Ismail Marzuki, dan Gesang, seperti Bandar Jakarta, Bengawan Solo, Aryati, dan Di Bawah Sinar Bulan Purnama.

Di matanya, karya komponis Indonesia klasik, seperti Ismail Marzuki, begitu dahsyat dan menyentuh. Padahal, secara akademis, dalam karya mereka bertebaran kesalahan lantaran mereka tak pernah bersekolah musik secara formal. “Bandar Jakarta (karya Ismail Marzuki), harmoninya luar biasa, tapi secara akademis ngawur,” ujarnya. Soalnya, nada dalam lagu itu paralel semua.

Namun Jaya mengaku tidak bisa membuat komposisi seperti itu. “Sekolah telah membuat saya berpikir tertib,” katanya. Kendati mengandung banyak kesalahan, karya komponis klasik Indonesia itu tetap ia bawa melanglang ke berbagai negara, dari Swiss, Spanyol, Hong Kong, Jepang, Australia, hingga Amerika Serikat.

Minat pada musik, terutama piano, mulai tumbuh di saat usianya empat tahun. Ketika itu, bersama orang tuanya, ia bertandang ke rumah salah satu saudaranya yang kebetulan memiliki piano. Perhatian Jaya kecil segera tersedot pada tutstuts piano. Bakat yang begitu kuat membuat jarijari kecilnya dengan lincah ikut menari di atas tuts.

Menginjak umur tujuh tahun, dia memberanikan diri meminta ayahnya membelikan piano. “Saya kaget, ternyata langsung dikabulkan.” Semula Jaya kecil menyangka ayahnya hanya pegawai rendahan di PT Industri Jamu Djago. Kehidupan mereka begitu sederhana. Seharihari, sang ayah, Lambang Suprana, hanya mengendarai jip butut.

Ketika dia bersekolah di Jerman, ayahnya juga hanya bersedia membia­yainya selama tiga bulan. Jaya, yang baru lulus SMP ketika pergi ke Jerman itu, harus jungkir balik menghidupi diri­nya. Dalam usia belasan tahun, penga­laman bekerja Jaya di negeri orang sungguh luar biasa. Dari menjadi tukang pasang ubin, tukang bubut di bengkel, pramusaji restoran, penjual karcis bioskop, hingga menjadi guru musik pernah dilakoninya.

Kendati harus membiayai sendiri kuliahnya dengan nyambi bekerja, Jaya tetap berhasil menyelesaikan tiga sekolah sekaligus. Dia lulus dari sekolah musik di Musikoch Schule, Munster, Jerman, pada 1972. Setahun kemudian, dia menyelesaikan sekolahnya di Akademi Seni Rupa Munster, dan disusul lulus dari Akademi Manajemen Bad Harzburg, Jerman, pada 1974.

Rahasia “kemiskinan” ayahnya tetap ter­simpan rapat selama Jaya bersekolah di Jerman sekitar delapan tahun. Dia ba­ru­ tahu bahwa bapaknya pengusaha kaya setelah kembali ke Indonesia pada 1976.

l l l

Di luar urusan bisnis dan musik, Jaya juga dikenal sebagai penulis kolom. Dia pernah punya acara di sebuah stasiun televisi. Sekejap kemudian ia bisa bersalin lagi menjadi kelirumolog. Pendeknya, ia bak bunglon yang terusmenerus berganti warna kulit. Ide kelirumologi muncul karena ia menemukan begitu banyak kekeliruan dalam kehidupan seharihari. Kebudayaan manusia, menurut dia, lahir dari mempelajari kekeliruan demi mendapatkan kebenaran.

Ia memberikan contoh kelirumologi dalam pengobatan modern. Selama ini, apabila seseorang sakit, biasanya diberi dosis obat yang seragam. Padahal kondisi pencernaan setiap orang berbeda. Dengan demikian, kebutuhan obatnya juga berbeda. Segala hal berbau kekeliruan ini telah dibukukannya ke dalam Kaleidoskop Kelirumologi.

Hal lain yang tidak terpisahkan dari Jaya Suprana adalah Museum RekorDunia Indonesia (Muri). Gagasan Muri muncul karena ketersinggungannya atas penolakan Guinness Book of Records terhadap rekorrekor unik dari Indonesia. Dia berharap rekorrekor yang tersimpan di Muri sejak 27 Januari 1990 ini dapat menjadi sumber inspirasi lahirnya karyakarya hebat dari Indonesia.

Tahun ini ia berencana menyelesaikan Ensiklopedia Kelirumologi dan buku rekor Muri. “Keduanya masih terusmenerus saya sempurnakan sehingga tak kunjung naik cetak,” ujarnya.

Jaya sesungguhnya masih punya satu predikat lain, yang sayangnya telah lama ia tanggalkan, yaitu sebagai kartunis. “Idenya sudah kering,” katanya. Padahal kecintaannya terhadap kartun tak kalah besar dibanding “kegilaannya” terhadap piano. Ia merupakan kartunis pertama yang nekat menggelar pameran kartun tunggal di Jakarta pada 1980an. Pameran kartun itu menjadi yang pertama, sekaligus yang terak­hir. “Bikin kartun itu susah sekali idenya,” katanya.

Dengan seabrek minat dan kegiatan, tak gampang membuat deskripsi tunggal tentang Jaya Suprana. Ia sendiri tidak terlalu peduli anggapan orang tentang dirinya. “Saya berharap dianggap sebagai manusia.” Dalam kultur Jawa, dimanusiakan dan memanusiakan punya makna yang tidak sederhana.

l l l

Lahir dengan nama Poa Kok Tjiang di Denpasar, Bali, pada 27 Januari 1949, Jaya dibesarkan dalam budaya Jawa yang kental. Keluarganya tidak pernah berbahasa Mandarin ataupun meraya­kan Imlek. Dinding rumahnya bersih dari simbolsimbol budaya Tionghoa. “Makan pakai sumpit saja saya tidak bisa,” katanya.

Ia melalui masa kanakkanak dengan membaca komik lokal, termasuk komik wayang karya R.A. Kosasih. Sejak kecil ia doyan membaca. Hampir semua jenis buku di perpustakaan ayahnya, termasuk ensiklopedia, habis dia lahap. Cuma satu jenis buku yang tak pernah ia sentuh: buku sains dan teknologi. Ayahnya mendorong hobi membacanya dengan memberikan cukup uang untuk membeli buku. “Tapi anggarannya dibatasi. Kalau dituruti, toko bukunya bisa saya beli juga,” katanya.

Kini Jaya menikmati hidup sepenuh hati sambil terus mendentingkan nadanada indah lewat piano. Bangun pagi teratur tiap pukul 04.00, ada tiga menu sarapan yang selalu dilahap Jaya: bermain piano, membaca koran, dan membuka surat elektronik. Main piano, menurut dia, bukan sekadar mengasah kemampuan agar tak tumpul, melain­kan sudah menjadi kebutuhan.

“Saya tidak takut kehilangan kaki, tapi saya benarbenar takut kehilang­an tangan, karena bakal tidak bisa lagi main piano.” Hidup baginya tidak perlu direncanakan. “Kalau direncanakan, biasanya malah gagal.”

Dengan alasan tidak mau menambah sumpek bumi yang sudah kelewat padat, Jaya dan istrinya, Julia Suprana, memilih tidak punya anak. Apa tidak merasa kesepian? “Sama sekali tidak. Teman saya banyak, dari presiden sampai pemulung,” ujarnya.

Agar Jamu Djago terurus, dia sudah mempersiapkan lima keponakannya sebagai calon penggantinya. Puluhan ribu koleksi bukunyadari ensiklopedi, buku kedokteran, sastra, musik, arsitektur, hingga komikjuga telah memiliki ahli waris, yakni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

“Kalaupun besok harus mati,” kata­nya, “saya sudah siap.” Dan ia tidak peduli bakal dikenang sebagai apa.

Sapto Pradityo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus