Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Keluarga Biasa yang Luar Biasa

Inilah satu dari beberapa film pemenang Festival Film Sundance. Sebuah film tentang keluarga Indonesia yang sederhana.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POSITION AMONG THE STARS
Sutradara: Leonard Retel Helmrich
Genre: Dokumenter
Negara: Belanda
Narasumber: Rumidjah Sjamsudin, Theresia Untari, Bachtiar ”Bakti” Becker, Sriwyati, Dwikomarisah, Bagus Nur Alam, Tumisah

SEBUAH sepeda motor di atas sebuah gerobak yang dimodifikasi berjalan mundur di atas rel kereta. Sepeda itu mengangkut dua penumpang. Inilah ojek rel ala Jawa yang menjadi salah satu ade­gan dari Position among the Stars karya Leonard Retel Helmrich. Film berjudul asli Stand van de Sterren ini diputar di Festival Film Sundance 2011 dan berhasil meraih Special World Cinema Jury Prize for Documentary.

Seperti pada dua film sebelumnya, The Eye of the Day (2001) dan Shape of the Moon (2005), film Position among the Stars mengikuti sebuah keluarga Jawa di Jakarta. Seorang ibu penganut Katolik, Rumidjah Sjamsuddin, dan putranya, Bachtiar ”Bakti”, lelaki muslim yang berdiam di daerah kumuh kampung Jakarta. Melalui dialog tokoh-tokohnya kita mendengar serangkaian komentar sosial politik yang tampaknya mewakili pernyataan sang sutradara. Tentu saja, banyak perubahan dalam keluarga itu sejak film dokumenternya yang dibuat Helmrich pada 2001 dan 2005. Misalnya, Bakti yang dulu bekerja sebagai sopir kini sedang menganggur dan lebih gemar bermain ikan cupang. Keponakan Bakti, Tari, yang dulu masih kecil, kini beranjak remaja dan bersiap ke perguruan tinggi. Karena Tari sudah remaja, fokus utama film ini tertera pada Tari yang menjadi anak gaul. Seluruh anggota keluarga ingin Tari melanjutkan sekolah dan sukses, agar ada setidaknya satu orang di keluarga itu yang berpendidikan dan hidup lebih layak. Tentu saja Bakti, sang paman yang mendapati Tari berduaan dengan pria muda di mal, langsung melabraknya. Bakti tak peduli ada kamera yang mengikutinya, dia menggampar sang keponakan. Ini ironis, karena sang paman adalah pengangguran yang hanya mengurusi ikan-ikan cupang kesayangannya. Sedangkan sang ibu, Rumidjah, karena begitu menginginkan sang cucu masuk universitas, rela menggadaikan sertifikat rumahnya.

Ini mungkin hal yang terlalu biasa untuk penonton Indonesia. Ternyata ”yang biasa” ini begitu menakjubkan untuk penonton asing di festival ini. Selain menampilkan konflik keseharian keluarga Sjamsudin, film ini menampilkan tikus-tikus besar di gorong-gorong selokan yang bersahabat dengan kucing. Kemudian ada gambaran sang istri yang marah kepada suaminya yang pengangguran tapi sibuk dengan ikan cupangnya (dan betapa nekatnya sang istri menggoreng hewan peliharaan kesayangan sang suami). Ada lagi adegan seorang pengemis tanpa tangan yang masih dengan santai menelepon dengan kakinya. Atau, gambaran topeng monyet yang meminta-minta di pinggiran trotoar. Untuk penonton asing, ini terasa absurd. Mereka sibuk membicarakannya setelah film usai, baik saat sesi tanya-jawab maupun setelahnya.

Lahir di Tilburg, 16 Agustus 1959, dari ayah warga negara Belanda dan ibu warga Purwokerto, sutradara Leonard Retel Helmrich memang mempunyai ikatan dengan Indonesia. Ia menikah dengan perempuan Indonesia, cucu seorang kiai, dan kini sudah membuahkan dua anak.

Helmrich memilih mendokumentasikan keluarga Sjamsuddin karena ia menganggap problem struktural keluarga ini adalah salah satu miniatur Indonesia. Keluarga ini memiliki segala perpaduan yang ada di dalam Indonesia. Ada perwakilan keragaman agama, konflik generasi, dan (sebagian) etos kerja yang rendah. Pengambilan gambar dilakukan dengan teknik single shot cinema, yaitu satu rekaman panjang tanpa interupsi dengan satu kamera dan tanpa wawancara atau voice-over—sesuatu yang dekat dengan cinema verite (sinema yang menyajikan orang-orang biasa tanpa diarahkan sutradara).

Semula Helmrich datang ke Indonesia ketika gerakan Reformasi 1998 bergolak, untuk mencari akar keluarganya. Saat itu dia tertarik membuat film dokumenter yang menggambarkan situasi politik Indonesia. ”Namun saat itu semua orang ingin membuat film politik, karena itu saya berubah pikiran,” kata Helmrich. Dia mulai tertarik pada kehidupan Bakti, sopirnya saat itu, yang mengantarnya merekam berbagai kejadian. Sejak itulah, ia mengikuti keseharian keluarga itu. ”Mereka sudah percaya pada saya,” tutur Helmrich. Film dokumenter sebelumnya berjudul Promised Paradise, yang menyajikan kisah bom di Bali, yang semula akan ditayangkan di Jakarta International Film Festival 2006 tapi tidak lolos sensor. Helmrich kemudian mengubah fokus dokumenternya: mikro-kosmik Indonesia.

Para juri Festival Film Sundance mengganjarnya dengan Special Grand Jury Award ”… atas pembeberannya seputar efek globalisasi pada masyarakat Indonesia yang sedang berubah dengan cepat, dengan cara menyuarakan kehidupan perempuan Kristen miskin yang hidup di tempat kumuh Jakarta dengan anaknya yang muslim serta cucunya.” 

Sebelumnya, film ini juga meraih beberapa penghargaan di International Documentary Film Festival Amsterdam, termasuk Film Dokumenter Panjang Terbaik. Di Sundance, Shape of the Moon mendapatkan penghargaan Grand World Documentary Award pada 2005.

Ekky Imanjaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus