FILM itu bertahan selama 12 hari pada bioskop klas satu di
Yogyakarta. Ini tentu film menarik, iklannya pun tidak kurang
hebat. Saking hebatnya, hingga anggota Badan Sensor Film di
Jakarta memberi perhatian khusus.
Memperhatikan harian Kedaulatan Rakyat (terbitan Yogyakarta)
yang memuat iklan film Tbe Story of Life itu, Haji Abdul Karim,
sekretaris BSF, berkata: "Rasanya kok, kita tidak pernah
menyensor film ini". Tapi haji ini tidak tinggal puas dengan
perasaan. Ia memerintahkan pemeriksaan dokumen BSF. "Ternyata
film itu tidak pernah disensor". Dan di akhir Agustus itu juga
Karim menghubungi Kantor Wilayah Deppen Yogyakarta untuk mensita
film tersebut.
Di Yogyakarta, film tersebut memasuki peredaran setelah disensor
oleh Badan Pembina Perfilman Daerh (Bapipda) DIY tanggal 19
Agustus yang lalu. Pemilik bioskop tentu saja terkejut setelah
diberitahu bahwa film yang diputarnya harus segera diserahkan
kepada kantor Kanwil. Hari itu 30 Agustus, dan para pegawai di
kantor Kanwil sampai tengah malam tidak kunjung menerima film.
"Bukan kita tidak mau menyerahkannya, tapi itu bukan wewenang
kami, sebab kami hanya pinjam", kata Lukito, manajer bioskop
Yogya Teater, kepada Syahril Chili, pembantu TEMPO di Yogya.
Di Semarang, berita BSF itu tidak ditanggapi dengan serius.
Malahan dengan amat menyolok, film itu diiklan secara
besar-besaran di koran-koran Semarang sembari diputar di 3
bioskop sekaligus. Kanwil mau pun polisi Yogya jadi penasaran.
Dengan bersenjatakan surat dari BSF, polisi Komresko 961
Yogyakarta melakukan aksi penyitaan. Film itu diambil dari
tangan Fa. Budi Santoso, pengedar film tersebut untuk wilayah
Jawa Tengah. Tanggal 7 September yang lalu, film sitaan itu
sudah berada di kantor BSF Jalan Agussalim, Jakarta.
Dipalsukan
Setelah diteliti, "ternyata izin sensor film itu dipalsukan",
kata Karim. Film tersebut memang pernah disensor dengan judul
Because of Eve. Nomor izin sensornya adalah: 1/6/35/72
tertanggal 7 Januari 1970. Entah oleh pemilik film, atau oleh
distributornya, nama dan surat izin sensor dari film itu diubah.
Namanya menjadi The Story of Life sedang izinnya mengalami
perubahan pada tahunnya, dari 1970 menjadi 1972. Perubahan izin
itu tidak mudah diketahui lantaran surat izin yang disertakan
bersama filmnya sudah merupakan foto copy. Penelitian BSF juga
menemukan hal yang tidak diperkirakan semula. "Copy film itu
ternyata sudah reproduksi, bukan lagi yang asli impor", kata
Karim pula.
Mengapa semua itu terjadi? Jawaban pasti belum bisa diperoleh,
sebab nampaknya masih sulit memastikan siapa kini yang jadi
pemilik film tersebut. Film itu dimasukkan ke Indonesia oleh PT
Kalimantan Motion Pictures di tahun 1970. Setelah 5 tahun, masa
royalty (izin pengedaran) film itu jelas sudah habis, sementara
PT Kalimantan sendiri sudah tutup buku. Di Jawa Tengah yang bisa
dihubungi sehubungan dengan soal film ini adalah CV Bambu dan Fa
Budi Santoso. Yang pertama kabarnya memiliki film tanpa
mempunyai izin mengedarkan, sedang yang terakhir mempunyai izin
mengedarkan. Terjadi kerja sama? Nampaknya begitu. Cuma belum
diketahui sampai berapa jauh kerja sama itu.
Tiga
"Yang jelas film itu tersangkut pada tiga kesalahan", kata Haji
Karim. Pertama, melanggar aturan peredaran film impor yang
dibatasi oleh masa royalty 5 tahun. Kedua, melakukan reproduksi
gelap. Ketiga, memalsukan surat izin sensor. Wah, wah. Lalu
tindakan apa dan terhadap siapa yang akan dilakukan oleh
pemerintah? "Pencabutan izin sebagai distributor film terhadap
Fa Budi Santoso yang berkedudukan di Semarang", kata drs Sunaryo
St, Direktur Bina Film Deppen.
Di pihak sensor sendiri berbagai langkah sedang dipersiapkan
untuk mencegah terjadinya pemalsuan surat izin sensor. "Mulai
sekarang, foto copy surat izin tidak diperbolehkan lagi", kata
Pitoyo, seorang anggota sensor. Tapi yang amat ditakutkan oleh
Haji Karim adalah kemungkinan mereproduksi sebuah film dalam
jumlah yang banyak. "Hal ini terutama bisa dan mungkin terjadi
jika jatah film berkurang akibat pelarangan film impor nanti",
begitu ia dikutip.
Dan terhadap pelanggaran semacam ini, pejabat-pejabat di BSF
terus terang mengakui kekurang-mampuan mereka melakukan kontrol
penuh di seluruh Indonesia. Konon banyak laporan yang masuk
mengenai kecurigaan terhadap film yang diputar di
bioskop-bioskop daerah. "Tapi kami tidak bisa mengambil tindakan
lantaran tidak punya petugas yang cukup dan siap setiap saat",
kata Karim pula.
Akhirnya BSF cuma bisa mengelus dada jika kemudian mengetahui
bahwa potongan-potongan film yang telah disensor muncul kembali
dalam pertunjukan-pertunjukan di daerah-daerah. "Kalau mau
nonton film seram, nonton di daerah, jangan di Jakarta", gurau
seorang anggota sensor. "Potongan-potongan terlarang itu
diselundupkan oleh para importir dari luar negeri", kata W.
Silitonga yang anggota BSF.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini