Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lidah matahari Belitung menjulur-julur, menjilat tubuh semua kru dan pemain film Sang Pemimpi. Inilah lanjutan film Laskar Pelangi, yang diangkat dari novel karya Andrea Hirata. Temperatur di kawasan Manggar pada Juli mencapai 31 derajat. Tetapi udara panas dan peluh yang membasahi tubuh itu malah membuat sutradara Riri Riza semakin bersemangat mengarahkan dua orang pemainnya di lokasi syuting di SMA Negeri Manggar, Belitung.
Kini, si kecil keriting Ikal yang dikenal pembaca dan penonton Laskar Pelangi sebagai tokoh utama sudah menanjak remaja dan diperankan oleh Vikri Septiawan, 15 tahun.
”Suara…. Kamera…. Action!” seru Riri Riza
Dari luar aula, Ikal memandang sang ayah (diperankan oleh Mathias Muchus), yang hari itu duduk di bangku belakang. Dalam bahasa penuturan Andrea Hirata, yang empunya cerita: ”…Pak Mustar mengurutkan dengan teliti seluruh ranking…. Dari ranking pertama sampai terakhir 160…. Semua orangtua dikumpulkan di aula dengan nomor kursi besar-besar, sesuai ranking anaknya…. Maka pembagian rapor adalah acara yang dapat membanggakan bagi sebagian orangtua sekaligus memalukan bagi sebagian lainnya.” (Sang Pemimpi, hlm. 93).
Ayah Ikal, mengenakan safari berkantong empat (yang hanya dikenakan untuk menerima rapor Ikal yang lazimnya selalu menjadi ”murid garda depan”), ternyata dipanggil belakangan.
”Ahmad Haikal!” demikian Pak Mustar (Landung Simatupang) menyebut nama lengkap Ikal.
Ayah Ikal maju dengan langkah yang tenang. Di mata Ikal, yang memandang ayahnya dari jauh, ia melihat sebuah wajah tua yang luka. Sang bapak, meski diletakkan di kursi bernomor 75 (dan bukan kursi nomor satu atau dua), tetap saja maju dan menerima rapor dengan tabah. Dia memberi hormat pada Pak Balia (Agustinus Gusti Nugroho, yang lebih dikenal dengan nama Nugie) dan Pak Mustar. Ayah yang disebut Ikal sebagai ”ayah nomor satu di dunia yang selalu tersenyum menghadapi cobaan macam apa pun” itu justru membuat hati runtuh.
”Cut….”
Produser Mira Lesmana dan line-producer Sari Mochtan saling memandang. Bagi mereka yang biasa bekerja dengan sutradara Riri Riza, itu artinya adegan tersebut akan diulang beberapa kali. ”Riri mempunyai beberapa tingkat kepuasan,” kata Mira menjelaskan. ”Cut itu artinya dia belum puas. Pasti akan diulang. Cut-to itu artinya lumayan bagus, tapi masih ada hal-hal kecil yang harus dikoreksi. Dan Cut-tone, nah, itu dia yang kita tunggu… artinya Riri puas sekali”.
”Seharian kita belum mendengar Cut-tone,” kata Sari berbisik. Tetapi Riri adalah sutradara yang sabar. Dia memberikan petunjuk dengan terperinci, dari bahasa tubuh hingga ekspresi para pemainnya. Vikri Septiawan mengaku, memerankan Ikal adalah sebuah tantangan yang lumayan. ”Sehari-hari saya biasa main bola,” katanya tertawa, ”dan sekarang saya harus memainkan anak SMA yang emosinya naik-turun.”
Tetapi Vikri terlihat memiliki bakat. Cukup dengan bahasa tubuh, kita tahu, Ikal merasa sungguh terkoyak karena telah mengecewakan ayahnya. Dia berlari dan berlari menyusul bapaknya yang mengendarai sepeda.
”Cut-tone, ne, ne!” kata Riri menyatakan kepuasannya.
Akhirnya kata ajaib yang ditunggu itu meluncur juga dari mulut sang sutradara. Dan sungguh lega semua pemain, kru, dan produser.
FILM Sang Pemimpi adalah sebuah sekuel dari Laskar Pelangi, yang merupakan kerja sama kedua Miles Films dan Mizan Production. Membuat sebuah lanjutan film adalah langkah yang tak biasa bagi Miles Films. Sebelumnya, meski film Ada Apa dengan Cinta (Rudi Soedjarwo) berhasil meraih 2,7 juta penonton (pada masanya, dianggap sebuah terobosan dalam film Indonesia), Mira Lesmana sebagai produser memutuskan untuk tidak membuat lanjutan film ini. ”Biasanya kami menghindar pembuatan sekuel film, karena kami khawatir terjadi pengulangan,” kata Mira. Tapi kali ini, seperti dikatakan Riri Riza, ”Kami tertarik meneruskan karena ada persoalan pluralisme dalam tetralogi ini.” ”Pluralisme” di sini, maksudnya, Andrea Hirata menggambarkan soal perbedaan etnik atau agama tak menjadi masalah untuk sebuah persahabatan atau cinta. Tokoh Ikal sepanjang empat tetralogi terus-menerus merindukan cinta gadis Cina, A Ling. Tokoh Jimbron, meski muslim, diasuh oleh Geovanny, pendeta yang tetap menghormati keimanan Jimbron dan menyerahkan Jimbron ke masjid untuk belajar mengaji.
Jadi, menurut Riri, bukan saja karena Laskar Pelangi berhasil meraih 4,6 juta penonton bioskop, tetapi juga—seperti dikatakan Mira, ”Kisah Ikal akan terasa komplet jika kami mengangkat Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor menjadi film.”
Maka mereka langsung memulai pekerjaan praproduksi dengan mengembangkan cerita Sang Pemimpi bersama penulis skenario Salman Aristo. Kali ini penulis skenario resmi adalah Salman Aristo, Mira Lesmana, dan Riri Riza. Satu hal yang harus mereka lakukan adalah membuat sebuah plot, karena novel-novel Andrea Hirata cenderung terdiri atas mosaik peristiwa. Riri mengakui, ”Kali ini, harus diakui, ini bukan lagi film keluarga. Ceritanya jauh lebih kompleks dan penuh renungan.” Ikal dalam Sang Pemimpi adalah seorang remaja yang tengah mempertanyakan masa depannya sebagai seorang anak daerah yang mempunyai cita-cita tinggi untuk bersekolah di Paris, pusat segala ilmu, seperti yang dinyatakan Pak Julian Balia, guru mereka yang sungguh inspiratif.
Tetapi kepandaian dan semangat ternyata tak cukup. Remaja seperti Ikal juga mengenal rasa tak berdaya, putus asa, dan adrenalin yang turun-naik. Di sinilah Riri Riza tertantang untuk menunjukkan bagaimana emosi Ikal remaja mempunyai hubungan penting dengan sosok ayahnya.
”Itulah sebabnya, kami memutuskan mengambil beberapa adegan yang sebetulnya milik novel keempat, Maryamah Karpov,” kata Riri. ”Saya membutuhkan sebuah tonjokan yang membuat penonton paham kekuatan hubungan Ikal dan ayahnya.” Dan setelah yakin dengan beberapa adegan ”pinjaman” dari novel keempat dan juga sosok tambahan yang tak ada pada novel, barulah mereka mempresentasikan kepada Andrea. ”Dan seperti biasa, Andrea selalu mendukung keputusan kami,” kata Mira, yang puas dengan kerja sama mereka. ”Dia adalah seorang penulis yang sangat paham bahwa dunia sastra dan dunia film adalah dua hal yang berbeda.”
FILM yang kira-kira akan memakan ongkos Rp 11 miliar (sebelum ongkos promosi) dan akan memakan waktu 43 hari syuting di Belitung, Bogor, dan Jakarta itu bukan hanya menampilkan pemain-pemain baru dari Belitung, tetapi juga beberapa aktor kawakan. Selain Lukman Sardi yang sudah pasti memerankan tokoh Ikal dewasa—yang dalam film ini akan banyak menjadi pencerita sepanjang film—Riri dan Mira menjalankan proses casting yang cukup panjang untuk pemeran Arai, sepupu Ikal yang cerdas, lincah, pandai menyanyi, dan perayu. Arai remaja diperankan oleh Rendy, 16 tahun, pemuda asal Manggar yang punya suara emas. ”Kami harus mencari seorang yang bisa menyanyi, karena ada adegan penting di mana Arai menyanyi untuk wanita pujaannya, Zakiah Nurmala,” kata Mira.
Adapun si cantik kembang desa Zakiah Nurmala diperankan oleh Maudy Ayunda, yang dulu dikenal sebagai pemeran Rena dalam film Untuk Rena garapan Riri Riza. Menurut Rendy, yang sama sekali belum pernah menyentuh seni peran itu, memainkan Arai yang jatuh cinta bukan kepalang pada Nurmala sama sekali bukan hal yang sulit, karena ”pemerannya memang cantik,” katanya cengar-cengir.
Maudy Ayunda, 14 tahun, juga mengaku untuk memerankan Zakiah Nurmala yang selalu menganggap rayuan Arai seperti angin lalu itu bukan hal yang sulit. ”Pergaulan remaja SMA di Belitung, di mana perempuan berjalan ke mana-mana berkelompok dan saling meledek dengan anak lelaki, itu sama saja seperti dengan remaja Jakarta,” kata gadis yang tahun ini mulai duduk di bangku SMA Mentar, Jakarta.
Adapun peran Arai dewasa yang akan berhadapan dengan Lukman Sardi merupakan pencarian panjang. Mira dan Riri mencoba beberapa aktor terkemuka untuk membacakan dialog Arai. ”Dari sisi akting, mereka semua tampil prima. Problemnya, kami harus mencari sosok yang wajahnya Melayu dan bisa meyakinkan sebagai sosok dewasa Rendy,” kata Riri. Maka, kebiasaan rumah produksi Miles adalah, jika gagal mendapatkan pemain dari dunia film, mereka akan melirik pada dunia musik. ”Kami percaya bahwa penyanyi paling tidak punya bakat untuk akting depan kamera,” kata Mira. Sebelumnya, rumah produksi mereka pernah menggunakan Gito Rollies dan Nugie. Maka, akhirnya, Riri dan Mira memutuskan untuk memilih Nazriel Irham (dikenal publik dengan nama Ariel Peter Pan) sebagai pemeran Arai dewasa.
Mengapa ongkos film ini sebegitu besar? ”Salah satunya, kami harus mengirim dua ekor kuda dari Jakarta ke Belitung untuk adegan tokoh Jimbron yang terobsesi dengan kuda,” kata Mira. ”Kami harus mengeluarkan Rp 100 juta untuk paket pengiriman dan penyewaan kuda, lengkap dengan trainer, pembuatan kandang di Belitung, dan perawatannya,” kata Mira. Selain itu, menurut Mira, adegan akhir yang menggambarkan Ikal dan Arai dewasa di Paris harus dicari solusinya agar anggarannya tidak meledak.
SORE itu, di jalanan depan SMA Manggar, untuk entah ke berapa kalinya, Riri Riza mengatur sebuah adegan yang sulit. Adegan itu sebetulnya hanya menggambarkan Arai yang tengah menggoda Zakiah Nurmala dengan pantun cinta. Tetapi Riri ingin setia pada realisme, menekankan harus ada sepeda, murid-murid sekolah dan motor yang wara-wiri melintas dan menghalangi hasrat hati Arai yang tengah berpantun. ”Bukankah ketika kita berbincang di pinggir jalan, selalu saja terganggu oleh bunyi-bunyian kendaraan?” kata Riri. Dalam hidup nyata, dialog kita tak selalu lancar seperti yang digambarkan dalam film atau sinetron.
”Suara…, camera…, background action…, action!” seru Riri
Maka para figuran, motor, sepeda, dan murid SMA yang lalu-lalang dipersilakan action lebih dahulu—inilah tugas asisten sutradara untuk mengatur lalu lintas pemain—dan barulah Arai berjalan merancang aksi rayuannya dengan berjalan mengikuti Nurmala dari seberang jalan. Zakiah Nurmala yang cantik bersama ”satu geng” berjalan pulang sekolah.
”Oh, wahai Adik…,” kata Arai dengan nada merayu, jika kau ibarat buah pinang, Abang adalah….”
Suara motor mengaung-ngaung sengaja menutupi rayuan Arai. Kawan-kawan Zakiah Nurmala terkikik-kikik melihat tingkah Arai.
”Dasar Melayu kampung. Manelah Zakiah senang pantun,” kata kawan Zakiah mengejek. Mereka kembali terkekeh-kekeh.
”Cut!” teriak Riri.
Bolak-balik Riri mempersoalkan kapan sepeda lewat, detik ke berapa motor mengaum, detik ke berapa Arai mulai bicara dan dihajar oleh kawan-kawan Zakiah. Sebelum persis betul, Riri akan terus memotongnya dengan ”Cut”, bukan ”Cut-tone”.
”Sutradara seperti Woody Allen dan Robert Altman senang sekali membuat long-shot, di mana para tokohnya sudah berbicara dari jauh, dan sebuah truk melintas, orang-orang di jalan New York lalu lalang. Itu semua betul-betul diperhitungkan dengan teliti,” kata Riri menjelaskan kenapa setiap detail itu penting dibuat seperti koreografi, meski nanti di layar lebar terasa sebagai adegan yang alamiah.
”Itulah tantangan film realisme, segala yang tidak alamiah langsung saja terasa,” kata Riri lagi.
Matahari sudah mulai permisi. Akhirnya Riri tersenyum dan mengeluarkan kata ajaib ”Cut-tone!”
Riri menyampaikan bahwa setelah dua film yang mengambil latar belakang Belitung, dia dan Mira memutuskan untuk menggarap film Bumi Manusia, yang diangkat dari novel terkemuka Pramoedya Ananta Toer. ”Saya kira, kami membutuhkan sebuah suasana yang berbeda,” kata Riri. Setelah itu, rencananya, barulah mereka kembali pada suasana Belitung dan Paris dalam novel Edensor, juga karya Andrea Hirata.
Leila S. Chudori (Manggar, Belitung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo