BALAI Lelang Christie London sesak oleh pengunjung. "Saya belum pernah melihat pengunjung sebanyak itu," kata Nark Wrey, juru bicara Christie. Senin pekan silam memang istimewa. Hari itu menjadi sebuah tonggak penting dalam sejarah penjualan lukisan. Acrobat and Young Harlequin (AYH), karya Picasso bertarikh 1905, laku 38,45 juta dolar AS alias Rp 65 milyar. Delapan orang -- empat melalui telepon bersaing ketat memperebutkan gambar dari "periode jingga" dalam perjalanan artistik Picasso itu. Sebuah karya yang pada 1939, ketika tentara Nazi Jerman mengangkangi Eropa, dianggap dekaden dan diharamkan dipublikasikan. Tapi sempat terjual melalui lelang di Lucerne, Swiss, pada tahun itu juga, dengan harga 18 juta dolar. Melalui adu harga yang cenderung emosional, Senin itu AYH beralih ke tangan Akio Nishino, dari jaringan Toserba Mitsukoshi, Jepang. Akio, Direktur Departemen Seni Rupa Mitsukoshi, membeli lukisan itu konon mewakili seorang nasabah perusahaannya di Tokyo. Setelah penentuan harga akhir dan lelang itu ia menangkan, Akio Nishino menembus kerumunan massa. Dengan pengawalan ketat dari petugas keamanan, ia langsung ngibrit ke ruang khusus yang disediakan di balai lelang tersebut. Tanpa bicara sepatah pun, ia begitu emosional. Seorang pejabat balai lelang menyuguhi segelas air es kepada Nishino-san. "Ini kunjungannya yang pertama ke London," tutur Mark Wrey, si humas. "Dan ia mengatakan pada saya, tak peduli soal harga yang harus dibayarnya, karena memang sangat ingin memiliki karya masterpiece itu." Memasuki musim dingin tahun ini, kecenderungan membeli lukisan melalui balai lelang dengan harga tinggi seperti mendapatkan gairah baru yang makin menggila. Dua pekan sebelumnya, ada 1.400 lukisan terjual melalui Balai Lelang Sotheby di New York dan Christie, dengan nilai total 443 juta dolar. Di antara yang terjual pada 9 sampai 16 November itu, dua lukisan Picasso, Birdcage (1923) laku 15,4 juta dolar, dan Motherhood (1901) terjual 24,8 juta dolar. Dengan demikian, AYH memecahkan rekor lukisan buatan abad ke-20 yang paling mahal harganya. Sedangkan karya dari abad sebelumnya, lukisan yang lebih mahal dari itu adalah Irises (1889) karya Van Gogh, yang November tahun lalu laku 53,9 juta dolar, melalui Balai Lelang Sotheby. Di tahun itu Christie juga berhasil menjual Sunflower karya Van Gogh, 39,9 juta dolar AS. James Raundell, Kepala Departemen Seni Modern dan Impresionis Balai Lelang Christie, mengatakan bahwa karya-karya dari "periode jingga" dan "periode biru" (Picasso) itu memang sedang digandrungi orang Jepang. "Karena lukisan-lukisan periode itu menggambarkan kualitas dan emosi manusia yang menarik orang Jepang," tambah James. Tapi sulit disangkal, jika "kegilaan" orang-orang Jepang belakangan ini untuk membeli karya-karya yang sudah klasik itu tak terlepas dariyendaka alias kenaikan nilai mata uang yen. Itu mulai mencolok tahun lalu, sewaktu Sunflower diambil alih oleh Yasuda Fire and Marine Insurance Company, Tokyo, dengan tebusan 39,9 juta dolar. Sebelum 1987, harga tertinggi lukisan bagus rata-rata 10 juta dolar. Dan setelah orang-orang Jepang masuk, persaingan tersebut semakin tajam. Bahkan mereka juga membeli karya-karya kontemporer seperti lukisan Jackson Pollack dan Jasper Johns. Begitu keterangan pihak Castelli Gallery, sebuah galeri bergengsi di New York. Kendati masih ketinggalan dibanding New York, Paris, dan ibu kota negara-negara Barat lainnya, Tokyo kini mulai memperkaya diri dengan karya seni rupa berkualitas abadi. "Di Tokyo tidak ada galeri secantik seperti Castelli Gallery, juga tidak ada yang seperti di Soho. Tapi kini mulai berubah," kata Jeffrey Deltch. Ia penasihat pelbagai perusahaan Jepang dalam pembelian karya-karya seni. Jangan dikira semua itu lepas begitu saja dari semangat investasi mereka. Penyimpanan uang dalam bentuk karya seni terbaik tidak akan pernah merugi. Dengarlah ucapan Armand Hammer, industriwan dari California yang juga mengoleksi lukisan dan memiliki sebuah galeri di New York. Harga lukisan hanya menuju ke satu jurusan: naik. "Pasaran karya seni tak mengalami depresi," katanya. Bisa dimengerti. Contohnya, tahun lalu, penjualan Sotheby dan Christie, jika digabung, nilainya mencapai 2,6 milyar dolar. Dan lebih dari itu, penyimpanan karya seni tak dijaring pajak. Bukan seperti ketika orang-orang Jepang itu menanam modalnya, katakanlah di Indonesia, mereka terpaksa berhadapan dengan pelbagai regulasi dan akhirnya juga pajak. Harga AYH tinggi sekali, bisa tiga kali lipat, misalnya, dari investasi Rp 17,6 milyar oleh PT Bogor Agro Industri yang hendak melakukan penambangan dan pengolahan zeolit. Atau lima belas kali lipat dan investasi PT Indosari Wood Industry di Aceh, dalam bidang perkayuan, yang Rp 3,7 milyar. Tapi apa menariknya mendirikan perusahaan kalau tidak seaman memiliki karya seni? Kira-kira begitulah pikiran para juragan dari Jepang yang "gemar" lukisan itu. Mohamad Cholid (Jakarta) dan Yusril Djalinus (New York)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini