Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Penyelundupan "eva"

Film "the story of life" diputar di yogya dan sema rang, ternyata belum disensor, disita. 3 kesalahan: melanggar aturan peredaran film impor, melakukan reproduksi gelap & memalsukan surat izin sensor. (fl)

2 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILM itu bertahan selama 12 hari pada bioskop klas satu di Yogyakarta. Ini tentu film menarik, iklannya pun tidak kurang hebat. Saking hebatnya, hingga anggota Badan Sensor Film di Jakarta memberi perhatian khusus. Memperhatikan harian Kedaulatan Rakyat (terbitan Yogyakarta) yang memuat iklan film Tbe Story of Life itu, Haji Abdul Karim, sekretaris BSF, berkata: "Rasanya kok, kita tidak pernah menyensor film ini". Tapi haji ini tidak tinggal puas dengan perasaan. Ia memerintahkan pemeriksaan dokumen BSF. "Ternyata film itu tidak pernah disensor". Dan di akhir Agustus itu juga Karim menghubungi Kantor Wilayah Deppen Yogyakarta untuk mensita film tersebut. Di Yogyakarta, film tersebut memasuki peredaran setelah disensor oleh Badan Pembina Perfilman Daerh (Bapipda) DIY tanggal 19 Agustus yang lalu. Pemilik bioskop tentu saja terkejut setelah diberitahu bahwa film yang diputarnya harus segera diserahkan kepada kantor Kanwil. Hari itu 30 Agustus, dan para pegawai di kantor Kanwil sampai tengah malam tidak kunjung menerima film. "Bukan kita tidak mau menyerahkannya, tapi itu bukan wewenang kami, sebab kami hanya pinjam", kata Lukito, manajer bioskop Yogya Teater, kepada Syahril Chili, pembantu TEMPO di Yogya. Di Semarang, berita BSF itu tidak ditanggapi dengan serius. Malahan dengan amat menyolok, film itu diiklan secara besar-besaran di koran-koran Semarang sembari diputar di 3 bioskop sekaligus. Kanwil mau pun polisi Yogya jadi penasaran. Dengan bersenjatakan surat dari BSF, polisi Komresko 961 Yogyakarta melakukan aksi penyitaan. Film itu diambil dari tangan Fa. Budi Santoso, pengedar film tersebut untuk wilayah Jawa Tengah. Tanggal 7 September yang lalu, film sitaan itu sudah berada di kantor BSF Jalan Agussalim, Jakarta. Dipalsukan Setelah diteliti, "ternyata izin sensor film itu dipalsukan", kata Karim. Film tersebut memang pernah disensor dengan judul Because of Eve. Nomor izin sensornya adalah: 1/6/35/72 tertanggal 7 Januari 1970. Entah oleh pemilik film, atau oleh distributornya, nama dan surat izin sensor dari film itu diubah. Namanya menjadi The Story of Life sedang izinnya mengalami perubahan pada tahunnya, dari 1970 menjadi 1972. Perubahan izin itu tidak mudah diketahui lantaran surat izin yang disertakan bersama filmnya sudah merupakan foto copy. Penelitian BSF juga menemukan hal yang tidak diperkirakan semula. "Copy film itu ternyata sudah reproduksi, bukan lagi yang asli impor", kata Karim pula. Mengapa semua itu terjadi? Jawaban pasti belum bisa diperoleh, sebab nampaknya masih sulit memastikan siapa kini yang jadi pemilik film tersebut. Film itu dimasukkan ke Indonesia oleh PT Kalimantan Motion Pictures di tahun 1970. Setelah 5 tahun, masa royalty (izin pengedaran) film itu jelas sudah habis, sementara PT Kalimantan sendiri sudah tutup buku. Di Jawa Tengah yang bisa dihubungi sehubungan dengan soal film ini adalah CV Bambu dan Fa Budi Santoso. Yang pertama kabarnya memiliki film tanpa mempunyai izin mengedarkan, sedang yang terakhir mempunyai izin mengedarkan. Terjadi kerja sama? Nampaknya begitu. Cuma belum diketahui sampai berapa jauh kerja sama itu. Tiga "Yang jelas film itu tersangkut pada tiga kesalahan", kata Haji Karim. Pertama, melanggar aturan peredaran film impor yang dibatasi oleh masa royalty 5 tahun. Kedua, melakukan reproduksi gelap. Ketiga, memalsukan surat izin sensor. Wah, wah. Lalu tindakan apa dan terhadap siapa yang akan dilakukan oleh pemerintah? "Pencabutan izin sebagai distributor film terhadap Fa Budi Santoso yang berkedudukan di Semarang", kata drs Sunaryo St, Direktur Bina Film Deppen. Di pihak sensor sendiri berbagai langkah sedang dipersiapkan untuk mencegah terjadinya pemalsuan surat izin sensor. "Mulai sekarang, foto copy surat izin tidak diperbolehkan lagi", kata Pitoyo, seorang anggota sensor. Tapi yang amat ditakutkan oleh Haji Karim adalah kemungkinan mereproduksi sebuah film dalam jumlah yang banyak. "Hal ini terutama bisa dan mungkin terjadi jika jatah film berkurang akibat pelarangan film impor nanti", begitu ia dikutip. Dan terhadap pelanggaran semacam ini, pejabat-pejabat di BSF terus terang mengakui kekurang-mampuan mereka melakukan kontrol penuh di seluruh Indonesia. Konon banyak laporan yang masuk mengenai kecurigaan terhadap film yang diputar di bioskop-bioskop daerah. "Tapi kami tidak bisa mengambil tindakan lantaran tidak punya petugas yang cukup dan siap setiap saat", kata Karim pula. Akhirnya BSF cuma bisa mengelus dada jika kemudian mengetahui bahwa potongan-potongan film yang telah disensor muncul kembali dalam pertunjukan-pertunjukan di daerah-daerah. "Kalau mau nonton film seram, nonton di daerah, jangan di Jakarta", gurau seorang anggota sensor. "Potongan-potongan terlarang itu diselundupkan oleh para importir dari luar negeri", kata W. Silitonga yang anggota BSF.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus