Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kolektor lukisan Syakieb Sungkar melukis momen kesehariannya
Lukisan karya Syakieb Sungkar dipajang di Galeri Titik Dua, Ubud, Bali
Pameran menyuguhkan tangkapan Syakieb atas lingkungan sekitarnya
SEBAGAI anak seorang pelukis merangkap penulis, saya sejak kecil tumbuh di dalam ruang lingkup seni budaya, yang kini disebut ekosistem seni. Saya tahu betul segi-segi lingkungan itu, baik segi serius nan kreatif maupun segi gombal serta segi noraknya. Bak bunga harum, sang kreator dikelilingi bermacam-macam orang: ada yang memuji tanpa memahami, ada yang memahami tapi diam, ada yang menjelaskan tanpa mengetahui, ada yang berjanji akan menulis, dan ada yang berteori tanpa melihat. Pokoknya ada saja bermacam orang berseliweran di sekitar sang seniman, yang “tahu”, “merasakan”, atau “berbagi”, apalagi pada waktu pameran. Tapi ada juga yang mendatangi acara pembukaan seni karena ingin menikmati minuman gratis atau sekadar tampak terhormat seperti OKB, orang kaya baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sudut sosial, ada borju yang nampang, penganggur yang nyeni, proletar revolusioner yang mencari peran, serta intelektual tersesat. Masyarakat mikro ini membentuk humus subur di atas tempat tumbuh seni modern kita, termasuk karya yang baik. Berkiprah di kalangan itu adalah hidup di tengah kontradiksi sosial dan “moral” masyarakat yang ditelanjangi di depan kita. Sering membosankan, tapi bisa juga memukau dan bahkan menantang. Tidak mengherankan bila hal ini memicu kreativitas seniman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada situasi seperti itu bisa terjadi “batas-batas” ruang dan kategori seni runtuh. Sang kolektor menjadi “pelukis”. Nyonya-nyonya bersanggul rapi tiba-tiba menjadi pelukis buket bunga. Demam kreativitas, bila dipicu hasrat untuk “hadir”, memang tak jarang menghasilkan kebanalan biasa yang tak pernah akan lebih dari sekadar banal, kendati diberkati kritikus.
Bengkel Salihara
Namun tak perlu terlampau sinis. Ada juga kalanya penulis tersohor entah bagaimana tersulap menjadi pelukis berbakat. Itu terjadi sepanjang sejarah. Dalam hal ini, jangan-jangan Goenawan Mohamad terinspirasi oleh pendahulu seperti sang penyair William Blake dan sang novelis agung Victor Hugo. Namun tidak semua bernama Blake atau Hugo. Lingkungan seni pastilah lebih sering memabukkan daripada mencerahkan. Ada kolektor yang merasa dirinya “lebih” daripada seniman. Karena itu, ia tak segan-segan menyebarkan lukisan palsu. Untunglah ada kolektor seni lain yang cukup tahu ciri seniman yang disukainya hingga tak segan membongkar kepalsuan tersebut.
Lalu, “ngapain” Syakieb Sungkar di dalam rimba ini? Apakah dia pun tak puas akan perannya sebagai juru bongkar lukisan palsu? Bagaimana dia sampai memamerkan karyanya di galeri yang sedang ngetren di Ubud, Bali, yaitu Galeri Titik dua? Bagaimana pamerannya sampai dibuka oleh bintang kesusastraan dan dunia jurnalistik Indonesia, yaitu Goenawan Mohamad? Apa yang dikatakan Mas Goen? Apakah dia memuji, menganalisis, ataukah sekadar memberi dukungan? Atau, seperti lazim dilakukan gentlemen selingkungan elite, apakah dia sekadar berlindung di belakang kalimat humoris ambigu yang memicu gelak tawa, dan dengan demikian “menghindar” menjatuhkan vonis?
Patgulipat mudah bagi penyair merangkap kolumnis tangguh, kan? Saya sejatinya tidak tahu, karena tidak hadir. Maklum, ketika Mas Goen dan Syakieb Sungkar menjadi bintang galeri Titik Dua, saya membintangi acara lain yang tak perlu koma atau titik untuk menarik perhatian saya. Meskipun tak bisa diragukan, volume kecerdasan yang beredar di Titik Dua pada waktu itu pasti cukup tinggi. Karena itu, saya kini menyesal tidak bisa hadir. Saya bukan sekadar gagal menikmati keindahan karya, tapi juga keluwesan kata yang berharap menembus makna.
Siapa sejatinya si Syakieb Sungkar ini, saya tidak terlalu tahu. Namun saya tahu bahwa dia selalu “hadir”. Siapa di kalangan seni yang tidak mengenal sosok tinggi, berwajah “Arab”, dan murah senyum, yang suka berlalu-lalang dari satu pameran lukisan ke yang lain ini? Konon dia pernah menjabat eksekutif Indosat. Ini berarti bahwa dia berkuasa lebih dini ketimbang kita semua, dalam hal rahasia-rahasia dunia digital yang kini menyusupi setiap aspek kehidupan kita. Apakah itu yang menjadikannya asyik hadir di media sosial, terutama di grup-grup yang mengikuti karier para seniman? Bisa jadi. Yang jelas, Syakieb terkenal sebagai kolektor yang penting, dengan jumlah koleksi yang konon lebih dari 300 karya—sebagian besar maestro Indonesia. Apakah karena tahu betapa “susahnya” mengejar karya asli seniman berbakat, dia menjadi salah satu aktivis penting dari gerakan anti-lukisan palsu? Ia pun menjadi penyumbang utama buku tentang lukisan palsu yang diterbitkan beberapa tahun lalu oleh asosiasi kolektor.
Dinner with Tony.
Apakah itu semua memang cukup untuk menjadikan Syakieb sebagai seniman? Ditambah nama galeri Titik Dua yang cukup keren itu, apakah sudah cukup untuk berkesimpulan bahwa dia betul-betul pelukis? Setelah bersikap sarkastis sepanjang tulisan ini terhadap pseudo-seni dan pseudo-seniman yang tumbuh subur di dalam ekosistem seni, saya terpaksa menjawab: bisa jadi dia pelukis.
Kenapa? Tak dapat disangkal Syakieb mengetahui kaidah seni lukis dalam pengertian tradisional Barat: kuasa atas ruang anatomi. Dia paham pendekatan analitis dengan cukup baik. Apakah dia mendapatkan pengetahuan itu secara formal sebagai hasil pembelajaran atau secara mimetis dari pergaulannya di kalangan seniman? Tidak jelas. Tapi, apa pun itu, dia tampak cultured, berpengetahuan luas. Itu bahkan terlihat di luar segi teknik. Dia mengenal sejarah seni rupa. Bila kita ragu, dia memperlihatkannya dengan gamblang dalam lukisan yang terang-terangan “meniru” karya Picasso dan Soedjojono. Bila hanya sejauh itu, itu tak akan terlalu menarik selain sebagai tanda “kepintaran”. Tapi, surprise, Syakieb ternyata lebih jauh dari itu. Figurasinya ala Picasso dan Soedjojono tersebut mengandung “pikiran”. Kedua figurnya—figur wanita Picasso dan wanita duduk Soedjojono—digambarkan duduk di kursi yang sama. Hal ini merujuk pada kontradiksi inheren dalam seni rupa Indonesia, ketika unsur lokal yang diperjuangkan Soedjojono mau tidak mau berpadu dengan unsur Barat.
Mister Suka Lukisan
Namun Syakieb tidak berhenti di situ. Dia juga bermain dengan penampilan realitas. Dunia nyata di sekitarnya tidak dijadikan ladang simbol untuk membicarakan “hal-hal penting”, seperti lazimnya dalam seni rupa Indonesia, yang sarat pesan simbolis ataupun langsung. Jauh dari itu, dia sengaja “memacetkan” benda atau figur yang digambarnya pada tahap kebanalan. Kali ini kebanalan filsafati. Tema banal ini tidak berarti gambar yang banal. Sebaliknya, karya Bengkel Salihara, Dinner dengan Tony, dan Obral Lukisan menggambarkan realitas, termasuk realitas pribadi, yang sengaja “dijaraki”, ditekankan kebanalannya, seperti yang ditemukan dalam Pop Art dan khususnya pada karya David Hockney. Bisa jadi ini berkaitan dengan pertanyaan eksistensial mendasar. Namun terlihat juga nada humor kritis di sana-sini, seperti ketika terlihat Hendro Tan, kolektor yang menjagoi media sosial para kolektor, tengah merangkul wanita muda. Gambaran itu dilatarbelakangi oleh ayam jago, papan diskon, dan karya nude norak.
Jadi kesimpulannya bagaimana? Hemat saya, Syakieb tergolong yang “tahu”. Dia bisa bermain dengan simulakra untuk menyampaikan pesan yang tersirat di dalam karya dan tersurat di luar karya. Dia bisa juga menggambarkan dan sekaligus sengaja memberi jarak bagi kebanalan eksistensial hidup. Karena itu, kita ingin melihat lebih banyak lagi. Siapa tahu, dalam dua atau lima tahun, dia akan tiba-tiba muncul kembali dengan karya baru untuk membuat kita berpikir lebih dalam lagi tentang realitas dan penampilan kita di dunia, yang bagaimanapun juga, terkutuk untuk selalu hadir banal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo