KERJA sama antara IPGI, Ikatan Perancang Grafis Indonesia, dan Jagda, Japan Graphic Designers Association (Ikatan Perancang Grafis Jepang) berlanjut. Februari tahun lalu mereka memamerkan hasil-hasil rancangan grafis Jepang dan Indonesia: poster terutama, dan beberapa jenis rancangan lain seperti buku, brosur, dan kemas. Begitu pula tahun ini. Grafis '89: Pameran Grafis Indonesia Jepang berlangsung di Jakarta (Gedung Pameran Seni Rupa, 23-30 Maret), Bandung (Yayasan Pusat Kebudayaan, 12-20 April), dan Yogyakarta (Kampus Institut Seni Indonesia, 26 April-3 Mei). Ruangan yang disediakan oleh Gedung YPK di Bandung tampak tidak memadai. Di dinding, poster-poster bukan saja berderet, tetapi juga bersusun. Sebagian dipajang membelakangi kaca jendela yang meskipun sudah ditutup kertas masih menyemprotkan terang siang dari luar. Yang mengherankan atau bahkan mengejutkan dalam pameran yang pertama "Desain Grafis untuk Komunikasi" ini ialah justru kurangnya informasi dasar yang diperlukan pengunjung. Kebanyakan poster Jepang dalam pameran ini berisi huruf-huruf Jepang, dan tidak sedikit di antaranya yang hanya berisi huruf-huruf itu saja. Bagaimana kebanyakan pengunjung Indonesia memahami poster seperti ini, jangankan menaksir kejituannya? Gambar pada umumnya bersifat polisemi, bermakna ganda: mempunyai kemungkinan makna lebih dari satu. Maknanya menjadi tertentu jika gambar itu menyangkut pada suatu gagasan atau kerangka pikiran tertentu yang, dalam hal poster, disediakan oleh kata-kata atau teks. Beberapa poster rancangan Indonesia diberi catatan dengan tulisan tanda pada secarik kertas yang ditempelkan di tepi bawah poster (oh, desain!), menerangkan bahwa poster itu "terbaik" atau "harapan". Ini dalam rangka apa, serta "terbaik" atau "harapan" di antara poster-poster yang mana? Pengunjung berhadapan dengan misteri. Informasi tercetak yang dibagikan kepada pengunjung hanya berisi sambutan-sambutan, sebuah katangan ringkas tentang Shigeo Fukuda (entah dengan alasan dan maksud apa), daftar peserta IPGI (tak ada daftar peserta Jagda) ucapan terima kasih kepada pihak-pihak (ada kira-kira selusin) yang berperan serta dalam penyelenggaraan pameran, dan reproduksi sejumlah rancangan grafis yang dipamerkan. Tidak ada katalog karya yang dipajang. Tahun lalu sehubungan dengan pameran serupa (TEMPO, 20 Februari 1988) kita menunjuk kepada banyaknya pemakaian konotatif gambar (gambar digunakan terutama untuk membangkitkan asosiasi dan bukan terutama untuk mengacu kepada obyek yang digambarkan), begitu pula kepada kekayaan jenis retorika gambar (mengungkap melalui pengulangan, kias atau metafora, elipsis, antitesis, dan sebagainya) dalam rancangan grafis Jepang. Praktek seperti itu melibatkan penjelajahan ragam hubungan antara gambar dan kata. Hal-hal yang kita utarakan masih berlaku untuk rancangan grafis Jepang yang dipamerkan kali ini juga. Dalam pameran sekarang, pemakaian konotatif gambar muncul dalam sejumlah poster Indonesia bertemakan tradisi (dan modernisasi). Misalnya dalam poster yang berisi semboyan "Mewarisi tradisi membentuk pribadi" (salah satu poster yang dianggap baik), gambar wanita dalam busana tradisional berfungsi untuk membangkitkan gagasan "ramah" dan "santun" (asosiasi yang tergugah oleh gambar), dan bukan untuk memperlihatkan contoh sosok wanita atau contoh busana tradisional suku tertentu (obyek yang digambarkan). Poster itu dapat berarti lain seandainya gambar tidak mendapat sangkutan pikiran "pribadi kita" yang disediakan oleh semboyan. Pemakaian konotatif gambar melibatkan syarat atau faktor yang memadai untuk mengendalikan - membatasi dan mengarahkan -- asosiasi pikiran. Dalam rancangan grafis Indonesia, misalnya dalam poster-poster pariwisata yang tersaji dalam pameran ini, gambar pada umumnya berfungsi denotatif: menunjukkan contoh obyek yang dapat dilihat di daerah yang disebutkan oleh teks (kata). Kekurangan yang sering kita temukan dalam rancangan grafis di Indonesia -- dan mudah pula kita temukan dalam pameran ini -- ialah lemahnya dalam pemakaian konotatif gambar, misalnya dalam hal mengendalikan asosiasi, serta miskinnya retorika gambar. Umumnya perancang grafis kita amat kuat cenderung kepada kebagusan gambar dan kurang menguasai segi-segi semantik atau segi-segi semiotik gambar. Kita tentu berharap agr IPGI memberikan perhatian serta upaya yang lebih besar kepada pelaksanaan pameran internasional dalam rangka kerja sama dengan Jagda ini. Tentu ini merupakan salah satu syarat yang penting untuk berlanjutnya kerja sama. Kita berharap kerja sama itu akan berkembang, tidak terbatas pada pameran bersama saja, sehingga para perancang grafis kita umumnya, dan IPGI khususnya, dapat menarik manfaat yang lebih besar.Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini