LITOGRAFINYA unik dan prestisius. Terdiri dari 17 lipatan, panjang karya cetak batu ini 4,5 meter. Dalam buku Nineteenth Century Print and Ilustrated Book of Indonesia susunan John Bastin & Bea Brommer, disebut lito terpanjang di dunia ini, dan temanya tentang iring-iringan warga Keraton Yogya. Penciptanya adalah Z.M. Den Koning. Di situ ia lukiskan dengan rinci semua figuran itu yang berbaris. Anatominya dibalut ragaman pakaian adat Jawa, luhung dan eksotis. Lito yang dibuat pada 1857 itu berjudul Den Sultan van Djokjokarta. Itu salah satu karya yang menjadi maskot pameran pada 2 sampai 12 Desember ini di Edwin's Gallery, Jalan Kemang Raya, Jakarta. Dalam pameran litografi tahun lalu, di tempat yang sama, yang dihadirkan 800 buah, kini 500 buah. "Tapi nilainya lebih akbar," kata Edwin Raharjo, 35 tahun, pemilik galeri yang 3 tahun silam didirikan itu. Ia telah mengadakan hunting ke Inggris, Jerman, Belanda, Prancis, sampai Amerika. Den Sultan van Djokjokarta itu ia dapati di sebuah toko barang antik di London, ditumpuk di sudut ruang. Tapi benda itu mahal harganya jika dibawa ke Indonesia. Misalnya mengenai peta Batavia yang belum jelas pelukisnya. Sedangkan yang lain dan pantas dicacat adalah karya Sebastian Munster dari Jerman. Karya hitam putih itu juga sebuah peta. Litografi yang dibuat pada 1540 itu hasil pengamatan topografis Ceylon. Peta itu keliru digambarkan. Seharusnya, negeri itulah yang dituju, yang di catatan topografinya disebut Taprobana, malah Sumatera yang ia gambar. Bagi mereka yang kini melukis peta dari udara, tentu geli melihat ciptaan yang 450 tahun lalu itu. Pameran ini merupakan pameran panorama Nusantara, membentang sejak 4 abad silam lebih. Dan karena yang melukisnya adalah para pendatang yang ingin menikmati panorama-ria, maka lahirlah catatan tentang keindahan. Berbagai sudut dari negeri ini mereka rekam dalam gambar-gambar yang realistik fotografis. Tatanan garis dan warnanya yang lembut itu menawarkan dimensi ke ruang alam yang luas dan jauh. Kekayaan pengembaraan si pelukis ditambah maksud yang mendalam dari VOC, lalu pada 1778 VOC mendirikan Bataviaasch Genootschap voor Kunsten on Wettenschappen, lembaga yang mempelajari peninggalan sejarah dan mendata keadaan kepulauan Nusantara. Dampaknya, pelukis berpeluang banyak ikut darmawisata dan merekam pernik alam di negeri ini. Lalu muncul pelukis seperti C.W. Mieling, A. Salm, E. Spanier, C.W.M. Van de Velde, dan sebagainya. Bahkan muncul penggambar figur piawai Lemercier. Ia banyak melukiskan penduduk Indonesia, yang diintipnya di segala pelosok. Bukan saja pakaian dan kebiasaan mereka saja yang dilukisnya, juga karakter setiap suku-suku itu. Kecekatan rekam Lemercier ini mendampingi tokoh lain yang sebidang, A. van Pers. Dalam pergelaran ini, karya-karya Mieling termasuk menarik perasaan rindu ke masa lalu. Ia satu di antara pelukis yang pandai mencuri sudut pandang. Gunung Sewu dan Dieng di antara contoh dimaksud. Ia tidak sekadar mengambil panorama, untuk direkam dalam kenangan, tapi sebagai medium ekspresi. Kontrasitas karakter benda, beda warna, dan bayangan benda atas cahaya matahari menjadi perhatiannya. Karya C.W.M. Van de Velde memperlihatkan keluasan daerah pandang. Lito yang berjudul Ronggeng Cibinongan, misalnya, menggambarkan rakyat sedang menari dengan disaksikan para meneer Belanda, di bawah bentangan langit cerah. Sementara itu, Lemercier mengungkapkan ulah orang Tionghoa atau Arab di Jawa, dan pesuruh Jawa dalam Javaansche Bediende. Semua litografi tersebut belum tentu digarap oleh pelukisnya sendiri. Banyak di antara mereka yang hanya merekamnya lewat lukisan cat air atau cat minyak, untuk kemudian dipindahkan lagi oleh para ahlinya ke teknik litografi. Mieling, misalnya, selain melukis litonya sendiri, juga menggarap gambar A. van Pers. P. Lauter melitografikan gambar Van de Velde. Sebuah perusahaan, Tresling & Co, melitokan gambar F.C. Wilsen. dan sebagainya. Umumnya, pelitografian itu dikerjakan di Belanda. Kekayaan sejarah, serta ketinggian estetik litografi abad lampau yang dipamerkan itu seperti menitipkan pesan: karya-karya yang dibawa kemari ini belum sepenuhnya sebagai "roh" yang harus dimiliki. Sebab, menurut pengalaman, yang membeli litografi "Nusantara Lama" justru orang Eropa dan Amerika. Walhasil, karya yang diburu dari Barat itu kembali ke sana lagi. Agus Dermawan T.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini