Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Keretakan di Dua Panggung

Teater Kami mementaskan Gegeroan, yang mengangkat tema keretakan keluarga. Bereksperimen dalam fragmen-fragmen di dua panggung.

3 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mata penonton masih tertuju ke panggung di sisi barat ruang teater Bentara Budaya Jakarta yang gelap. Mereka menanti babak selanjutnya dimulai. Tapi ada suara seperti gorden ditarik dan tiba-tiba panggung di belakang penonton terang disorot cahaya. Sejenak ruangan menjadi sedikit riuh. Penonton tak menduga ada panggung di belakang mereka, sehingga harus membalik posisi badan untuk menonton adegan Ribka dan Harris yang bercakap tentang kehidupan mereka, manis dan pahit rumah tangga, di panggung timur.

"Banyak juga yang tidak cocok tapi dipaksakan," kata Ribka.

"Itulah yang menyebabkan gesekan pada hubungan yang tak selaras," ujar Haris.

"Menimbulkan api."

"Yang membakar hangus semuanya."

"Menjadi abu, menjadi abu...."

Pemindahan panggung itu terjadi dalam pertunjukan teater Gegeroan, yang dipentaskan Teater Kami pada Rabu pekan lalu. Judul lakon itu dipungut dari bahasa Betawi yang berarti memanggil-manggil. Lakon ini adalah bagian terakhir dari Bah Trilogi, Pergaulan dalam Tiga Pemeristiwaan Teater karya Harris Priadie Bah, sutradara pertunjukan ini. Dua naskah sebelumnya, Gegerungan dan Gegirangan, telah dipentaskan pada 2009 dan 2011.

Gegeroan masih mengangkat persoalan kehidupan sehari-hari, terutama yang dialami para dramawan, seperti dua lakon lainnya. Bahkan tokoh-tokohnya tetap menggunakan nama para pemainnya. Isinya berupa fragmen-fragmen dari masalah ringkihnya biduk rumah tangga, macetnya komunikasi, hingga ekses kemajuan teknologi yang meretakkan hubungan keluarga. Harris mengaku tak sengaja membuatnya jadi serangkaian cerita. Bahan digali dari pengalaman pribadinya dan para anggota teater serta fenomena perpecahan keluarga di mana-mana. "Dari problem kami menjadi problem kamu, teks diadopsi dari curahan hati kawan-kawan yang putus, cerai, tercerai-berai," ujar Harris.

Dia membeberkan soal keretakan dalam setiap babak dengan adegan pertengkaran, seperti ketika empat pemain bersilang kata dan bersilang posisi. Atau ketika Jean Marais memilih menuntaskan hidupnya dengan minum obat nyamuk atas ketidaksetiaan pasangannya. Dia mati di ujung azan magrib. Ada pula Piala Dewi Lolita, yang putus dengan kekasihnya karena merasa tak dihargai lalu menjalin kasih dengan Julia.

Lakon sepanjang satu jam ini dipentaskan dalam dua konsep panggung, yang memisahkan dua ruang dari dua kehidupan yang berbeda para karakter pemain. Itu juga menunjukkan dua peristiwa yang sedang berlangsung. "Makanya Ribka membuat gerakan menggosok-gosok layar televisi, seperti melihat dalam ruang yang lain," ujar Harris.

Bentuk dua panggung ini hanya terjadi di Jakarta. Pentas di Bandung dan Lampung pada pekan ini dan pekan depan dilakukan di panggung prosenium, sehingga menyusahkan penerapan konsep ini. Maka Harris akan menyiasatinya dengan tirai untuk memecah ruang.

Pementasan Gegeroan ini terasa sedikit "klise" dengan pembacaan teks yang seperti hafalan, yang dihiasi kata-kata puitis tapi kurang wajar dalam dialog keseharian. Harris, sebagai penulis skenario, mungkin harus meretrospeksi ulang strategi berbahasa demikian. Tapi keaktoran Harris sesungguhnya lumayan. Misalnya saat ia berbicara datar sambil melakukan push-up. Tak mudah menjaga intonasi suara dalam posisi demikian. Akan halnya pemeranan Jean Marais sebagai orang tua yang putus asa tampak cukup kuat.

Teater Kami memilih melakoni diri sebagai teater sederhana. Sebuah teater yang mengurangi segala bentuk kekenesan ­artistik kostum dan panggung. Bahkan mereka menjauhi kecenderungan eksplorasi visual yang menjadi tren estetika teater dan seni rupa kontemporer. Boleh-boleh saja. Tapi tetap ditunggu sebuah kesederhanaan yang mengejutkan. Dan itu yang belum tercapai dalam pementasan kemarin.

Dian Yuliastuti, Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus