BUKU cerita detektif yang tampak lusuh berjudul Souw Gan
Tjiong (Pembunuh Yang Samar) itu cukup menarik perhatian.
Mengambil setting didaerah Jawa Tengah, Tio le
Soei--pengarangnya -- menampilkan detektif Margono, dan
menggunakan bahasa Melayu. Ia melacak si pembunuh berdasar
petunjuk bekas telapak kaki dan puntung rokok, seperti lazim
dilakukan detektif masa kini. Padahal buku itu ditulis tahun
1904, saat belum banyak yang tahu apa kerja detektif. Dan itu
berarti lebih tua dari buku Mencari Pencuri Anak Perawan karya
Suman Hs, yang lazim dianggap karya sastra pertama dalam bentuk
detektif di Indonesia--tahun 1920-an.
Ada lagi buku bergambar tentang Gunung Krakatau (genap 100 tahun
meletusnya akan diperingati secara meriah tahun depan) yang
dilukis dengan cat air. Dibuat tak lama setelah gunung itu
meletus tahun 1883, entah oleh siapa.
Kedua buku tadi merupakan bagian dari 1.500 buku tua, yang
dipajang pada pameran Buku Antik I bertempat di Gedung Graha
Pancasila, Bandung. Berlangsung lima hari, pekan lalu, pameran
dikunjungi sekinlr lima ribu orang -- sebagian besar pelajar dan
mahasiswa. Penyelenggaranya Yayasan Santika Dharma Bhakti, yang
punya 200 anggota pecinta buku."Kami ingin menggugah masyarakat
agar mencintai buku. Terlebih buku kuno, yang merupakan harta
budaya bansa," kata Tona Mendrofa, ketua yayasan. Buku antik
yang dipamerkan itu berusia 50 tahun ke atas.
Pameran kali ini tak memakai tema, hingga jenis buku pun
bermacam ragam. Ada tentang militer, geologi, hukum, kebudayaan.
Memang ada yang berbahasa Melayu. Juga Jawa, dalam huruf Jawa,
termasuk Babad Tanah Jawa yang merupakan terjemahan R. Ng.
Poerbotjaroko dari karangan W. Frein Mes, terbitan 1921,
Batavia. Tapi sebagian besar berbahasa Belanda, Jerman, Prancis.
Buku tertua yang dipamerkan misalnya, berjudul Woordenboek der
Nedernitsche en Fansche Taalen, merupakan kamus Belanda-Prancis
-- terbitan 1710 di Utrecht, Nederland.
Buku itu tak lagi punya kulit luar, dan secara tak sengaja
dimiliki keluarga Manola dari Bogor. Menurut Ny. Manola, mereka
dapatkan buku itu bersama dua buku lainnya ketika membongkar
rumah (peninggalan zaman Belanda) di Bogor. "Tadinya sudah mau
dibuang. Habis tak mengerti," ujar Ny. Manola, 28 tahun. Tapi
setelah membaca tahun pembuatannya, dia tertarik menyimpan.
"Kami bukan kolektor buku. Hanya kebetulan ada buku yang tua
itu."
Dia pun tahu di Bandung ada pameran buku antik setelah membaca
koran. Karena itu ia mengirimkannya -- dan hampir terlambat.
Setelah dua hari pameran berlangsung, baru buku "tertua" itu
dipajang.
Buku tua lainnya adalah Historiscb Beright van de Publicke
Schriften. tulisan umum mengenai liturgi dan gereja di
Nederland, dirangkum oleh Johannesns dan diterbitkan di
Utrecht, Nederland, 1733. Ini milik Harry Kunto, 40 tahun,
kolektor dari Jakarta.
Harry menemukan buku tersebut pada seorang tukang loak tahun
1973 di pasar Cihapit, Bandung. Dia tertarik melihat tahun
pembuatannya, dan hanya dengan beberapa lembar ratusan rupiah
buku itu dimilikinya.
Di antara buku tua Harry juga terdapat buku bacaan skolah dasar
Beland (HIS), yang juga dipakai di SR (Sekolah Rakyat) di awal
masa kemerdekaan. Itulah Matahari Terbit, cetakan Balai Pustaka
1921. Di dalamnya (anda barankali masih ingat) masih ada satu
bab tentang perayaan HUT Ratu Wilhelmina.
Banyak yang bisa dipetik, memang, dari buku-buku antik. Misalnya
buku Oud E Niew Oost Indien karya Francois Valentyn. Terbit
tahun 1726, buku milik Perpustakaan Angkatan Darat di Bandung
itu menceritakan keadaan alam Indonesia abad XVIII. Valentyn
juga menulis buku tentang Ambon dan Ke pulauan Banda, lengkap
dengan gambarannya tentang adat-istiadat penduduk.
Ada pula buku tentang pertempuran Waterloo oleh Dr. J.R.
Callenbach, dicetak di Nijkerk 1915. Juga Bhabhad Sungenep
(Sumenep) yang ditulis Rd. Werdisastra Balai Pustaka 1921. Juga
tentang Raja Charles XII, 1740. Buku hukum tentang Hindia
Belanda oleh M.A Posno, Amsterdam 1870. Politique et militaire
de Napoleon (2 jilid), 1927. Buku-buku terakhir itu juga milik
Perpustakaan AD-Bandung.
Lalu ada Java, karangan F. Junghuhn yang terkenal itu, 1853. Ini
kisah perjalanan pengarangnya di Jawa: mendaki gunung, menempuh
rimba, pantai dan sungai. Mengungkapkan data geologi, geografi,
flora dan fauna, dan tak lupa melukiskan betapa indahnya Gunung
Galunggung yang kini lagi ngambek itu.
Jangan lupa pula, terdapat buku yang sangat penting De Atjehers
karya Snouck Hurgronje (1893), yang dikatakan menjadi referensi
Belanda dulu dalam mematahkan perjuangan rakyat Aceh yang gigih.
Sayang, tak ada buku berhuruf Arab. Bila diingat bahwa bahasa
Melayu (juga Jawa, khususnya di kalangan nonkeraton) juga
ditulis dalam huruf Arab, bisa dipertanyakan benarkah buku-buku
tulisan Latin itu yang lebih awal datangnya di tanah air kita
-- meski pameran yang pertama ini sekedar bermaksud
mengemukakan contoh-contoh yang kebetulan ada.
BUKU Sejarah Mesjid dari Abubakar Atjeh misalnya, ada memuat
satu gambar naskah Quran tulisan tangan Pangeran Diponegoro.
Disebutkannya, kitab-kitab tua semacam itu sering masih bisa
dijumpai di lemari-lemari di masjid kuno. Juga buku agama dan
berbagai macam syair atau hikayat keagamaan. Dalam pameran ini
ada buku hikayat Siti Akbari, tapi dalam tulisan Latin, gubahan
Lie Kim Hok, 1922.
Toh Mendrofa masih merasa beruntung, sebab buku langka seperti
Sejarah Pergerakan Indonesia tahun 1929-1930 karangan H.O.S.
Tjokroaminoto, masih ada. Buku im dicetak terbatas, dan hasilnya
untuk membiayai Ir. Soekarno yang sedan menghadapi pengadilan
Belanda waktu itu. Tapi buku seperti Renungan Indonesia karya
Sutan Syahrir, atau Sejarab Perjuangan Indonesia oleh Muhammad
Dimyati, kini hampir tak ada lagi. Juga Madilog dan Dari Penjara
ke Penjara karya Tan Malaka.
Banyak buku antik yang dikhawatirkan sudah lari ke luar negeri.
Maklum, jadi mahal harganya. Harry Kunto, kolektor yang punya 12
ribu buku, tahu betul. Koleksinya yang berjumlah 600 buah, dua
tahun lalu pernah ditawar Rp 5 juta. Untung tak dia lepaskan.
Padahal Harry, dan juga tentunya para kolektor lain, cukup
susah-payah menjaga keawetan buku. Ia misalnya mengeluarkan Rp
15 ribu sebulan untuk membeli ramuan tradisional. Sebulan sekali
buku-bukunya ia anginkan. Lalu dilapisi lilin, agar bebas
kecoak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini