Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dua Puluh Tahun Memelihara Kegilaan

Perupa Agus Suwage merayakan usia 50 tahun dan berkarya selama 20 tahun lewat pameran retrospeksi. Sempat hampir terjebak pengulangan idiom rupa.

20 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enam patung figur itu berdiri dengan sikap sempurna, bak orang sedang mengikuti upacara menaikkan bendera. Kaki tegak lurus, dua tangan terjulur rapat, dengan tubuh yang diselimuti pakaian overall putih mirip seragam penjara. Figur-figur ini memang dikerangkeng dalam ruang berukuran 12 x 4 meter dengan jeruji besi, juga dalam warna putih.

Tapi lihatlah wajah mereka enam wajah yang sangat dikenal dalam jagat seni rupa Indonesia. Ada wajah yang mirip kolektor kondang Oei Hong Djien, Melani Setiawan, Dedi Kusuma, dan Douglas Lim. Ada pula wajah mirip pemilik Galeri Nadi, Biantoro Santoso. Ada wajah mirip kurator Rifky ”Goro” Effendi. Perupa Agus Suwage mengerangkeng enam figur itu dalam judul karya Passion Play pada pameran bertajuk Still Crazy After All These Years di bekas kampus Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI Yogyakarta, 4 Juli hingga 31 Juli. Bekas kampus ini kini bersalin nama menjadi Jogja National Museum.

Mungkin Agus, yang memestakan ulang tahunnya yang ke-50 dengan pameran retrospektif ini, sedang berolok-olok. Oei Hong Djien adalah dokter yang banting stir menjadi pengetes kualitas daun tembakau di Magelang, Jawa Tengah, dan kini ”tersesat” sebagai kolektor pengetes kualitas karya seni rupa. Dia kolektor yang paling ditunggu-tunggu pelukis pada setiap pameran lukisan, dengan harapan ia membeli, sehingga sekian puluh kolektor akan ikut membeli. Karena dia adalah ”nabi” kolektor.

Melani Setiawan juga dokter dan kolektor. Hampir di setiap pameran seni di negeri ini ia muncul dengan wajahnya yang kaku tapi ramah pada setiap orang. Ia selalu muncul dengan kamera saku, lalu memotret siapa saja tanpa pandang bulu—dan setelah itu ia mengirimkan hasil jepretannya ke ”korban” lensa kameranya. Selain Hong Djien dan Melani, ada Deddy Kusuma, pengusaha properti yang juga dikenal sebagai kolektor kakap, dan Douglas Lim, kolektor yang masih berusia 14 tahun. ”Ini fenomenal,” ujar Agus.

Fenomena lain adalah Rifky Effendi. Ia kini kurator laris yang banyak mengkurasi pameran bersama maupun pameran tunggal perupa kontemporer di galeri berbagai kota. Julukannya ”kurator lintas kota”. Wajahnya muncul hanya dalam selisih beberapa hari di Jakarta, Yogyakarta, Semarang. ”Jadwalnya padat,” ujar seorang perupa. Sebagai sosok yang menjadi pusat perhatian, fakta dan gosip seputar Goro bisa campur-baur.

Sosok lain adalah Biantoro Santosa, arsitek dan pemilik Galeri Nadi, Jakarta. Ia sukses memasarkan seni rupa kontemporer. Biantorolah yang berhasil pertama kali menjual karya seni rupa kontemporer Agus yang selama ini tak pernah dilirik kolektor arus besar.

Ia mengawinkan citra intelektualitas karya seni rupa kontemporer dengan pasar. Harga karya Agus yang pada masa awal karier profesionalnya hanya di bawah Rp 10 juta, lewat sentuhan Biantoro, melejit: pasar menyerapnya dengan harga berlipat-lipat. Tangan Biantoro jugalah yang membuat karya perupa lainnya yang sulit dijual bisa mendapatkan pembeli. Biantoro membuat wajah perupa Handiwirman berhias senyum karena tak pernah membayangkan bisa membawa segepok uang hasil penjualan karyanya. ”Nikmat,” ujar Handi tersipu-sipu. Berpameran di Galeri Nadi milik Biantoro identik dengan: sold out.

Menurut Agus, enam figur pemain semacam itulah yang berkuasa terhadap karya seni rupa kontemporer. Tangan Agus pun gatal. Jadilah Passion Play. ”Kini giliranku menunjukkan kekuasaan,” ujar perupa lulusan Fakultas Seni Rupa ITB ini. Enam sosok kondang dalam jagat seni rupa kontemporer Indonesia itu pun menjadi tontonan pengunjung pameran.

Kurator pameran ini, Enin Supriyanto, juga menempatkan sosok di kerangkeng itu dalam kerangka kuratorial yang ia beri label Still Crazy After All These Years, meminjam judul lagu karya Paul Simon. Yang hendak digambarkan adalah Agus yang tetap memelihara ”kegilaannya” dalam berkarya saat usianya mengancik 50 tahun. ”Meski sudah tua, masih tetap edan,” ujar Enin.

Kegilaanlah yang dimiliki Agus ketika ia memutuskan sepenuhnya menjadi seniman profesional dengan label perupa, yang kala itu tidak menjanjikan imbalan ekonomi yang menggiurkan. Ia nekat meninggalkan pekerjaan kantoran sebagai desainer grafis sesuai dengan ijazahnya dari Fakultas Seni Rupa ITB. Ini langkah yang pada masa booming ekonomi Orde Baru waktu itu dilakukan hanya oleh segelintir lulusan seni rupa ITB—jauh lebih banyak yang memilih bekerja di sektor periklanan yang juga menjadi industri besar ketimbang menjadi seniman.

Agus mengusung karya seni kontemporer yang dinilai merupakan karya ecek-ecek dalam arus besar seni rupa Indonesia pada 1990-an. Dengan citra itu, ia menggelar pameran tunggal pertama di Galeri Cemeti, Yogyakarta, pada 1995. Tanpa didampingi sosok kurator, yang saat ini sudah menjadi profesi menggiurkan. Dari Jakarta, kediamannya dulu, ia hanya mengusung tak sampai sepuluh karya dua dimensi, jumlah yang bisa masuk ruang sempit galeri di rumah kontrakan di Jalan Ngadisuryan, Yogyakarta.

Pada periode awal karyanya, Agus larut dalam kecenderungan tema komentar sosial, tapi dengan pendekatan yang lebih sublim dan kelam. Tekanan rezim Orde Baru membuat perupa yang menggarap isu sosial politik tiarap dan berlindung di balik metafora yang ketat. Tapi tekanan itu pula yang membuat karya seni rupa tidak terempas menjadi poster politik. Agus dengan kemampuannya sebagai perupa juga secara tak langsung terlibat dalam gerakan bawah tanah melawan rezim, dengan ikut menggarap publikasi gelap pada pertengahan 1990-an.

Agus juga menggunakan materi yang tak lazim. Misalnya ia mengganti kanvas dengan pelat aluminium atau kertas dan menggunakan pigmen tanah, bahkan aspal, untuk menghasilkan karya drawing. Pada karya bertarikh 1995 berjudul Buddha Menangis, misalnya, ia menggunakan sosok patung kepala Buddha berupa citraan foto di tengah goresan arang (charcoal) yang sangat kuat membentuk lanskap hutan yang habis dibabat.

Ia kemudian memang identik dengan drawing yang bertumpu pada kekuatan garis dengan figur sebagai subject matter. Bak perajin, ia membuat karya seni rupa buku dan dipamerkan di Galeri Lontar, Jakarta, pada 1997. Buku itu berisi sejumlah karya drawing yang dibuat dalam edisi terbatas dengan menggunakan berbagai teknik. Ketika pelukis lebih suka menggunakan cat akrilik di atas kain kanvas, Agus termasuk segelintir perupa kontemporer yang justru merepotkan diri dengan teknik cat air di atas kertas dengan efek transparan dan cair. Kelak efek cat air ini pula yang ia eksplorasi di atas kain kanvas dengan teknik cat minyak.

Kegilaannya pada figur ia tunjukkan dengan mengeksplorasi figur tunggal, baik berupa ekspresi wajah maupun gerak tubuh. Ia mengambil wajah dan tubuhnya sebagai model. Lewat wajah dan tubuhnya sendiri ia mengekspresikan sikap kritis terhadap diri sendiri. ”Sebelum mengkritik orang lain, lebih baik mengkritik diri sendiri dulu,” katanya. Pada Holly Dog (1999-2000) ia menampilkan tiga citraan wajahnya dengan lidah menjulur.

Wajah dan gerak tubuhnya ia eksplorasi habis-habisan. Akibatnya, ia hampir terjebak pada keprigelannya menggarap elemen estetik dalam pengulangan bentuk hafalan—eksploitasi wajah, posisi tubuh yang tak lazim—sebagaimana pelukis besar lainnya semacam Affandi dengan bentuk ayam jagonya, Widayat dengan corak dekoratifnya, Djoko Pekik dengan figur ledek, bahkan Heri Dono dengan bentuk figur wayangnya.

Walau begitu, Agus tampaknya berusaha melepas cengkeraman stereotipe elemen estetiknya dan mencoba menjelajah wilayah estetik lain. Kedekatannya dengan isu sosial, politik, dan budaya pop membuat karyanya lebih beragam secara tematik. Kemampuan estetiknya yang tinggi menghasilkan idiom rupa yang lebih beraneka. Ia membuat potret tokoh—Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi (2006), The Times They Are a Changing (2006)—dengan medium dua dimensi. Tapi ia juga membuat karya instalasi Passion Play tadi, yang menunjukkan ia bisa bersikap independen mengolok-olok orang yang berperan dalam hidupnya, dan sekaligus mengolok-olok dirinya.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus