Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kalau Film Impor Distop...

Banyak reaksi terhadap pernyataan menpen masyhuri: film impor akan distop tahun 1978. asrul sani, ali sadikin, kalangan perbioskopan, misbach yusa biran, rudi lukito (importir) menyatakan keberatan. (fl)

2 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Penerangan Mashuri SH membuat berita penting: film Impor akan distop di tahun 1978. Belum pernah ada pernyataan Mashuri yang dengan segera ditanggapi oleh banyak orang seperti soal penyetopan film impor ini. "Saya hanya melaksanakan keputusan MPR", begitu Mashuri menanggapi reaksi-reaksi tidak setuju terhadap rencananya. "Sebagai pembantu mandataris, saya harus melaksanakan apa yang dibebankan MPR kepada mandataris. Jadi kalau ada yang tidak setuju dengan tindakan itu, ubah dulu keputusan MPR tersebut". Mashuri sendiri tidak merasa seperti pelopor. Katanya: "Dulu zink gelombang kita impor, sekarang tidak lagi, sebab sudah bisa kita produksi sendiri". Tidak lupa disebutkan penyetopan impor mobil yang kini telah dirakit di Indonesia. Kesimpulannya: "Segala yang bisa kita produksi di dalam negeri, tidak perlu lagi kita impor". Menteri yakin bahwa film sudah bisa kita produksi. "Soalnya sekarang ini hanya menyangkut masaalah ekonomis peredaran dan permodalan". Untuk mengatasi masaalah ekonomis itu, Mashuri telah menyiapkan suatu rencana bantuan terhadap para produser film. "Setiap judul film akan memperoleh sekitar 7 atau 8 juta rupiah. Kredit ini tanpa bunga", kata seorang pejabat di Direktorat Bina Film Deppen. Juga dalam soal bahan baku Deppen akan ikut membantu. Sedang dalam peredarannya, PT Perfin yang sudah lama didirikan, akan pula mendapat bantuan modal. Tapi semua itu belum cukup bagi Mashuri. "Film impor itu merupakan saingan berat bagi film nasional. Mitos bahwa film impor selalu lebih baik dari film nasional itulah yang merusak", begitu ia pernah berkata kepada wartawan TEMPO. Lagi pula, kata Mashuri, sebagaimana disiarkan harian Berita Yudha, "para importir film itu umumnya pemilik bioskop, dan semua itu Cina-Cina yang berusaha menggagalkan pertumbuhan film nasional". Karena memiliki bioskop itulah maka para importir itu kabarnya sering mensabot film-film nasional yang diputar di bioskop mereka: "Fokusnya dikacaukan, suaranya diganggu, sehingga orang percaya bahwa film nasional itu jelek". Reaksi pertama terhadap rencana Mashuri itu datang -- justru bukan dari para importir. Sastrawan dan sutradara film Asrul Sani pagi-pagi sudah mengecam rencana itu. Katanya sebagaimana dikutip Kompas: "Keputusan itu merugikan dari segi budaya. Ini sama halnya dengan larangan impor buku. Larangan itu bisa menyebabkan kita kehilangan standar". Reaksi ini dengan cepat mendapat tanggapan Mashuri. "Kita masih akan memasukkan film impor, tapi selektif, hanya film-film pemenang festival dan film-film yang baik saja yang kita masukkan. Dan jumlahnya, ya sekitar sepuluh, bcgitu", kata Mashuri pada suatu kesempatan pekan silam. Masuknya film-film itu nanti, tidak lagi melalui para importir biasa. "Akan dibentuk suatu badan khusus yang akan memilih film-film yang akan masuk itu", kata Mashuri pula menjawab pertanyaan TEMPO pekan silam. Yang nampaknya cukup keras reaksinya adalah Gubernur Ali Sadikin dan kalangan perbioskopan. Sadikin merasa amat dirugikan oleh kebijaksanaan baru itu, lantaran pajak pemasukan DKI dari loket-loket bioskop akan amat berkurang. Reaksi keras Gubernur DKI itu cepat pula dijawab Mashuri. Mengumpamakan Ali Sadikin sebagai cantik yang menarik dan genit serta kenes, Mashuri merasa ingin menciumnya, tapi kebijaksanaan perfilman akan jalan terus". Kalangan perbioskopan muncul dengan angka-angka. John Casmadi, sekjen GPBSI, menyebut 350 judul film sebagai kebutuhan yang harus disiapkan bagi 916 bioskop yang ada di Indonesia ini. "Katakanlah kita mampu membuat film 250 judul pertahun, tapi apakah kita mampu membelokkan selera penonton dengan segera", tanya Casmadi pula. Menurut pengalaman, begitu Haji Misbach Yusa Biran, Kepala Sinematek Indonesia, ikut menjelaskan, "penonton lebih baik tidak nonton dari pada terpaksa nonton film yang mereka tidak senangi". Konon begitulah kejadian yang menimpa dunia perbioskopan Indonesia setelah AMPAI dibuharkan dahulu. "Sejumlah bioskop jadi gudang atau jadi tempat pertunjukan wayang dan ketoprak", kata Misbach. Mungkin lantaran ngeri mengingat pengalaman buruk masa pra-Gestapu itulah maka Rudi Lukito, importir dan manajer bioskop New Garden Hall, iku berbicara dengan nada sedikit emosionil. Rudi terutama dongkol terhadap kecurigaan pemerintah terhadap pihali perbioskopan. Katanya kepada Mansur Amin dari TEMPO: "Kelihatannya kita pemilik bioskop selalu jadi sasaran kemarahan Menteri Penerangan. Katanya kita mengecilkan suara dan mengaburkan gambar kalau lagi mutar film nasional. Nonsens. Sebab artinya mau bunuh diri". Rudi berkata pula: "Coba menteri nonton di Tanjung Priok, tidak bakal ketemu itu suara dikecilkan dan gambal dikaburkan Tapi coba periksa film nasional. Akan ketahuan bahwa prosesingnya banyak yang tidak beres, pengisian suara dan opname tidak betul, sehingga suara tidak jelas dan gambar jadi kabur" Contoh dari film-film macam ini juga disebut oleh Rudi: "Itu film Cukong Bloon, benar-benar bloon, deh. Tapi lihat film Cinta yang dikerjakan dengan baik, gedung-gedung bioskop tetap penuh sesak". Halim Sebagai importir film, Rudi Lukito juga tidak terima begitu saja dakwaan menteri penerangan yang menyebut mereka sebagai "hanya cari untung". Kata Rudi: "Importir sekarang ini disalahkan oleh pemerintah, pada hal surat keputusan menteri nomor 74 malahan mengancam akan mencabut izin impor bagi para importir yang mengimpor kurang 10 judul pertahun. Maka importir pun berlomba-lomba memasukkan film. Sampai di Halim Perdana Kusuma, film itu tertahan dan keluarnya amat susah. Kita malahan dituduh nyeleweng. Eh, memang kita ini nyelundup, apa?" Ketakutan para pemilik bioskop mengenai tidak mungkinnya produksi film nasional mencukupi kebutuhan bioskop, nampaknya mendapat topangan dari keterangan pihak karyawan film. Meski pun Sumardjono -- ketua KFT mendukung rencana Mashuri, tapi ketika ditanyakan kesiapan pihak karyawan, ia hanya berani menjamin maksimal 100 judul pertahun. Bahkan Misbach, memperhitungkan kurang dari 100. "Kalau dipaksakan, ya, tentu bisa saja, tapi kwalitasnya masya Allah jadinya", tambah Misbach. Baik Sumardjono mau pun Misbach, keduanya berbicara tentang peralatan yang amat kurang. "Untuk produksi yang jumlahnya terbatas seperti sekarang ini saja kekurangan itu kita alami, apa lagi kalau produksinya tambah banyak', keluh Sumardjono. Konon pula alat-alat, terutama lensa, sudah dalam keadaan menyedihkan. "Perawatan amat kurang", kata Misbach. Menteri Mashuri sudah tentu tidak sempat menjawab reaksi yang diberikan secara terperinci. Lagi pula Deppen rupanya memang punya konsep tersendiri yang belum diketahui oleh kalangan perbioskopan. "Rencana ini bukan rencana awur-awuran, sebab sudah saya fikirkan sejak saya jadi menteri tahun 1973 yang lalu", begitu Mashuri berkata. Dan rencana yang dipersiapkan lama itu telah pula mendapat dukungan fraksi Karya dalam DPR serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus