Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LALA memulai hidupnya dengan berlari pagi ketika matahari belum datang. Di dalam gelap, langkahnya menandakan dia ingin selalu lebih maju, lebih cepat, agar loncat indah yang dilakukan setiap hari akan bisa lebih sempurna. Lala harus mampu melihat dirinya pertama-tama sebagai atlet, baru kedua sebagai putri ayahnya. Tapi sesungguhya Lala (Putri Marino) melakukan itu semua karena, "Aku selalu merasa dekat dengan Ibu setiap kali meloncat," katanya kepada Yudhis (Adipati Dolken), kawan satu sekolah yang kemudian menjadi kekasihnya.
Lala dan Yudhis adalah pasangan remaja milenial: telepon seluler pintar, Instagram, dan segalanya adalah bagian hidup mereka. Tapi Lala dan Yudhis bukan Rangga dan Cinta atau Galih dan Ratna. Sementara Rangga dan Cinta berwarna jingga atau merah jambu, Lala dan Yudhis adalah pasangan kelabu, yang menuju kekelaman jika tak ada yang segera mencegah mereka pada kehancuran kemanusiaan.
Perlahan-lahan sutradara Edwin memperkenalkan mereka, keluarga Lala yang hanya terdiri atas dia dan ayahnya (Yayu Unru), karena sang Ibu, peloncat indah yang menjadi sosok teladan Lala, sudah lama meninggal. Sang Bapak, sebagai pelatih, bersikap keras dan tak menyadari putrinya butuh ruang untuk tumbuh. Maka ruang itu tampaknya disediakan oleh Yudhis. Belakangan, sutradara membuka lapis demi lapis tentang Yudhis, yang sebetulnya tak memiliki ruang apa pun kecuali untuk dirinya sendiri. Ibu Yudhis (Cut Mini) membuat penonton bakal terperangah karena baru menyadari ternyata ada juga ibu semacam itu, paling tidak dalam dunia rekaan Edwin dan penulis skenario Gina S. Noer.
Ini adalah film layar lebar ketiga Edwin, setelah Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) dan Postcard from the Zoo (2012), yang hanya ditayangkan di berbagai festival internasional dan komunitas-komunitas film. Baru kali ini film karya Edwin akan ditayangkan di bioskop dan-mungkin karena itu-pendekatannya sedikit ada sentuhan "mainstream". Artinya, berbeda dengan kedua film sebelumnya yang penuh simbol, kali ini Edwin menggunakan drama tiga babak yang konvensional, dialog yang mudah dipahami, dan persoalan yang cukup dikenal. Tokoh yang melakukan kekerasan sering sebelumnya adalah korban kekerasan. Kira-kira itu salah satu pesan moral film ini. Tapi pesan moral yang lebih besar adalah seberapa jauh sebuah hubungan bisa dipertahankan ketika terjadi penindasan fisik dan mental?
Putri Marino adalah pendatang baru yang layak diperhatikan, wahai para sutradara lain. Edwin sudah menggosok mutiara ini, tinggal sang aktris baru ini yang harus bisa memilih jalan yang tepat untuk film-film berikutnya. Cut Mini tampil sebagai ibu yang berbeda dengan peran-peran sebelumnya: keji dan mencekam. Tentu saja kita jadi tertarik mengapa tokoh Ibu menjadi sosok seperti itu. Dalam kedua film sebelumnya, Edwin sesekali memperlihatkan adegan yang mengungkap kekelaman tokohnya dengan ekstrem. Mencekam dan tak nyaman, seperti halnya film-film pendek ataupun layar lebar karya Edwin lainnya.
Akan halnya Lala dan Yudhis, pasangan Romeo-Juliet kelabu dalam film ini, adalah kisah coming of age yang nyaris menjadi mimpi buruk para orang-tua yang selalu saja merasa serba salah menghadapi anak-anak remaja mereka. Dalam film ini, Lala dan Yudhis sama-sama tumbuh dan dibesarkan orang tua tunggal. Tapi salah satu dari mereka harus menanggung problem serius yang sebetulnya sudah jauh melampaui perkara "posesif", karena sudah mencapai problem psikologi yang sangat berat. Edwin memulai dengan tokoh Putri sebagai remaja yang memulai harinya dengan lari pagi dan mengakhirinya dengan adegan Putri yang menjadi lebih dewasa setelah menghadapi begitu banyak gerunjal setahun terakhir di masa SMA, yang akhirnya memilih melangkah ke depan. Dengan segala hati yang pernah remuk, Putri digambarkan Edwin sebagai perempuan yang memilih untuk perlahan menyembuhkannya dengan berlari pagi menjemput masa depannya.
Akhirnya Edwin kini mulai percaya optimisme hidup. Akhirnya Edwin percaya pada narasi film yang "ramah" kepada penonton. Sebuah upaya pertama yang berhasil mencengkeram emosi penonton, tapi saya tetap menantikan karya selanjutnya yang memperlihatkan sidik jari Edwin sesungguhnya.
Leila S.chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo