MENTERI Penerangan Mashuri SH membuat berita penting: film Impor
akan distop di tahun 1978.
Belum pernah ada pernyataan Mashuri yang dengan segera
ditanggapi oleh banyak orang seperti soal penyetopan film impor
ini. "Saya hanya melaksanakan keputusan MPR", begitu Mashuri
menanggapi reaksi-reaksi tidak setuju terhadap rencananya.
"Sebagai pembantu mandataris, saya harus melaksanakan apa yang
dibebankan MPR kepada mandataris. Jadi kalau ada yang tidak
setuju dengan tindakan itu, ubah dulu keputusan MPR tersebut".
Mashuri sendiri tidak merasa seperti pelopor. Katanya: "Dulu
zink gelombang kita impor, sekarang tidak lagi, sebab sudah bisa
kita produksi sendiri". Tidak lupa disebutkan penyetopan impor
mobil yang kini telah dirakit di Indonesia. Kesimpulannya:
"Segala yang bisa kita produksi di dalam negeri, tidak perlu
lagi kita impor". Menteri yakin bahwa film sudah bisa kita
produksi. "Soalnya sekarang ini hanya menyangkut masaalah
ekonomis peredaran dan permodalan".
Untuk mengatasi masaalah ekonomis itu, Mashuri telah menyiapkan
suatu rencana bantuan terhadap para produser film. "Setiap judul
film akan memperoleh sekitar 7 atau 8 juta rupiah. Kredit ini
tanpa bunga", kata seorang pejabat di Direktorat Bina Film
Deppen. Juga dalam soal bahan baku Deppen akan ikut membantu.
Sedang dalam peredarannya, PT Perfin yang sudah lama didirikan,
akan pula mendapat bantuan modal.
Tapi semua itu belum cukup bagi Mashuri. "Film impor itu
merupakan saingan berat bagi film nasional. Mitos bahwa film
impor selalu lebih baik dari film nasional itulah yang merusak",
begitu ia pernah berkata kepada wartawan TEMPO. Lagi pula, kata
Mashuri, sebagaimana disiarkan harian Berita Yudha, "para
importir film itu umumnya pemilik bioskop, dan semua itu
Cina-Cina yang berusaha menggagalkan pertumbuhan film nasional".
Karena memiliki bioskop itulah maka para importir itu kabarnya
sering mensabot film-film nasional yang diputar di bioskop
mereka: "Fokusnya dikacaukan, suaranya diganggu, sehingga orang
percaya bahwa film nasional itu jelek".
Reaksi pertama terhadap rencana Mashuri itu datang -- justru
bukan dari para importir. Sastrawan dan sutradara film Asrul
Sani pagi-pagi sudah mengecam rencana itu. Katanya sebagaimana
dikutip Kompas: "Keputusan itu merugikan dari segi budaya. Ini
sama halnya dengan larangan impor buku. Larangan itu bisa
menyebabkan kita kehilangan standar". Reaksi ini dengan cepat
mendapat tanggapan Mashuri. "Kita masih akan memasukkan film
impor, tapi selektif, hanya film-film pemenang festival dan
film-film yang baik saja yang kita masukkan. Dan jumlahnya, ya
sekitar sepuluh, bcgitu", kata Mashuri pada suatu kesempatan
pekan silam. Masuknya film-film itu nanti, tidak lagi melalui
para importir biasa. "Akan dibentuk suatu badan khusus yang akan
memilih film-film yang akan masuk itu", kata Mashuri pula
menjawab pertanyaan TEMPO pekan silam.
Yang nampaknya cukup keras reaksinya adalah Gubernur Ali Sadikin
dan kalangan perbioskopan. Sadikin merasa amat dirugikan oleh
kebijaksanaan baru itu, lantaran pajak pemasukan DKI dari
loket-loket bioskop akan amat berkurang. Reaksi keras Gubernur
DKI itu cepat pula dijawab Mashuri. Mengumpamakan Ali Sadikin
sebagai cantik yang menarik dan genit serta kenes, Mashuri
merasa ingin menciumnya, tapi kebijaksanaan perfilman akan jalan
terus".
Kalangan perbioskopan muncul dengan angka-angka. John Casmadi,
sekjen GPBSI, menyebut 350 judul film sebagai kebutuhan yang
harus disiapkan bagi 916 bioskop yang ada di Indonesia ini.
"Katakanlah kita mampu membuat film 250 judul pertahun, tapi
apakah kita mampu membelokkan selera penonton dengan segera",
tanya Casmadi pula. Menurut pengalaman, begitu Haji Misbach Yusa
Biran, Kepala Sinematek Indonesia, ikut menjelaskan, "penonton
lebih baik tidak nonton dari pada terpaksa nonton film yang
mereka tidak senangi". Konon begitulah kejadian yang menimpa
dunia perbioskopan Indonesia setelah AMPAI dibuharkan dahulu.
"Sejumlah bioskop jadi gudang atau jadi tempat pertunjukan
wayang dan ketoprak", kata Misbach.
Mungkin lantaran ngeri mengingat pengalaman buruk masa
pra-Gestapu itulah maka Rudi Lukito, importir dan manajer
bioskop New Garden Hall, iku berbicara dengan nada sedikit
emosionil. Rudi terutama dongkol terhadap kecurigaan pemerintah
terhadap pihali perbioskopan. Katanya kepada Mansur Amin dari
TEMPO: "Kelihatannya kita pemilik bioskop selalu jadi sasaran
kemarahan Menteri Penerangan. Katanya kita mengecilkan suara dan
mengaburkan gambar kalau lagi mutar film nasional. Nonsens.
Sebab artinya mau bunuh diri". Rudi berkata pula: "Coba menteri
nonton di Tanjung Priok, tidak bakal ketemu itu suara dikecilkan
dan gambal dikaburkan Tapi coba periksa film nasional. Akan
ketahuan bahwa prosesingnya banyak yang tidak beres, pengisian
suara dan opname tidak betul, sehingga suara tidak jelas dan
gambar jadi kabur" Contoh dari film-film macam ini juga disebut
oleh Rudi: "Itu film Cukong Bloon, benar-benar bloon, deh. Tapi
lihat film Cinta yang dikerjakan dengan baik, gedung-gedung
bioskop tetap penuh sesak".
Halim
Sebagai importir film, Rudi Lukito juga tidak terima begitu saja
dakwaan menteri penerangan yang menyebut mereka sebagai "hanya
cari untung". Kata Rudi: "Importir sekarang ini disalahkan oleh
pemerintah, pada hal surat keputusan menteri nomor 74 malahan
mengancam akan mencabut izin impor bagi para importir yang
mengimpor kurang 10 judul pertahun. Maka importir pun
berlomba-lomba memasukkan film. Sampai di Halim Perdana Kusuma,
film itu tertahan dan keluarnya amat susah. Kita malahan dituduh
nyeleweng. Eh, memang kita ini nyelundup, apa?"
Ketakutan para pemilik bioskop mengenai tidak mungkinnya
produksi film nasional mencukupi kebutuhan bioskop, nampaknya
mendapat topangan dari keterangan pihak karyawan film. Meski pun
Sumardjono -- ketua KFT mendukung rencana Mashuri, tapi ketika
ditanyakan kesiapan pihak karyawan, ia hanya berani menjamin
maksimal 100 judul pertahun. Bahkan Misbach, memperhitungkan
kurang dari 100. "Kalau dipaksakan, ya, tentu bisa saja, tapi
kwalitasnya masya Allah jadinya", tambah Misbach. Baik
Sumardjono mau pun Misbach, keduanya berbicara tentang peralatan
yang amat kurang. "Untuk produksi yang jumlahnya terbatas
seperti sekarang ini saja kekurangan itu kita alami, apa lagi
kalau produksinya tambah banyak', keluh Sumardjono. Konon pula
alat-alat, terutama lensa, sudah dalam keadaan menyedihkan.
"Perawatan amat kurang", kata Misbach.
Menteri Mashuri sudah tentu tidak sempat menjawab reaksi yang
diberikan secara terperinci. Lagi pula Deppen rupanya memang
punya konsep tersendiri yang belum diketahui oleh kalangan
perbioskopan. "Rencana ini bukan rencana awur-awuran, sebab
sudah saya fikirkan sejak saya jadi menteri tahun 1973 yang
lalu", begitu Mashuri berkata. Dan rencana yang dipersiapkan
lama itu telah pula mendapat dukungan fraksi Karya dalam DPR
serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini