Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Karena Masih Ada Vokal

Komposer Christian Utz menampilkan karyanya bersama ensemble online di Teater Salihara. Dia menegaskan pentingnya vokal pada zaman globalisasi.

20 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Piano yang dibuka soundboardnya itu dibunyikan tidak dengan cara konvensional. Hsin Huei Huang, pemainnya, memegangi bulu penggesek cello yang sengaja diselempangkan pada satu dawai; salah satu ujung bulu itu dilepas dari tangkainya. Dengan gerakan bergantian dari tangan kiri dan kanan, dia lalu menggesek-gesekkan bulu itu. Sesekali dia juga menahan getaran dawai dengan botol saat menekan tuts.

Bunyi yang menyayat dan derit-derit tipis terdengar jernih sekaligus emosional. Ada kesan tegang di situ. Tapi juga seperti ada ikhtiar untuk menahannya agar tidak meletup.

Kesan itu kuat memancar dari Zersplitterung, komposisi yang menjadi bagian dari repertoar pertunjukan Christian Utz & ensemble_online pada hari pertama di Teater Salihara, Jakarta, Rabu pekan lalu. Bertumpu pada satu puisi kontemporer Korea, karya Utz, guru besar teori dan analisis musik di University of Music and Dramatic Arts, Graz, Austria, ini memang mengekspos konflik. Persisnya: ia mengalihrupakan tensi akibat benturan antara budaya kontemporer dan tradisional yang muncul dalam teks puisi itu menjadi musik vokal di antara sekuens dan tekstur bebunyian. Utz menggubahnya khusus untuk bariton, piano, dan perkusi gelas.

”Saya tidak bisa berbahasa Korea. Saya mendapatkan rekaman bacaan puisi itu dan mendengarkannya berulang-ulang, sebelum membuat musiknya,” kata Utz.

Puisi yang dimaksud adalah Ch’im-mung-e tae-ha-yo (Silence) karya Ko Un. Menurut Utz, struktur puisi ini serupa dengan Ku nalun (This Day) karya Ch’on Sangbyong dan sijo puisi tradisional Korea—karya Kim Inhu. Puisi-puisi ini mengekspresikan fragmentasi budaya tradisional dan modern di Korea, yang oleh Utz diumpamakan antara lain sebagai ”celah antara diam dan bicara”.

Dalam komposisi yang pertama kali dipentaskan pada 2002 itu, Utz menata bagian instrumental dengan tujuan ”menghadirkan” ketegangan itu. Caranya: dia menyeimbangkan bebunyian yang labil dan sensitif yang sulit dikendalikan dengan letupan kekerasan yang dihasilkan oleh energi mahabesar. Bunyi kategori pertama datang dari botol atau dawai piano yang digesek-gesek. Bunyi kategori kedua diproduksi (melalui pemain perkusi Berndt Thurner) antara lain oleh botol dalam piano, papan kaca yang dipecahkan dengan palu, juga keping-keping kaca yang digerus.

Di antara itu, bariton Martin Lindsay ”menyanyikan” libretto yang elaborasi musikalnya setia pada prinsip sijo tapi ditata mendekati intonasi bicara dan irama teks yang diucapkan:

mo-dun ch’im-muk-tura
han-pan-to-e hut o-chin ch’im-muk-tur-a
tor-a-o-ra

you, silence
silence, scattered on this island
come back

Bagi Utz, Asia memang bukan wilayah asing. Pada 2007-2008, dia menjadi profesor tamu di National Chiao-Tung University, Xinzhu, Taiwan, dan University of Tokyo, Jepang. Tapi, lebih dari itu, pria kelahiran Munich, Jerman, 40 tahun lalu yang belajar komposisi, piano, teori musik, dan musikologi di Wina dan Karlsruhe ini juga sangat berminat pada kolaborasi antarbudaya. Di bidang inilah dia memperoleh gelar doktor dari Institute for Musicology di Vienna University.

Faset lain dari minatnya itu muncul dalam Zersplitterung, juga telinga-mulut, karyanya yang dipentaskan pertama kali pada malam kedua, Kamis pekan lalu. Melalui keduanya, dia mencoba mengaplikasikan pandangannya mengenai peran musik vokal pada zaman tanpa batas dewasa ini. Menurut dia, musik vokal, yang surut sepanjang abad ke-20, masih berpeluang memperkuat identitas lokal atau malah meleburkan identitas itu ke dalam ruang-ruang musik ”baru”.

Melalui ”musikalisasi” puisi Korea, pada Zersplitterung, Utz menonjolkan tiga aspek pokok demi menunjukkan lintasan-lintasan antarbudaya di antara perkataan dan lagu. Fokusnya adalah perubahan artikulasi vokal. Pertama, karakter ”mantra”—vokal yang mengeksplorasi struktur terkecil kata dan suku kata. Kedua, struktur nada yang berubah-ubah, sesuai dengan tradisi sijo. Dan ketiga, teks dalam bahasa Inggris dan Jerman ditata menurut teknik vokal antara menyanyi dan bicara, dengan merujuk pada ”bentuk” aslinya dalam bahasa Korea.

Memang rumit. Tapi menantang. Dan dia punya Lindsay untuk menghidupkan semua itu. Sementara piano dan perkusi gelas bergerak sebagai akibat dari respons musikal terhadap situasi konflik, kata-kata yang dinyanyikan oleh Lindsay menyambut dengan gairah interaksi yang sama intensnya, juga sama terkontrolnya.

Purwanto Setiadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus