Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Studi mengenai politik Islam di era demokrasi sudah menjadi sesuatu yang umum. Tapi belum banyak ilmuwan yang menulis dan menganalisis bagaimana politik Islam diartikulasikan dan dimobilisasi ke dalam suatu pertarungan politik konkret. Dengan melampaui pendekatan institusionalis ataupun pendekatan pluralis-normatif yang selama ini dominan, Vedi R. Hadiz, guru besar The University of Melbourne, Australia, menyajikan suatu pandangan inovatif mengenai politik Islam. Vedi mengundang kita memahami politik Islam sebagai kerangka perjuangan hegemonik. Ia berhasil menggunakan konsep filsafat politik yang dikenalkan terutama oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, yakni populisme.
Dalam dunia akademik, populisme adalah konsep yang lentur. Konsep ini dipakai untuk menunjuk gejala ideasional dan keagenan politik yang dipahami secara berbeda-beda. Kadang-kadang ia diidentikkan dengan aspirasi Kanan, di waktu lain ia bisa diidentikkan dengan aspirasi Kiri (halaman 21). Dalam sudut pandang Laclau dan Mouffe, populisme adalah perjuangan untuk mengubah "logic of differences" menuju "chains of equivalence". Populisme adalah hasil tercapainya "rantai kesamaan" yang terbentuk sebagai titik artikulasi (point of articulation) dari pelbagai keagenan sosial politik yang berbeda-beda. Rantai kesamaan itu meleburkan pelbagai identitas partikular yang dikonstruksi secara diskursif hingga terbentuk universalitas yang menegaskan batas dari sistem. Laclau menegaskan: "difference and particularity are the necessary starting point (Laclau, 1995: 65). Dalam pemikiran Laclau, ujung dari populisme adalah konstruksi sosial mengenai siapa itu "the people". Populisme mentransfromasi "the plebs" hingga memandang dirinya sebagai "the populus" (Hadiz: 27).
Vedi menggunakan pandangan Laclau dan Mouffe dengan meletakannya ke dalam sejarah konkret politik Islam di Indonesia, Turki, dan Mesir. Ia berupaya memahami bagaimana politik Islam yang melibatkan aneka konsepsi dengan berbasis pada evolusi konflik-konflik sosial, mengambil tempat dalam batas-batas Negara Bangsa. Populisme Islam adalah sebuah upaya untuk membentuk artikulasi buat mentransformasi pelbagai identitas sosial-politik Islam ke dalam satu identitas semi-universal, yakni umat. Dengan itu, konsep umat merupakan sebuah political frontier atau batas akhir dari proses diskursif pembentukan blok hegemonik atas kekuasaan atas Negara. Di dalam identitas umat, pelbagai variasi dalam kelas, ras, etnis dileburkan.
Lebih jauh lagi untuk menjawab persoalan siapa yang berperan penting untuk mengambil posisi sebagai subyek dalam populisme Islam itu, Vedi menunjuk dinamika aliansi di antara kelas sebagai basis sosial bagi terbentuknya populisme Islam. Ia juga menekankan peran kemunculan kelas menengah perkotaan atau lumpen-intelligentsia yang tumbuh sebagai produk dari sistem pendidikan modern.
Dalam konteks Indonesia dan Timur Tengah, salah satu karakter penting dari kelas sosial ini adalah posisinya yang rentan secara ekonomis. Karena kelangkaan lapangan kerja, kelompok kelas menengah kota dengan mudah bisa tergelincir ke dalam lubang kemiskinan. Berbeda dengan ide modernis lama yang melihat aspirasi demokratis selalu paralel dengan budaya kelas menengah, Vedi mengutip penelitian Carrie Rosefsky Wickham, menjelaskan bahwa kelompok kelas menengah kota di negara-negara berpenduduk muslim justru tidak dapat diharapkan mengusung kritik liberal terhadap despotisme. Karakter kelas menengah kota ini diperkuat dengan pengalaman pendidikan dan pengorganisasian politik mereka di perguruan tinggi, sebagaimana ditunjukkan dari berkembangnya sistem "usroh" yang berakar dalam tradisi Persaudaraan Muslim di Mesir di kampus-kampus di Indonesia. Ini menjelaskan akar kelas dari politik Islam di tiga negara tersebut.
Sebagai upaya membentuk sebuah hegemoni politik, populisme Islam berhadapan dengan pengalaman yang berbeda-beda sesuai dengan konteks kemunculannya. Kemenangan Al-Ikhwan al-Muslimun yang gemilang di Mesir dan runtuhnya kepemimpinan Husni Mubarak akhirnya diikuti kegagalan mendorong populisme Islam membentuk hegemoni atas Negara. Meski sempat memenangi pemilihan umum pasca-Mubarak, Al-Ikhwan al-Muslimun kemudian disingkirkan secara telak dan dramatis oleh sebuah kudeta militer. Organisasi mereka tercerai-berai, diikuti dengan ancaman opresi dan penyingkiran politik jangka panjang. Dalam sekejap, Mesir kembali ke tangan militer (halaman 97).
Pengalaman yang berbeda terjadi di Turki, tempat populisme Islam menikmati sukses dalam tatanan kekuasaan formal. Kegagalan kudeta militer pada 2016 terhadap pemerintah Recep Tayyip Erdogan semakin memantapkan sukses mereka dalam membentuk hegemoni politik atas Negara dan masyarakat. Salah satu faktor penting dalam kesuksesan populisme Islam di Turki adalah kemampuan mereka untuk menyatukan aspirasi Islam secara bersama-sama dengan pertumbuhan ekonomi neoliberal, tata pemerintahan yang bersih, dan globalisasi pasar. Berbeda dengan pengalaman Mesir dan Indonesia, populisme Islam di Turki juga menikmati dukungan yang kuat dari kalangan kelas menengah, civil society, dan borjuasi nasionalnya.
Di Indonesia, meski berhasil mengkonsolidasi kekuatan yang relatif baru pasca-politik kekerasan Orde Baru serta menempatkan diri sebagai kekuatan politik formal dalam demokrasi kontemporer, populisme Islam gagal membentuk political frontier yang hegemonik. Kekuatan-kekuatan Islam Politik dan kendaraan organisasionalnya tidak memiliki basis dan cengkeraman yang cukup kokoh ke dalam civil society di Indonesia. Faktor terpenting dari kegagalan membentuk populisme Islam yang lebih dinamis—seperti Turki dan Mesir—adalah ketakmampuan membentuk sebuah aliansi antarkelas yang menjangkau jauh.
Secara spesifik, Vedi menegaskan absennya dukungan kelas borjuasi dan ketakmampuan mentransformasikan partikularitas sosial ke dalam suatu medan politik hingga membentuk umat sebagai political frontier adalah faktor terpenting dari kegagalan populisme Islam di Indonesia (halaman 188).
Salah satu kekuatan buku ini adalah ia memposisikan politik dan ideologi sebagai arena pertarungan yang konkret, historis, dan dialektis. Dengan itu, ia melampaui pandangan "behavioralisme" yang memusatkan perhatian pada perilaku individu dan elite, ataupun pandangan liberal/pluralis yang melihat politik secara normatif dan institusional. Namun ada dua persoalan penting yang rasanya belum dijawab Vedi: pertama, apabila Laclau membangun konsep populisme sebagai kerangka baru untuk politik emansipasi kiri kontemporer, dengan memasukkan konsep populisme ke dalam analisis mengenai politik Islam ini, siapakah yang sedang diprovokasi Vedi Hadiz? Kedua, jika populisme mensyaratkan aliansi antarkelas, mana yang menurut dia lebih mungkin dan lebih strategis untuk konteks Indonesia masa kini: kelas pekerja ataukah kelas menengah, sebagaimana yang muncul dalam aksi-aksi besar belakangan ini?
Robertus Robet, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta
Islamic Populism in Indonesia and The Middle East
Penulis: Vedi R. Hadiz
Penerbit: Cambridge University Press
Tebal Halaman: 228 halaman + x
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo