Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam itu perupa NyoÂman Erawan menorehkan simbol "tapak dara" di kepala plontos empat lelaki yang berpakaian seperti juru masak. Simbol sakral berupa persilangan dua garis putih itu menandai kesucian niat dan pikiran sekaligus permohonan akan perlindungan. Setelah itu, ia merapal mantra dengan kata-kata aneh karangannya sendiri.
Begitulah performance art Ritus Wajah Digoreng-goreng, yang membuka pameran tunggal Erawan, "Salvation of the Soul", di Tony Raka Art Gallery, Ubud, Bali, Ahad dua pekan lalu. Pameran yang menampilkan sekitar 50 lukisan, 50 sketsa, dan 7 Âinstalasi itu berlangsung hingga 16 September mendatang.
Pertunjukan Erawan ini berbeda dari aksi teatrikalnya, yang biasanya mencekam. Kali ini pentasnya sangat cair, diwarnai gelak tawa dan interaksi dengan penonton. Wayan Juniartha, wartawan yang jadi salah satu asisten Erawan di pertunjukan ini, misalnya, bertindak layaknya pemandu acara kuliner di televisi. Ia menjelaskan setiap hal yang dikerjakan Erawan sambil mewawancarai sang seniman di tengah kesibukannya membuat adonan, memotong wortel, dan menuangkan pewarna makanan.
Di panggung itu, Erawan membuat penganan dari adonan tepung yang biasa digunakan untuk membuat jajanan gorengan. Adonan itu ditaruh di sebuah topeng fiberglass berbentuk wajah Erawan, lalu digoreng sampai matang di sebuah kuali besar. Seniman kelahiran 1958 itu membuat sembilan penganan berbentuk wajahnya yang ditaruh di panci-panci yang ditata sebagai perlambang penjuru mata angin. Ia lalu menghiasinya dengan aneka simbol tradisi Bali dan menari-nari seolah-olah sedang menyembahyangkannya.
Menurut alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu, atraksinya ini merupakan bagian dari proses kreatif yang kini tengah menyedot seluruh perhatiannya, yakni saat refleksi pribadi menjadi jauh lebih penting dibanding pandangannya terhadap kondisi semesta di sekitarnya. Akibatnya, tubuh dan wajahnya menjadi instrumen sentral. "Ritus itu adalah ruwatan bagi diriku sendiri. Mungkin juga bagi orang lain yang merasakan hal yang sama. Sebuah pembersihan untuk jiwa," ujarnya.
Selama ini Erawan dikenal sebagai pelukis yang mumpuni dalam mengabstrasikan bentuk, khususnya yang diambil dari ikon Hindu dan Bali. Tapi, dalam tiga tahun terakhir, terdapat kecenderungan baru dalam karya-karya Erawan, yakni menghadirkan gambaran wajah dan tubuh di dalam lukisan-lukisan abstraknya. Karya-karya terbarunya itulah yang kini dipajang di pameran ini.
Putu Wirata Dwikora, pengamat seni dan kurator pameran ini, mencatat bahwa Erawan mengejutkan publik Bali ketika pada 1990 tampil dalam pameran Tujuh Pelukis Sanggar Dewata Indonesia (SDI), gerakan para perupa Bali yang berusaha mengangkat Bali sebagai obyek lukisan dengan menggunakan teknik modern. Dua maestro Bali, Made Wianta dan Nyoman Gunarsa, adalah pencetus gerakan ini.
Menurut Putu Wirata, Erawan dianggap sebagai pelukis yang paling berani melakukan eksplorasi visual dan konseptual secara radikal di antara teman seangkatannya. "Penemuannya orisinal dan jauh berbeda dengan angkatan awal SDI pada 1970-an," ujar Putu.
Erawan juga berani merambah media seni yang lain, seperti instalasi dan performance art. Uniknya, dia mulai menggunakan ikon budaya Bali untuk menjelajahi ruang persoalan yang lebih luas, seperti masalah sosial dan kerusakan lingkungan, selain tentunya soal dinamika dunia kesenian. Beberapa pameran pentingnya antara lain "Cak Seni Rupa Latta Mahossadhi" (1997), "Ruwatan, Ritus Seni Rupa Nyoman Erawan" (1998), "Nyurwa Sewarna Murni" (2000), "Sikat Gigi" (2001), dan "Ritus Bunyi" (2006).
Rizki A. Zaelani, pengajar seni rupa Institut Teknologi Bandung yang juga kurator pameran ini, menyebutkan pilihan Erawan memasukkan unsur wajah dalam lukisannya bukan tanpa risiko. Setidaknya akan ada pertanyaan: bagaimana gambaran sosok yang ragawi itu mesti ada di dalam susunan dan konstruksi gagasan estetik abstrak yang selama ini dilakoninya. Untungnya, menurut Rizki, pertanyaan itu bisa dijawab dengan kepiawaian Erawan memainkan efek warna, sehingga ilusi itu lebih utama dibandingkan dengan kehadiran unsur wajah pada kanvasnya. Karena itu pula karya mutakhir Erawan jelas bukan sekadar lukisan potret diri.
Menurut Rizki, tubuh dalam lukisan-lukisan Erawan bukanlah gambaran tentang identitas sosial tertentu dan bukan tubuh telanjang tanpa muatan nilai moral. "Itu tubuh dalam selubung kesadaran jiwa yang mendambakan nilai-nilai keutamaan dan keluhuran dalam dirinya," katanya. Dalam filsafat Hindu, tubuh itu adalah gambaran jiwatman (tubuh yang terhubung dengan jiwa) yang tengah berusaha menyatakan realisasi dirinya sebagai atman (jiwa yang diciptakan dari percikan sinar suci Sang Pencipta) untuk memperoleh eksistensi di alam semesta.
Sebagai seniman yang dibesarkan dalam tradisi Bali yang ketat dengan berbagai ritus dan upacara untuk mengharmoniskan alam semesta dan diri pribadi, Erawan merasa selalu berada dalam ketegangan itu. Baginya, saat ini adalah masa dia merasa perlu lebih banyak menengok jagat kecil (mikrokosmos) dalam tubuhnya. "Sekarang, kalau ada yang harus disalahkan atas semua keadaan ini, maka akan berbalik pada diri sendiri," katanya. Ini yang membedakannya dari karya-karya di masa lalu, yang cenderung mengajak masyarakat melihat ketimpangan di sekitar mereka. Saat itu, ia sangat terlibat dengan kondisi jagat besar (makrokosmos).
Apakah sikap itu muncul karena ia merasa sudah lelah dengan dunia dan masalahnya dalam usia yang makin tua? Erawan menampiknya. Posisinya saat ini hanyalah sebuah titik dalam perjalanan ulang-alik dari jagat besar ke jagat kecil yang mungkin juga dilakukan semua orang setiap hari. "Bedanya, aku melakukannya dalam lorong yang disebut berkesenian," ujarnya.
Jadi, mungkin saja nanti ia akan kembali bergelut dengan tema-tema besar dan gaya lukisan yang berbeda. Erawan menolak sikap fanatik dengan berhenti pada satu titik yang dirasakan telah memberi kenyamanÂan. Sebab, ia percaya, kenyamanan hanyalah sebuah ilusi, karena harmoni selalu harus diperjuangkan dalam situasi yang terus berubah.
Rofiqi Hasan (Ubud)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo