KRISIS KEBEBASAN Oleh: Albert Camus Penerjemah: Edhi Martno Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988, 188 halaman DIDAAHULUI sebuah esei Goenawan Mohamad sebagai pengantar, buku ini menyajikan sekumpulan esei Albert Camus, bersumber sebagian besar pada Resistance, Rebellion and Death, sebuah terjemahan Inggris oleh Justin O'Brien, New York, 1974. Esei-esei tersebut membicarakan masalah kebebasan di samping masalah-masalah lainnya. Dalam esei pertama, misalnya, yang berjudul Surat kepada Seorang Teman dari Jerman, diperbandingkan sikap yang membela kebebasan (sikap Prancis dan Eropa yang bebas lainnya) dengan sikap yang menindas kebebasan (sikap Nazi Jerman). Sikap yang berbeda itu menimbulkan pandangan yang berbeda pula. Dalam esei berikutnya, Menghormati Sebuah Pengasingan, dikemukakan bahwa pencinta kebebasan sejati adalah mereka yang menerapkan kebebasan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Contoh paling jelas dalam hal ini adalah Presiden Eduardo Santos. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi El Tiempo, koran terbesar di Amerika Selatan. Ketika kebebasan pers ditindas, ia memilih lebih baik mengorbankan korannya untuk dibreidel daripada harus mengabdi pada kepalsuan dan despotisme. Tetapi ketika menjabat presiden Colombia, ia tidak hanya tidak menggunakan kekuasaan untuk menyensor orang lain, tetapi juga menjaga agar koran lawan-lawan politiknya tidak ditekan pula. Setelah ia tak menjabat presiden lagi dan memimpin El Tiempo yang kemudian dibreidel itu, ia bahkan hendak diasingkan pula dari negerinya oleh pemerintah yang berkuasa saat itu, secara halus, dengan jalan mengangkatnya sebagai duta besar di Paris. Tetapi ia menolak. Berkenaan dengan peristiwa inilah esei Menghormati Sebuah Pengasingan ditulis sebagai pidato untuk menghormati pengasingan bekas presiden itu. Sehubungan dengan masalah kebebasan, apakah yang dapat dilakukan para cendekiawan saat ini? Ini dipertanyakan dalam esei berjudul Sosialisme Tiang Gantungan. Menurut Camus, sebaiknya para cendekiawan tidak usah banyak bicara. Ini bukan saja akan melelahkan, tetapi juga akan membuat mereka berhenti berpikir. Tugas pokok mereka adalah melakukan penelitian dan penemuan. Tetapi dalam keadaan memaksa, misalnya dalam menghadapi perang Spanyol, kamp konsentrasi Hitler atau Stalin, atau perang Hungaria, mereka tidak boleh ragu-ragu menentukan sikap. Untuk ini, mereka perlu berhati-hati agar tidak dipengaruhi oleh propaganda sepihak, dan tak perlu pula memperhitungkan keuntungan pribadi da lam membela kebebasan. Persatuan cendekiawan, dalam hal-hal tertentu, dapat menghimpun kekuatan yang besar pengaruhnya, terutama di saat kebebasan dan jiwa massa terancam hancur. Cendekiawan Hungaria telah membuktikannya. Masalah sikap yang dikemukakan dalam esei Sosialisme Tiang Gantungan, dan esei ini aslinya merupakan wawancara yang dimuat dalam Demain, 21-27 Februari 1957. Masalah menarik lainnya yang dibicarakan dalam kumpulan esei Albert Camus ini adalah masalah seni dan masalah hukuman mati. Masalah seni dapat kita baca antara lain dalam esei berjudul Berkarya dalam Bahaya. Dalam esei ini dikemukakan, misalnya, hubungan antara realitas dan seni. Menurut Camus, tak ada gunanya menentukan apakah seni harus lepas dari realitas atau setia padanya. Yang penting adalah "dosis" realitas yang tepat untuk dijadikan pengimbang agar seni tidak selalu mengapung di awan atau terseok-seok di permukaan bumi. Tiap seniman mengatasi masalah ini menurut pemahaman dan kemampuan masing-masing. Karya yang besar akan selalu muncul, seperti karya-karya dari para penulis tragedi Yunani, dan Melville, Tolstoy, atau Moliere. Karya-karya ini menjaga keseimbangan antara realitas dan penolakan terhadap realitas. Masalah hukuman mati ditulis dalam esei terakhir berjudul Merenungkan Gilotin. Menurut Camus, hukuman mati bukan saja tidak berguna, melainkan juga merusak. Dasar alasan yang dipakai para pendukung hukuman mati adalah nilai yang dapat dijadikan contoh. Kepala dipenggal tidak hanya untuk menghukum, melainkan juga buat menakuti orang-orang yang tergoda untuk melakukan kejahatan serupa. Tetapi kenyataannya, masyarakat sendiri tidak yakin akan nilai hukuman mati yang dapat dijadikan contoh itu. Hukuman mati hanya mempertegas nilai kekejian yang akibatnya tidak dapat diduga sebelumnya. Karena itu, Camus mengusulkan cara pelaksanaan hukuman mati dengan mempergunakan obat bius, yang akan mengantar kematian si terhukum seakan hendak pergi tidur. Namun, dengan begini pun tidaklah cukup, sebelum pada akhirnya hukuman mati itu dihapuskan. Membaca esei-esei Camus memang mengasyikkan. Pada satu esei kita seperti mendengarkan pidato yang anggun, pada esei yang lain seperti mengikuti wawancara yang diberikan eseis itu kepada wartawan, dan pada bagian dari esei yang lain lagi kita seperti memasuki fragmen sebuah novel. Tetapi betapapun mengasyikkannya, di sana-sini, pada bagian-bagian tertentu, esei-esei itu mesti kita baca dengan mengerutkan dahi. Sungguhpun Camus tak begitu asing lagi di negeri ini -- berkat tulisan-tulisan mengenai dunia pemikirannya yang diperkenalkan pengarang-pengarang kita dari angkatan 45 di tahun 50-an -- masih kelewat sedikit karyanya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dengan kumpulan eseinya ini, karya-karya Camus dalam terjemahan Indonesia bertambah satu lagi. Hartojo Andangdjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini