Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jalan Baru Eksperimen Lempung

Biennale keramik yang digelar untuk keempat kalinya di Indonesia mencoba kemungkinan interaksi dalam seni keramik.

16 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulut nyaris tersedak saat mencicipi potongan roti cokelat muda yang tergeletak begitu saja di atas meja pamer. "Try me! Bread with edible clay." Demikian keterangan di sudut meja. Roti-roti itu terbuat dari lempung. Boleh dimakan. Tapi rasanya tentu saja seperti saat tanah tak sengaja masuk ke mulut. Lengket, tawar, asing. Ingin cepat-cepat meludahkan.

Di sekeliling meja pamer itu, di dinding, ditata stoples kecil berisi kepingan seukuran biskuit warna abu-abu, putih, atau cokelat. Kepingan dari lempung kering juga bisa dimakan. Lalu ada pula macam-macam kliping dari media massa atau jurnal penelitian yang semuanya berisi tulisan bertema "tradisi menyantap lempung".

Ini adalah karya yang dipamerkan di ruang paling depan Galeri Nasional dalam The 4th Jakarta Contemporary Ceramics Biennale (JCCB-4), yang mengusung tema "Ways of Clay: Perspectives toward the Future". Karya berjudul EAT*A*BLE Episode 9 Cooking Clay itu dibuat oleh seniman asal Rusia, Masha Ru, dan Konstantina Roussou dari Yunani. Mereka termasuk 41 perupa dalam dan luar negeri yang terlibat dalam pameran yang berlangsung hingga 22 Januari mendatang itu.

Masha Ru telah lama mendalami topik tradisi memakan lempung, yang ternyata muncul di banyak kebudayaan. Salah satunya berkembang di Jawa. Ampo, ca­milan tanah liat, misalnya, sudah lama jadi tradisi di Tuban, Jawa Timur. "Budaya memakan tanah berhubungan dengan aspek spiritual. Pemakannya percaya tanah adalah sesuatu yang berhubungan langsung dengan penciptaan," kata Ru.

Saat bertemu dengan Konstantina Roussou, Masha Ru mengeksplorasi lebih jauh bagaimana tanah liat dapat diolah menjadi makanan yang biasa dimakan sehari-hari. Roussou bisa mengolah lempung menjadi roti hingga risotto. Dalam pembukaan pameran, Roussou memperagakan langsung cara memasak lempung dan pengunjung boleh mencicipi.

Karya dua orang ini menjadi satu-satunya karya yang dapat disentuh bebas dalam pameran. Karya-karya lainnya tentu saja tak boleh dipegang, diamati terlalu dekat, apalagi disenggol. Keramik masih menjadi karya seni yang indah dengan presisi teknik tinggi tapi berjarak dan sepi karena sempit interaksi.

Beberapa perupa membuat karya yang sedikit membuka ruang interaksi. Misalnya Arya Pandjalu dengan karyanya, Electric Earth. Seniman Bandung ini memamerkan rangkaian kepala manusia dengan macam-macam tumbuhan yang menyeruak dari berbagai sisi. Di puncak tiap kepala, terdapat semacam piring lebar yang terhubung dengan sebuah pengetuk. Bila pengunjung memencet saklar, pengetuk itu akan memukul piring dalam ritme tertentu. Denting harmonis bergema ke seluruh ruang galeri.

Eddi Prabandono membuat karya yang, "Tidak apa-apa juga kalau pecah," katanya. Di atas sebuah kursi kayu, Eddi menumpuk ratusan piring keramik putih setinggi lebih dari dua meter. Di celah-celah piring, ia taburkan tanah dan bibit padi. Selang beberapa pekan, piring-piring Eddi telah ditumbuhi padi yang menghijau. Karya ini berjudul Greedy/Rakus.

Karya Eddi memberi pesan tentang sifat konsumtif yang tak mengenal kata cukup. Piring diisi terus seakan-akan lapar tak pernah pupus. Ketika ditumpuk semakin tinggi, piring-piring ini makin terlihat rapuh. Disenggol sedikit saja bisa jatuh dan pecah berkeping-keping. Tapi Eddi membiarkan saja kemungkinan karyanya hancur. "Membuktikan rakus membuat celaka," ujar Eddi.

Yang menarik, 20 perupa luar dan dalam negeri yang terlibat biennale turut serta dalam program residensi sebelum membuat karya. Lokasi residensi antara lain ISBI Bandung; Timboel Rahardjo Studio, Kasongan, Yogyakarta; Sango Ceramics, Semarang; dan Jenggala Ceramics, Bali. Perajin keramik tersebar di seluruh Indonesia tapi kerjanya sering tak bersinggungan dengan seniman keramik. "Kami ingin menciptakan interaksi antara seniman dan komunitas pegiat keramik di Indonesia," ujar Rifky Effendy, penggagas JCCB.

Uji Handoko, perupa Yogyakarta, adalah salah satu yang turut menjalani residensi. Ia menghabiskan waktu sekitar dua bulan di Sango Ceramics, Semarang, sentra keramik yang memproduksi table ware dalam jumlah besar yang telah berdiri selama 35 tahun. Hahan—panggilan Uji Handoko—diberi kebebasan seluas-luasnya oleh Sango untuk menggunakan bengkel mereka. Beragam teknik pembuatan keramik pun mereka ajarkan kepada Hahan, yang sebenarnya bukan perupa keramik. Hahan lebih dikenal lewat visual art-nya. "Sango menyediakan teknologi yang membuka kemungkinan baru bagi saya dalam membuat karya," kata Hahan.

Di sisi lain, ini adalah pertama kali bengkel keramik itu kedatangan seniman. Menurut Hahan, kehadirannya juga memberi hal baru di tengah rutinitas Sango memproduksi peralatan makan. Dalam kerangka industri yang diterapkan Sango, cacat pada produk menjadi hal yang tak bisa ditoleransi. Kreasi benda seni justru sebaliknya, kesalahan dapat menjadi keunikan sendiri. "Ini menyentuh sisi kreatif mereka yang baru pula," ucap Hahan.

Dari proses residensinya, Hahan menciptakan karya berjudul Liability: Between Lack and Achievement. Ini adalah serangkai figurin dari keramik yang mengingatkan pada robot dalam kartun Jepang. Cat biru gemerlap disemprotkan pada tubuh para robot, yang menonjolkan sendi-sendi yang menyambung tubuh mereka.

Secara teknik, barangkali program residensi memang memberi pengayaan pada para seniman yang terlibat. Walau begitu, ide dari karya belum menampakkan keterkaitan antara seniman dan di mana mereka ditempatkan. Misalnya karya Ryota Shioya dari Jepang yang berjudul HitoTema. Shioya menjalani residensi di ISBI Bandung. Ia menyusun keramik seukuran dua jari berbentuk abstrak melengkung dalam pola oval separuh. Figur abstrak itu terbentuk dari lempung yang dicetak dengan cara menempatkan tanah liat di antara dua jempol orang yang berjabat tangan. "Hito artinya manusia, te adalah tangan, dan ma adalah hubungan," tutur Shioya.

Ini bukan karya baru. Karya itu mulai ia buat pada 2011 setelah bencana nuklir di Ibaraki, Jepang. Saat itu banyak orang meninggalkan rumah untuk menyelamatkan diri. Jabat tangan menjadi simbol yang dipilih Shioya untuk menggambarkan hubungan manusia yang berkawan dan saling menolong. Menarik tapi tak bisa dibilang bahwa karya itu terkait dengan lokasi residensi Shioya.

Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus