Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matahari, tangan, dan kaki, simbol yang kerap digunakan untuk menghiasi lukisannya. Matahari untuk melambangkan sumber kehidupan, tangan untuk berkarya (melukis), dan kaki untuk melangkah, mencapai cita-cita. Ketiga obyek itu sering disatukan dalam goresan kanvasnya.
Affandi, sang maestro, merekam seluruh perjalananan hidupnya, lalu menyimpannya di dalam bangunan unik melengkung memanjang, berwarna pupus daun. Bangunan seluas 314,6 meter persegi itu dibuat berdasarkan nadar, berbentuk pelepah pisang. Dan di dalamnya berdampingan dua makam: satu milik Affandi, satu lagi istrinya. Di sinilah Affandi dan keluarganya tinggal.
Bangunan ini diilhami oleh sebuah gubuk di tengah sawah. Namun atapnya diambil dari bentuk pelepah daun pisang yang oleh orang desa sering dipakai untuk menutup kepala tatkala hujan atau panas.
Galeri lukis Affandi didirikan di depan rumah sang pelukis di tanah 3.500 meter persegi, di tepi Sungai Gajah Wong, Jalan Solo, Yogyakarta. Bagian tengahnya terdapat rumah panggung, kolam renang keluarga, dan sebuah rumah tradisional. Ada tiga galeri di areal itu.
Di Galeri I, keluarga Affandi menyimpan semua kenangan yang ditinggalkannya. Lukisan, juga benda-benda kesayangan sang maestro di situ. Ada mobil Gallant Mitsubishi GTO keluaran 1974 kuning hijau. Ada sepeda onthel Raleigh tahun 1975, aneka piagam penghargaan, patung diri, juga koleksi prangko. Pengunjung bisa menyaksikan perjalanan karya Affandi—dari sketsa di atas kertas, lukisan cat air, pastel, sampai lukisan cat minyak di atas kanvas. Semua menunjukkan tahap demi tahap gaya perkembangan pelukis kelas dunia ini, sejak masih bergaya naturalis sampai ekspresionis.
Affandi merancang sendiri seluruh bangunan. Dia membuat sketsa dengan bentuk bermacam-macam. Setelah detailnya selesai, dia membuat maket dari tanah liat. Rumah tinggal ini terdiri dari dua lantai. Bagian atas dipakai untuk ruang keluarga, di antaranya kamar pribadi Affandi dan Maryati. Lantai bawah untuk menerima tamu. Usia Maryati yang semakin tua membuat dia kesulitan bila harus naik-turun tangga. Karena itu dia minta agar dibuatkan kamar di bawah. Maryati yang sering mendampingi ke mana pun Affandi pergi, dan untuk itu dibutuhkan mobil karavan. ”Dari situ ide membuat karavan berbentuk gerobak,” kata Dedi Sutama, bagian koleksi museum.
Hampir semua karya yang tersimpan di situ mengambil obyek keluarga. Gambar ibu, kakak, anak, potret diri, istri, termasuk lukisan nude yang sopan dan vulgar. Misalnya Maryati, sang istri, sedang tidur telanjang tampak dari belakang. Atau potret diri Affandi yang telanjang.
Di Galeri II, lantai 1, juga terpajang karya Affandi yang lain, termasuk reproduksi di atas kertas dan kanvas. Bangunan seluas 351,5 meter persegi itu dibangun berkat bantuan Presiden Soeharto pada 1987. Ruang pamer ini juga disewakan bila ada perupa yang ingin berpameran.
Lebih ke belakang lagi ada sebuah bangunan yang semula khusus untuk restorasi lukisan, tapi kini berfungsi ganda. Lantai satu untuk ruang pamer karya keluarga, lantai dua khusus untuk restorasi. Lukisan yang terpajang di ruang pamer ini antara lain karya Kartika Affandi, Maryati, dan Rukmini. Ada beberapa lukisan seram di situ. Kepala Pecah (1995) karya Kartika, misalnya, penuh sorot duka dan kemarahan yang tertahan. Ujung atas kepalanya terbelah, mulut menganga, dan dua tangan menarik sebagian rambutnya ke kiri dan ke kanan sampai otaknya keluar. Atau Terbelenggu (1997), yang menggambarkan kepala yang dipagari kawat berduri.
Kompleks museum itu letaknya memang strategis, di jalur jalan utama Yogya-Solo. Bentuk bangunannya mengikuti kontur tanah berundak, memangku jalan. Kondisi ini membuat kompleks tersebut mudah terkotori debu. Ini pula yang mengakibatkan keluarga harus membenahinya agar barang yang ada di dalamnya lebih awet. Semua lubang ditutup, lalu diberi AC. Ini tentu menimbulkan dampak. Biaya perawatan museum setiap bulannya menjadi lebih tinggi.
”Dulu kami pernah mendapat bantuan rutin. Tapi, setelah Pak Harto jatuh, tidak pernah dapat lagi,” kata Celarti Venezia Saraswati, 53 tahun, cucu Affandi, juga salah seorang pengurus museum. Hasil penjualan tiket jelas tidak memadai. Dari daftar buku tamu, tampaklah jumlah rata-rata pengunjung setiap harinya hanya beberapa orang. ”Untuk menambal kebutuhan itu, kami menyewakan sebagian bangunan untuk pameran. Itu pun masih kurang. Mau tidak mau, ya, menggerogoti tabungan Kakek,” tutur Cela.
Apalagi, akibat gempa Mei tahun lalu, dinding barat Galeri I yang dibangun pada 1962 itu 90 persen roboh. Belum lagi dinding lain yang retak-retak. ”Kami memang sempat ngos-ngosan, menguras banyak biaya untuk memperbaikinya,” tuturnya. Cela menyebut angka minimal Rp 10 juta untuk perawatan. Itu pun belum termasuk honor pegawai.
Sebelum meninggal, Affandi telah memberikan 30 karya lukisannya untuk kelangsungan hidup museum. ”Sebenarnya kami tidak rela menjual lukisan itu. Tapi mau bagaimana lagi, yang penting kami tetap menjaga standar harga lukisan Kakek,” kata putri Kartika Affandi ini.
Mengelola museum memang tak mudah. Ada sejumlah masalah yang belum teratasi, dari soal debu, kelembapan udara, keamanan, hingga restorasi, dan semua itu membutuhkan dana. ”Tapi, yang jelas, Papi membangun museum ini lalu meninggalkannya, dan keluarga tidak siap menjalankannya. Tidak running well,” tutur Cela.
Ke depan, Cela tak berharap banyak pada pemerintah. Dia bisa memahami keterbatasan pemerintah. Apalagi bila melihat rakyat Indonesia yang kehidupannya masih dalam taraf mencari makan. ”Saya tidak mau mimpi, saya tidak mau berangan-angan. Yang penting, bagaimana sekarang kita mencari uang agar museum ini tetap eksis,” tutur Kartika.
L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo