BILA Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti memilih tema menopause untuk diskusi sehari, maka pilihan itu memang pas -- sesuai kondisi dan situasi. Maksudnya? Dalam dasawarsa 1980-an yang segera akan berlalu ini, jumlah wanita Indonesia yang berusia 45-50 tahun, mencapai 15 juta. Berarti, hampir 9% dari 170 juta penduduk negeri ini, adalah orang-orang pada tingkat usia menopause, alias mati haid. Jumlah sebanyak itu -- hampir sama dengan jumlah penduduk Malaysia yang hanya 16 juta -- cukup berpotensi untuk mempengaruhi lingkungannya. Andai kata mereka -- para wanita ini -- selama memasuki siklus kehidupan yang baru itu tidak memperoleh informasi yang memadai, bukan tidak mungkin terjadi hal-hal yang kurang sedap dalam lingkungan pribadinya. Ini bukan menakut-nakuti. Bagi wanita memasuki siklus baru kehidupan, tidaklah selalu mudah. Ada tiga tahapan penting yang menuntut persiapan mental: masa remaja, ditandai oleh menstruasi, masa subur, ditandai oleh kehamilan dan terakhir, menopause, berkurangnya haid secara bertahap. Dalam periode ini, indung telur berhenti berfungsi, masa subur sebagai makhluk reproduksi berakhir, dan hormon estrogen tak lagi beredar dalam tubuh. Jadi, ada yang hilang. Satu kehilangan yang alami sifatnya, yang merupakan bagian dari kodrat wanita. Hal ini tercantum dalam makalah yang ditulis bersama oleh dr. I Made Wiguna S., dr. Rudy Hartanto, dan dr. Ayub Sani Ibrahim -- berjudul "Aspek Kejiwaan Pada Wanita Menopause". Staf pengajar pada Bagian Psikiatri FK Usakti itu menggarisbawahi adanya dua hal pokok dalam gejala yang timbul pada masa menopause, yaitu yang berkaitan dengan kondisi fisik, dan yang berkaitan dengan kondisi psikis. Berbagai gejala itu bisa sangat pribadi sifatnya, tapi ada empat unsur yang sangat menentukan, yakni: jenis hormon yang terganggu, jumlah hormon yang menghilang, kemampuan seorang wanita dalam mengadaptasi dirinya dengan proses ketuaan, serta dampak psikologis (kejiwaan) dalam mengantisipasi proses itu. Jika Dr. Jennifer Jowsey dari Klinik Mayo, Minnesota, AS, mengkhawatirkan penyakit keropos tulang yang mengancam wanita usia menopause, maka wanita kita, pada umumnya, mencemaskan hal-hal yang secara kongkret langsung kelihatan. Gejala kegemukan, keriput wajah yang semakin sulit disembunyikan, atau kekhawatiran akan kehilangan kasih sayang suami. Padahal, kecemasan semestinya bisa dihindarkan, seandainya wanita diberi peluang untuk mendapat informasi lengkap tentang menopause itu sendiri. Sementara keriput dan kegemukan bisa "dilawan", begitu pula rasa waswas. Joan Collins, 52 tahun, pemeran Alexis yang tampil sexy dalam serial televisi Dynasty, adalah contoh tak terbantah tentang wanita yang tetap ayu, langsing, dan enerjetik pada usia menopause. Namun rongrongan menopause, juga mencakup keluhan lain: gejolak panas di badan dan rona merah di wajah, keringat dingin, sakit kepala, pegal dan linu di persendian, penyempitan pembuluh darah, berdebar-debar, sulit tidur. Sebagian keluhan itu bisa ditanggulangi dengan terapi hormonal dan pengaturan makanan yang berkadar kalsium tinggi. Tapi keluhan psikis, seperti mudah tersinggung, gampang marah, gampang lupa, serba cemas, nah, bagaimana pula? Belum terhitung gampang frustrasi dan depresi. Dr. Ayub Saleh Ibrahim menganjurkan agar suami lebih toleran. Dikatakannya juga, penyempitan vagina pada wanita menopause, bukan berarti kegiatan seksual harus dikurangi. Dan segalanya pasti lebih baik, kalau wanita usia menopause menyadari benar-benar kondisi dirinya. Contoh: Ny. S.H. Rauf, 53 tahun, seorang pembicara dalam diskusi dan dosen Usakti. Dikatakannya, ia tidak menurutkan perasaan-perasaan lesu dan malas, malah karena sibuknya, ia tak sedikit pun mengalami gangguan emosional. Di samping itu, menopause bukan tak ada hikmahnya. "Sebagai muslim, kewajiban salat bisa saya lakukan dengan sempurna, tanpa harus batal gara-gara menstruasi." Laporan Sri Pudyastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini