SENYUMNYA, ekspresi wajahnya, cetusan-cetusan pendapatnya masih seperti dulu. Masih khas, lepas, dan lugas. Memang B.M. Diah sudah bukan lagi pemimpin redaksi harian Merdeka, tapi ia tetap berfungsi sebagai pemimpin umum. "Dia tetap ngantor di Merdeka lima hari seminggu, mulai dari pukul 08.00 sampai kadang-kadang jam 18.00," tutur istrinya, Herawati. "Dan sedikitnya, sekali seminggu menulis tajuk rencana." Rabu pekan lalu, kepada wartawan tiga zaman itu, Menteri Penerangan Harmoko menyerahkan buku setebal 130 halaman yang berjudul B.M. Diah: Wartawan Pejoang. Buku ini berisi kesan rekan-rekan seperjuangan, selama tokoh pers itu menjadi Ketua dan Anggota Dewan Pers. Tahun ini Diah, yang berusia 73 tahun, resmi mengundurkan diri dari Dewan Pers. "Saya capek, setelah 15 tahun menduduki jabatan itu," katanya. Namun, pria berkopiah ini tak sedikit pun tampak uzur. Semangat kewartawanannya masih menggebu, pikirannya masih benderang. Dan, "Ketajaman intuisi Pak Diah banyak terlatih karena profesi dan kecintaannya terhadap kegiatan wartawan," tulis Harmoko dalam buku itu. Sabtu siang pekan lalu, ia menerima Sri Pudyastuti dari TEMPO untuk sebuah wawancara di ruang kerjanya, kantor redaksi Merdeka di Jalan Sangaji, Jakarta. Berikut penuturan B.M. Diah tentang dunia pers dulu dan sekarang: Bagaimana pandangan Bapak tentang wartawan pejuang? Di zaman kemerdekaan, wartawan otomatis berjuang untuk tanah airnya. Lewat surat kabar. Wartawan zaman sekarang, menurut saya, tidak lagi berjuang mengusir penjajah, tetapi menaikkan derajat orang kecil. Ini tak lain agar pemerataan yang didengung-dengungkan selama ini tak cuma diucapkan di bibir saja, tapi juga diwujudkan secara nyata. Wartawan pejuang sekarang, selain menjaga kesatuan bangsa, juga mendorong agar ekonomi tumbuh lebih baik. Dengan sendirinya tingkat hidup dan derajat bangsa kita pun naik. Itu perbedaan wartawan pejuang dulu dan sekarang. Adakah idealisme pada wartawan sekarang? Idealisme dengan sendirinya harus ada. Sebab, yang dituju adalah menjadikan bangsa kita besar. Secara kultural, politis, dan ekonomis kita wajib membuat bangsa kita dihormati negara lain. Bila sekarang ekonomi Indonesia tidak sepenuhnya dikuasai oleh orang Indonesia asli, nah berarti masih ada kekurangannya. Wartawan harus jeli mengungkap ini. Sekarang, kecenderungan apa yang muncul? Melulu bisnis, artinya pers mengejar untung, atau pers idealis? Kalau saya baca-baca, masih banyak wartawan yang memiliki idealisme. Saya tidak punya angka persentasenya, tapi banyak juga yang menaruh perhatian pada rakyat kecil dan menyadari adanya ketimpangan sosial. Dan sampai sekarang saya belum melihat gejala-gejala pers digunakan semata-mata untuk mencari keuntungan. Lagi pula, tanpa idealisme, pers tidak akan mudah mencapai keberhasilan. Tentang kebebasan pers, bagaimana? Ini perjuangan yang lama dan hati-hati. Pada beberapa fase dalam perjuangan kita, pers senantiasa menjadi pelopornya. Diminta atau tidak diminta. Sekarang ini kita menginginkan keterbukaan. Melalui keterbukaan itu Pemerintah mengetahui kelemahan-kelemahannya. Saya kira, tidak ada pemerintahan yang sempurna kalau dia bekerja sendirian. Ia juga mesti mendengar suara orang ketiga. Seperti apa sebetulnya kebebasan pers yang ada sekarang ini? Kebebasan pers yang ditekankan pada kebebasan yang bertanggung jawab. Sementara kata "bertanggung jawab" itu berbeda-beda pengertiannya? Benar, benar sekali .... Selamanya ada perbedaan. Jadi, kita harus berjuang terus, terus .... Bagaimana kebebasan pers dulu dan sekarang? Dulu belum ada UU Pokok Pers. Dasar yang dipakai cuma Pasal 153 dan 154 KUHP. Artinya, kalau kita bersalah, kita yang diseret ke pengadilan. Itu warisan zaman Belanda. Lalu di zaman Jepang ada censorship. Semua surat kabar dikeluarkan oleh bala tentara Jepang. Sesudah merdeka, baru ada surat kabar. Namun, di zaman PKI, mereka membunuh surat-surat kabar yang tidak menyuarakan partai. Lalu terbayang oleh kami, jika tidak ada UU Pokok Pers, bisa saja terjadi sebuah organisasi memberangus pers. Lalu disusunlah UU Pokok Pers. Saya termasuk penyusunnya. Memang seyogianya pers harus bebas. Tidak usah ada UU Pokok Pers. Tetapi melihat perkembangan keadaan kita, necessary evil (keburukan yang terpaksa dilakukan) menyebabkan harus ada UU Pokok Pers. Dalam hal apa saja UU Pokok Pers membawa dampak buruk? Seperti juga Saudara-Saudara alami, ada budaya telepon. Jadi, kembali lagi pada manusianya. Orang-orang itu tidak memahami nilai-nilai pers yang baik. Nah, ini yang menyulitkan. Saya kira, orang-orang yang mudah mengangkat telepon supaya dibatasi. Sementara itu, Dewan Pers lebih konstruktif dan inovatif dalam pekerjaannya. Sebab, sekarang ini kita tidak bisa menutup diri karena interdependensi sudah merupakan kenyataan. Udara kita ini terbuka untuk siapa pun. Jadi, jika tidak boleh dimuat di surat kabar kita, tetap saja akan disiarkan oleh surat kabar, radio, atau televisi asing yang bisa ditangkap lewat satelit. Kalau ada pemberitaan yang salah, tidakkah akan lebih fair jika wartawan bersangkutan saja yang dituntut ke pengadilan, daripada SIUPP-nya dicabut? Betul. Itulah yang mesti kita perjuangkan. Pak Domo sudah menyatakan ketidaksetujuannya. Pak Harmoko masih khawatir. Tapi sama-sama kita perjuangkanlah, dengan keyakinan yang baik. Bagaimana mutu wartawan sekarang? Masih bisa diperbaiki. Dulu, ketika saya masuk sekolah jurnalistik di Bandung, di sekolah milik Douwes Dekker, saya bertanya kepada Bapak Setiabudi. "Kapan saya bisa menjadi wartawan yang hebat?" Lalu dia melihat wajah saya. "Kalau usia kamu sudah 40 tahun," katanya. Padahal, waktu itu usia saya baru 19 tahun. Jadi, saya masih membutuhkan waktu 20 tahun lagi untuk menjadi wartawan hebat. Tapi, kalau otak kita encer, 15 tahun sudah bisa jadi wartawan termasyhur. Tolong ceritakan pengalaman Bapak sebagai wartawan sebelum dan sesudah era keterbukaan. Tantangannya tetap sama, kejujuran. Jadi, apa yang disiarkan tetap harus bisa dipertanggungjawabkan. Pada zaman penjajahan Belanda, hampir setiap minggu ada berita yang menyebabkan kita dipanggil polisi. Kita sering senewen. Sekarang praktis lebih lancar. Dan kalau saya lihat banyak sekali kemajuan yang sudah dicapai. Maka, kita tidak boleh putus asa. Pepatah Prancis menyebutkan, frappez, frappez toujours (desak-desaklah terus), agar pemerintah mau memperhatikan kepentingan pers. Tajuk-tajk yang Bapak tulis di Merdek sangat tajam. Pernah dapat peringatan? Kalau saya pribadi, tidak. Sebab, tujuan kita membantu pemerintah, itu yang harus digarisbawahi. Kita lebih tahu bagaimana menghadapi masyarakat, karena sehari-hari berada di tengah-tengah mereka. Pemerintah kan harus mendengar keluhan dari DPR. Sementara itu, DPR tidur. Adakah komentar tentang PWI? (tertawa) Kita harus punya kesadaran berorganisasi. Jadi, organisasi itu harus sering-sering berkumpul untuk membicarakan masalah-masalah kita. Memang PWI tidak begitu. Tapi PWI bisa juga digerakkan. Saya pikir, kesalahan yang terjadi selama ini disebabkan kurang respons dari anggota-anggotanya. Setelah 15 tahun duduk di Dewan Pers, apa saja tantangan yang dihadapi lembaga itu? Tantangan bagi Dewan Pers banyak, misalnya pers seharusnya bersih, tapi masih banyak media yang porno. Akhirnya media itu tidak idealis. Dia cuma cari duit. Tugas Dewan Pers dalam hal ini ialah, mesti mencoba membawa pers ke jalur yang benar. Kini, sesudah 50 tahun menjadi wartawan, bagaimana? Saya senang menjadi wartawan. Bagi saya menjadi wartawan adalah the best profession on earth. Sebab, profesi itu mengandung banyak segi. Dia bisa berdiri di atas air, bisa menyelam, bisa terbang. Dan cara berpikirnya multidimensional. Jadi, kekuatannya juga multidimensional. Yang paling penting lagi adalah perasaan independen. Tidak tergantung kepada siapa pun. Maka, jangan mudah terima duit. Sebab, hal itu bisa membuat wartawan kehilangan kemerdekaannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini