Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk abad ke-21, ketika film sudah ditonton di telepon seluler, musik direkam dalam bentuk digital dan tak lagi dikurung bentuk vinyl, dan mengirim pesan cukup dengan kata-kata yang diringkus dengan emoji, film musikal La La Land adalah sebuah mimpi masa lalu di masa kini. Fantastis dan meledak. Lupakan dulu soal genre musikal (ingat, ini genre yang sangat sulit dan tidak selalu disukai karena tak semua penonton bisa menerima adegan tokoh yang mengalami macet di tengah jalan dan mendadak menyanyi dan menari). Yang jengkel dengan karakter film musikal bukan hanya generasi milenial, bahkan kritikus film ÂThe New Yorker, Anthony Lane, pun menyadari betapa genre ini bukan sebuah pilihan Âpopuler.
Itulah sebabnya sutradara Damien Chazelle mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada pihak produser dan para investor yang akhirnya yakin betapa cerita dan genre yang dia tawarkan akan ditonton. Film musikal selama ini lazimnya mengangkat pertunjukan Broadway ke film, sehingga investor merasa aman karena penonton sudah mengenal cerita dan musiknya (Les Miserables, Mamma Mia). Kalaupun tidak dari Broadway, film musikal juga memilih jalan seperti film Across the Universe (Julie Taymor, 2008), yang membuat cerita berdasarkan lagu-lagu The Beatles.
La La Land adalah sebuah film musikal dengan cerita baru dan musik serta lagu yang diciptakan khusus untuk film ini. Tapi, begitu film ini disaksikan para kritikus dan masyarakat luas Amerika, yang terjadi adalah puja-puji dan keriangan. Film ini tak hanya diserbu penonton—yang bahkan menontonnya berkali-kali—tapi juga diganjar tujuh piala Golden Globes tahun ini, memecahkan rekor sebagai peraih piala Golden Globes terbanyak dalam sejarah. Penonton (termasuk di Indonesia) tak hanya langsung terjerat dan terpesona oleh film ini, bahkan banyak yang mengaku sudah menyaksikannya berkali-kali.
Cerita film ini sederhana. Mia Dolan dan Sebastian Wilder adalah artis pemula yang menjajal Los Angeles sebagai pusat industri hiburan. Mia (Emma Stone) rajin hadir dari satu audisi ke audisi lain sembari mencari duit di kedai kopi. Adapun Sebastian (Ryan Gosling) adalah pemain piano yang fanatik pada musik jazz yang terpaksa mencari duit dengan bermain lagu-lagu pop di restoran. Cita-cita Mia tentu saja menjadi aktris, sedangkan mimpi Sebastian adalah memiliki sebuah jazz pub agar mereka yang datang untuk minum adalah penggemar jazz murni.
Film ini dimulai dengan adegan kemacetan khas Los Angeles yang kemudian diikuti dengan nomor musik pertama: nyanyi dan tari di jalanan dan di atas mobil dengan koreografi yang mengingatkan kita pada film musikal Fame (Alan Parker, 1980). Kamera kemudian menyorot tokoh Mia dan Sebastian yang pertama kali bertemu dalam kemacetan dan saling membentak dengan klakson. Pada pertemuan-pertemuan berikutnya, mereka masih saling mengejek dan kita tahu pasangan ini akan menjadi pasangan sempurna. Bagi penonton yang sudah menyaksikan mereka dalam film Crazy Stupid Love (Glenn Ficarra, John Requa, 2011) dan Gangster Squad (Rubern Fleischer, 2013), tentu saja kedua pemain ini memang memiliki apa yang disebut "onscreen chemistry", kecocokan di antara dua pemain di layar yang terasa alamiah.
Lantas kita tak hanya terpesona pada lagu-lagu City of Stars, A Lovely Night, dan Planetarium, yang musik dan visualnya adalah alusi terhadap film-film klasik Hollywood seperti Singin' in the Rain. Kita merasa bagian dari fantasi itu: bernyanyi dan bersiul seperti mereka. Apalagi justru karena para pemainnya bukan penyanyi profesional, peran mereka sebagai seniman pemula yang berambisi tinggi itu menjadi sangat pas. Adegan tokoh Mia dan Sebastian berdansa waltz di planetarium hingga melayang di antara bintang adalah adegan fantastis lain yang bukan sekadar mengejar visual cantik, tapi sekaligus sebuah optimalisasi sinematik genre musikal. Kita menerimanya sebagai realitas musikal dan realitas Mia dan Sebastian yang tengah jatuh cinta dan merasa melayang di awan.
Segalanya yang berwarna dan menggairahkan itu tentu harus terhadang. Pasangan kita bertengkar hebat. Tapi kita sebagai penonton yang telanjur jatuh sayang pada pasangan ini tetap ngotot bahwa Mia dan Sebastian adalah pasangan klop. Akhir film ini, menurut saya, adalah sebuah belokan cerita luar biasa yang hanya bisa dilakukan oleh sebuah film (bukan pertunjukan teater) dan dengan genre musikal. AdeÂgan akhir inilah yang membuat kita yakin bahwa sutradara Damien Chazelle yang usianya baru 31 tahun itu adalah anak ajaib yang brilian. Dia cerdas dan paham bagaimana cara memaksimalkan medium sinema. Lagu terakhir, Audition, yang dinyanyikan Emma Stone adalah lagu dengan lirik: Here's to the ones who dream/Foolish, as they may seem/Here's to the hearts that ache/Here's to the mess we make… adalah inti dari film ini. Mimpi dan ambisi apa pun, meski terasa konyol karena sebegitu tingginya, harus dikejar dan diwujudkan.
Mia dalam lagu ini juga bercerita tentang bibinya yang memberikan inspirasi untuk ke dunia seni peran. Dan dia mengutip sang bibi: "A bit of madness is key/to give us new colors to see", yang artinya, "Kunci (sukses) adalah sedikit kegilaan, untuk memberikan warna". Film yang penuh dengan keÂriaan, kegembiraan, sekaligus kepedihan ini adalah satu dari sedikit film yang ingin kita tonton berulang-ulang, karena kita ingin mengalami "kegilaan" itu sedikit saja, untuk memberi warna dalam hidup kita.
Leila S. Chudori
La La Land
Sutradara: Damien Chazelle
Skenario: Damien Chazelle
Pemain: Emma Stone, Ryan Gosling
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo