Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIANIS Nita Aartsen dengan lincah memainkan tuts pianonya pada nada-nada tinggi. Tak lama berselang, suara petikan gitar Kadek Rihardika ikut bergabung, juga dengan nada-nada tinggi. Irama keduanya lantas berpadu dengan petikan bas, tiupan suling, serta tabuhan drum dan gendang. Komposisi bunyinya terdengar pas dan tak berlebihan.
Beberapa saat kemudian, Ivan Nestorman mulai bernyanyi. Musikus asal Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, itu melantunkan lagu ciptaannya berjudul Sao Flores (rumah Flores). Dua frasa dalam bahasa Manggarai yang menjadi lirik lagu itu dia ulang berkali-kali. "Sao Flores, sare paye (rumah Flores, tanah yang baik)," kata Ivan. Suaranya yang jazzy benar-benar menyatu dengan alunan nada dari sejumlah instrumen musik itu.
Sao Flores menjadi salah satu lagu yang ditampilkan dalam konser tunggal "Ivan Nestorman: A World Music Performance" di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, pada Kamis malam pekan lalu. Ivan menggelar konser itu untuk merayakan 25 tahun karier musiknya di jalur neotradisi, sebuah musik yang mengombinasikan motif-motif etnik- dalam hal ini musik Nusa Tenggara Timur- dengan ekspresi kontemporer. Selain itu, konser digelar untuk menandai peluncuran album barunya berjudul Legacy.
Selain menyajikan Sao Flores, konser tiga jam itu menampilkan 15 lagu lain bikinan Ivan. Sejumlah musikus yang pernah bekerja sama dengan Ivan menjadi pendukung konser tersebut, antara lain Nita Aartsen, Kadek Rihardika, drummer Gilang Ramadhan, gitaris Dewa Budjana, pemain gendang Jalu Pratidina, peniup suling Saat Syah, dan penyanyi Trie Utami. Ada juga kelompok musik dari Flores, Orkes Sika Satu, dan kelompok musik asuhan Ivan, Nestornation Tropical Team.
Pada bagian awal, Ivan memainkan lagu-lagunya dengan instrumen yang minimalis: piano dan gitar akustik. Lagu Benggong, misalnya, hanya dimainkan dengan gitar akustik menggunakan teknik petikan dan strumming (genjrengan). Meski tak semua penonton memahami bahasa Manggarai, lagu tentang seorang anak yang ingin merantau itu tetap terdengar syahdu.
Selesai berakustik, Ivan membawa pertunjukannya menjadi sedikit lebih ceria. Dibantu sejumlah musikus dengan instrumen masing-masing, Ivan mulai memainkan bit-bit jazz untuk beberapa lagu buatannya. Pada bagian ini, kolaborasi bunyi gitar, bas, suling, gendang, dan drum- terkadang sasando juga dimainkan- serta suara Ivan membuat pertunjukan terdengar sangat jazzy kendati yang dimainkan adalah lagu berbahasa Manggarai.
Tapi kesan ini berubah total pada bagian akhir konser. Di situ, Ivan memainkan lagu-lagunya yang beritme cepat dan bersemangat. Salah satunya berjudul Mogi Dheo Keze Walo. Dalam perjalanan kariernya, Ivan memang berpedoman pada musik tradisi daerah asalnya, Nusa Tenggara Timur. Ia kemudian memadukan musik tradisi itu dengan musik budaya populer. Salah satunya jazz. "Meski lagunya dari Flores, tetap bisa enak didengar di mana saja." ujar pria 50 tahun itu.
Gilang Ramadhan menyebut Ivan Nestorman sebagai musikus unik karena memiliki suara yang ajaib sekaligus piawai mengolah musik etnik. Dia menjuluki karya-karya Ivan dengan istilah ritmik. "Meski menggunakan bahasa Manggarai, tak jadi masalah dia tampil di mana pun. Karya-karyanya tetap enak didengar," kata Gilang.
Prihandoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo