Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Jejak kaki di buku-buku tua

Ada buku yang melukiskan galunggung di abad lalu. ada pula karya snouck hurgronye, juga buku tjokroaminoto yang dicetak untuk membiayai ir. sukarno. dari pameran buku tua di bandung

25 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU cerita detektif yang tampak lusuh berjudul Souw Gan Tjiong (Pembunuh Yang Samar) itu cukup menarik perhatian. Mengambil setting didaerah Jawa Tengah, Tio le Soei--pengarangnya -- menampilkan detektif Margono, dan menggunakan bahasa Melayu. Ia melacak si pembunuh berdasar petunjuk bekas telapak kaki dan puntung rokok, seperti lazim dilakukan detektif masa kini. Padahal buku itu ditulis tahun 1904, saat belum banyak yang tahu apa kerja detektif. Dan itu berarti lebih tua dari buku Mencari Pencuri Anak Perawan karya Suman Hs, yang lazim dianggap karya sastra pertama dalam bentuk detektif di Indonesia--tahun 1920-an. Ada lagi buku bergambar tentang Gunung Krakatau (genap 100 tahun meletusnya akan diperingati secara meriah tahun depan) yang dilukis dengan cat air. Dibuat tak lama setelah gunung itu meletus tahun 1883, entah oleh siapa. Kedua buku tadi merupakan bagian dari 1.500 buku tua, yang dipajang pada pameran Buku Antik I bertempat di Gedung Graha Pancasila, Bandung. Berlangsung lima hari, pekan lalu, pameran dikunjungi sekinlr lima ribu orang -- sebagian besar pelajar dan mahasiswa. Penyelenggaranya Yayasan Santika Dharma Bhakti, yang punya 200 anggota pecinta buku."Kami ingin menggugah masyarakat agar mencintai buku. Terlebih buku kuno, yang merupakan harta budaya bansa," kata Tona Mendrofa, ketua yayasan. Buku antik yang dipamerkan itu berusia 50 tahun ke atas. Pameran kali ini tak memakai tema, hingga jenis buku pun bermacam ragam. Ada tentang militer, geologi, hukum, kebudayaan. Memang ada yang berbahasa Melayu. Juga Jawa, dalam huruf Jawa, termasuk Babad Tanah Jawa yang merupakan terjemahan R. Ng. Poerbotjaroko dari karangan W. Frein Mes, terbitan 1921, Batavia. Tapi sebagian besar berbahasa Belanda, Jerman, Prancis. Buku tertua yang dipamerkan misalnya, berjudul Woordenboek der Nedernitsche en Fansche Taalen, merupakan kamus Belanda-Prancis -- terbitan 1710 di Utrecht, Nederland. Buku itu tak lagi punya kulit luar, dan secara tak sengaja dimiliki keluarga Manola dari Bogor. Menurut Ny. Manola, mereka dapatkan buku itu bersama dua buku lainnya ketika membongkar rumah (peninggalan zaman Belanda) di Bogor. "Tadinya sudah mau dibuang. Habis tak mengerti," ujar Ny. Manola, 28 tahun. Tapi setelah membaca tahun pembuatannya, dia tertarik menyimpan. "Kami bukan kolektor buku. Hanya kebetulan ada buku yang tua itu." Dia pun tahu di Bandung ada pameran buku antik setelah membaca koran. Karena itu ia mengirimkannya -- dan hampir terlambat. Setelah dua hari pameran berlangsung, baru buku "tertua" itu dipajang. Buku tua lainnya adalah Historiscb Beright van de Publicke Schriften. tulisan umum mengenai liturgi dan gereja di Nederland, dirangkum oleh Johannesns dan diterbitkan di Utrecht, Nederland, 1733. Ini milik Harry Kunto, 40 tahun, kolektor dari Jakarta. Harry menemukan buku tersebut pada seorang tukang loak tahun 1973 di pasar Cihapit, Bandung. Dia tertarik melihat tahun pembuatannya, dan hanya dengan beberapa lembar ratusan rupiah buku itu dimilikinya. Di antara buku tua Harry juga terdapat buku bacaan skolah dasar Beland (HIS), yang juga dipakai di SR (Sekolah Rakyat) di awal masa kemerdekaan. Itulah Matahari Terbit, cetakan Balai Pustaka 1921. Di dalamnya (anda barankali masih ingat) masih ada satu bab tentang perayaan HUT Ratu Wilhelmina. Banyak yang bisa dipetik, memang, dari buku-buku antik. Misalnya buku Oud E Niew Oost Indien karya Francois Valentyn. Terbit tahun 1726, buku milik Perpustakaan Angkatan Darat di Bandung itu menceritakan keadaan alam Indonesia abad XVIII. Valentyn juga menulis buku tentang Ambon dan Ke pulauan Banda, lengkap dengan gambarannya tentang adat-istiadat penduduk. Ada pula buku tentang pertempuran Waterloo oleh Dr. J.R. Callenbach, dicetak di Nijkerk 1915. Juga Bhabhad Sungenep (Sumenep) yang ditulis Rd. Werdisastra Balai Pustaka 1921. Juga tentang Raja Charles XII, 1740. Buku hukum tentang Hindia Belanda oleh M.A Posno, Amsterdam 1870. Politique et militaire de Napoleon (2 jilid), 1927. Buku-buku terakhir itu juga milik Perpustakaan AD-Bandung. Lalu ada Java, karangan F. Junghuhn yang terkenal itu, 1853. Ini kisah perjalanan pengarangnya di Jawa: mendaki gunung, menempuh rimba, pantai dan sungai. Mengungkapkan data geologi, geografi, flora dan fauna, dan tak lupa melukiskan betapa indahnya Gunung Galunggung yang kini lagi ngambek itu. Jangan lupa pula, terdapat buku yang sangat penting De Atjehers karya Snouck Hurgronje (1893), yang dikatakan menjadi referensi Belanda dulu dalam mematahkan perjuangan rakyat Aceh yang gigih. Sayang, tak ada buku berhuruf Arab. Bila diingat bahwa bahasa Melayu (juga Jawa, khususnya di kalangan nonkeraton) juga ditulis dalam huruf Arab, bisa dipertanyakan benarkah buku-buku tulisan Latin itu yang lebih awal datangnya di tanah air kita -- meski pameran yang pertama ini sekedar bermaksud mengemukakan contoh-contoh yang kebetulan ada. BUKU Sejarah Mesjid dari Abubakar Atjeh misalnya, ada memuat satu gambar naskah Quran tulisan tangan Pangeran Diponegoro. Disebutkannya, kitab-kitab tua semacam itu sering masih bisa dijumpai di lemari-lemari di masjid kuno. Juga buku agama dan berbagai macam syair atau hikayat keagamaan. Dalam pameran ini ada buku hikayat Siti Akbari, tapi dalam tulisan Latin, gubahan Lie Kim Hok, 1922. Toh Mendrofa masih merasa beruntung, sebab buku langka seperti Sejarah Pergerakan Indonesia tahun 1929-1930 karangan H.O.S. Tjokroaminoto, masih ada. Buku im dicetak terbatas, dan hasilnya untuk membiayai Ir. Soekarno yang sedan menghadapi pengadilan Belanda waktu itu. Tapi buku seperti Renungan Indonesia karya Sutan Syahrir, atau Sejarab Perjuangan Indonesia oleh Muhammad Dimyati, kini hampir tak ada lagi. Juga Madilog dan Dari Penjara ke Penjara karya Tan Malaka. Banyak buku antik yang dikhawatirkan sudah lari ke luar negeri. Maklum, jadi mahal harganya. Harry Kunto, kolektor yang punya 12 ribu buku, tahu betul. Koleksinya yang berjumlah 600 buah, dua tahun lalu pernah ditawar Rp 5 juta. Untung tak dia lepaskan. Padahal Harry, dan juga tentunya para kolektor lain, cukup susah-payah menjaga keawetan buku. Ia misalnya mengeluarkan Rp 15 ribu sebulan untuk membeli ramuan tradisional. Sebulan sekali buku-bukunya ia anginkan. Lalu dilapisi lilin, agar bebas kecoak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus