Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Festival Film di Bukit Bersalju

Sepuluh tahun terakhir, film-film independen-yang dikenal sebagai film indie-menjadi pilihan bagi para aktor-aktris dan sutradara ternama untuk prestise. Setelah berkubang dalam film-film arus utama, para aktor-aktris besar ini mencari film independen dan berkunjung ke Festival Film Sundance, sebuah festival film independen dunia yang dipupuk dan dibesarkan aktor/sutradara Robert Redford.

Apakah Festival Film Sundance? Apakah karakter khasnya sebagai festival film indie, yang mengutamakan sutradara pemula di luar Hollywood, masih bisa dipertahankan? Dan bagaimana posisi film Indonesia dan film tentang Indonesia di festival itu? Pengamat dan pengajar film Binus International, Ekky Imanjaya, mengunjungi Festival Film Sundance 2011. Berikut laporannya.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kota tua Park City yang sudah berselimut salju, jam sudah menunjukkan menjelang tengah malam. Namun puluhan orang berbaris rapi dengan sabar di muka sebuah kuil, meski dingin sudah merasuk ke tulang sumsum. Mereka adalah para pencinta film dari segala usia-dari remaja hingga yang sepuh-yang bersedia antre untuk tiket Festival Film Sundance, yang tiap tahun diadakan di Negara Bagian Utah, Amerika Serikat.

Mengenakan jaket tebal, sarung tangan, syal melilit di leher, dan topi, mereka berdiri antre sembari membahas film yang baru saja mereka saksikan; saling menukar tiket sembari menanti pintu bioskop dibuka untuk film berikutnya.

"Bagi yang memiliki tiket, silakan di sebelah kiri! Yang waitlist silakan di sebelah kanan!" ujar seorang ibu relawan yang sudah paruh baya.

Itulah suasana antre program Park City @ Midnight, salah satu program di Festival Film Sundance yang berlangsung pada akhir Januari lalu.

Antusiasme pencinta film di festival ini memang terasa sangat kuat. Contohnya terlihat setelah tayangan film Position among the Stars, seri terakhir dari trilogi Indonesia karya Leonard Retel Helmrich, sutradara berdarah Belanda-Indonesia. Sejak 2001, Helmrich mengikuti kehidupan sebuah keluarga kelas bawah di Indonesia. Para penonton tampak puas dengan film itu, kemudian bergegas naik bus untuk mengejar film berikutnya. Jennifer Murray, yang baru saja menyaksikan film dokumenter itu, berkomentar, "Alangkah dahsyatnya!" Dia menyatakan, karena film itu, dia ingin sekali ke Indonesia, karena "Orang Indonesia terlihat luar biasa dengan problem yang begitu banyak."

Ini hanya satu dari ratusan film yang ditayangkan. Begitu melimpahnya pengunjung yang memenuhi Park City, semua penginapan sudah penuh jauh hari sebelum festival berlangsung. Jika kita memesan kamar hotel mendadak, sisa pilihan akan jatuh pada hotel di Salt Lake City yang jaraknya 45 menit dari pusat festival.

Di Park City, yang terdiri atas gedung-gedung berarsitektur tua gaya Western, kultur sinema memang sudah terbentuk karena festival film independen yang terbesar dan terkemuka di seluruh dunia ini. Moto Festival Film Sundance yang berbunyi "menemukan dan mengembangkan seniman dan penonton independen" masih terasa gaungnya. "Dan film belum bisa dibilang selesai kalau belum bertemu penontonnya," demikian kata Robert Redford, pendiri dan Presiden Sundance Institute, organisasi pelaksana festival.

Nama Sundance identik dengan Robert Redford, yang namanya melejit memerankan The Sundance Kid dalam film Butch Cassidy and the Sundance Kid (George Roy Hill, 1969). Semula, festival ini bernama The Utah/United States Film yang didirikan Sterling van Wagenen (saat itu Direktur Wildwood, perusahaan milik Robert Redford) di Salt Lake City pada Agustus 1978. Redford, yang menjabat ketua festival saat itu, ingin memfokuskan diri pada sebuah kompetisi film sineas Amerika yang bekerja di luar sistem Hollywood, yang kita sebut sebagai film independen, artinya film yang ongkosnya bukan dari studio besar Hollywood dan tidak menggunakan aktor/aktris ternama. Selain itu, dalam festival, para sineas muda wajib menyaksikan film klasik seperti Street Car Named Desire (Elia Kazan, 1951), Midnight Cowboy (John Schlesinger, 1969), dan Mean Streets (Martin Scorsese, 1973) karena festival ini bukan sekadar ajang kompetisi, tapi juga wadah belajar dan bertukar ilmu.

Setahun kemudian, Van Wagenen memutuskan keluar dari festival ini dan organisasinya berubah menjadi Sundance Institute. Pada 1981, festival ini pindah ke Park City. Atas usul sutradara Sydney Pollack, penyelenggaraannya yang semula September dimajukan ke Januari. Alasannya, "Bukankah lebih asyik kalau ada festival film di tengah-tengah resor ski di musim dingin?" Pada 1985 ajang ini dinamai The Sundance/United States Film Festival, dan kemudian diresmikan menjadi Sundance Film Festival pada 1991.

Tidak sedikit sineas film terkemuka memulai karier di festival ini. Sebut saja film seperti Sex, Lies and Videotape (Steven Soderbergh, 1989), El Mariachi (Robert Roderiguez, 1992), The Blair Witch Project (Daniel Myrick dan Eduardo Sanchez, 1999),Reservoir Dogs (Quentin Tarantino, 1992), Little Miss Sunshine (Jonathan Dayton dan Valerie Faris, 2006), dan Thank You for Smoking (Jason Reitman, 2005). Semua film ini adalah langkah sang sutradara menuju pada sinema internasional.

Para pemenang tahun ini seperti film Position among the Stars karya Leonard Helmrich yang diganjar Grand World Documentary Award atau Like Crazykarya Drake Doremus yang meraih Grand Prize for US Dramatic atau Happy Happy yang meraih World Cinema Grand Jury Prize, kelak mengikuti jejak para sineas yang memulai langkahnya di festival ini.

Dari festival film yang memfokuskan diri pada kompetisi dan penayangan film-film indie berbujet rendah non-Hollywood, acara Sundance berkembang pesat menjadi festival yang dihadiri selebritas Hollywood, paparazzi, dan bungalo mewah yang tidak berhubungan dengan festival. Bahkan festival ini akhirnya "digunakan" oleh para aktor/aktris terkemuka yang namanya melambung di film-film besar mainstream untuk kembali mencari film dengan cerita yang lebih personal. Contohnya aktris seperti Kristen Stewart, yang semula dikenal sebagai "putri indie" karena bermain dalam film seperti Land of a Woman (Jon Kasdan, 2007), kini lebih dikenal sebagai salah satu aktris termahal di dunia setelah melejitnya Stewart dalam film Saga Twilight. Toh, dia masih memuaskan diri untuk bermain dalam film independen seperti What Just Happened (Barry Levinson, 2008) dan Welcome to the Rileys (Jake Scott, 2010). Film independen juga tak lagi diartikan film berbujet rendah dengan pemain atau sutradara baru, karena kata film independen akhirnya menjadi sebuah prestise bagi kalangan film Amerika.

Bagi Caroline Libresco, dengan terjunnya pemain terkenal ke dalam film indie itu biasanya bujet bakal balik modal dan investor merasa lebih aman. Selain itu, biasanya akting di film indie lebih "berisi" dengan peran yang substantif. Di tengah meningkatnya apresiasi terhadap film indie dari penonton arus utama dan industri film, kehadiran aktor Hollywood dapat membuka kesempatan bagi film itu untuk mendapat banyak pujian dan penghargaan. "Misalnya Winter's Bone dan The Kids are All Right adalah dua film Festival Film Sundance yang mendapat lebih banyak penonton dan meraih nominasi di Academy Award tahun ini," ujar Libresco, yang sudah 10 tahun menjadi programer di ajang ini.

Bagaimanapun, menurut Libresco, karena definisi film indie adalah "film yang produksi dan pembiayaannya di luar Hollywood", Festival Film Sundance tetap berusaha bertahan dengan misinya. Libresco menunjuk contoh program Focus On Film, NEXT (untuk film yang sangat murah), dan program khusus film AS, selain New Frontier yang mengangkat video seni dan instalasi.

Perkembangan makna film indie ini tidak membuat Festival Film Sundance bergeser dari cita-cita awal. Festival ini masih bertahan sebagai salah satu pusat kegiatan film independen. "Inilah festival film Amerika Serikat terbesar yang sesungguhnya," tutur Caroline Libresco, salah satu programer senior, dengan nada bangga. "Festival kami mendatangkan US$ 90 juta per tahun. Penduduk sekitar berjumlah 7.000 orang, tapi meningkat pesat hingga 200 ribu orang pada Januari, karena festival ini," katanya. Menurut Libresco, festival ini dirancang bagi para kritikus film, industri, dan penonton untuk "menemukan" suara baru. "Beda lainnya, festival ini sangat informal. Tak ada karpet merah, tak ada yang berpakaian formal saat premiere," ujar Libresco.

Libresco menyatakan bahwa jika ada distributor film yang berniat mengedarkan film indie yang ditayangkan di festival ini, misalnya distributor yang dekat dengan sistem Hollywood semacam Sony Pictures Classics, Fox Searchlight, dan Focus Features, itu harus dianggap sesuatu yang positif. "Jika mereka tertarik membeli hak edarnya, film-filmnya akan bisa ditonton oleh penonton yang lebih luas," tutur Libresco.

Sayangnya, belum ada film Indonesia yang diputar di festival ini. Sutradara Edwin dan Daud Sumolang hadir di festival ini sebagai peserta Lab Scriptwriter untuk film Postcard from the Zoo. Tapi Caroline Libresco menyatakan Sundance sangat tertarik menghadirkan film Indonesia di sana, karena "masa depan perfilman ada di tangan sinema Asia."

Di bukit yang didesain untuk resor ski, panitia menayangkan film Festival Sundance di kuil Yahudi (Temple Theater), hotel (Yarrow), perpustakaan (Library Center Cinema), dan bioskop reguler (Holiday Village Cinema II). Aula penayangan film itu itu sudah diatur sebagai bioskop permanen, dengan tempat duduk yang nyaman dan berundak. Walau tempat serangkaian penayangan itu cukup berjauhan, transportasi sangat mudah dijangkau dan semuanya gratis. Park City memang sengaja tak memungut bayaran bagi transportasi umum sepanjang tahun, tak hanya untuk ajang ini. Petunjuk jalan serta peta begitu jelas dan mudah dibaca bagi para pengunjung asing seperti saya.

Bagaimana dengan relawan yang bekerja siang-malam? Mereka yang berdedikasi itu bukan hanya anak muda-seperti halnya festival film di negara lain-tapi juga warga paruh baya penggemar film. Pada "Hari Relawan", para pekerja keras berpakaian rompi biru itu akan dipanggil satu per satu ke depan panggung sebelum film diputar, khususnya bagi yang terlibat lebih dari 15 dan 10 tahun dalam festival film tersebut.

Meski tanpa karpet merah dan pesta mewah, bintang festival ini selalu para sutradara film. Setiap usai film, tanya-jawab dengan pembuat film selalu meriah dan berlangsung cukup lama. Kalau beruntung, kita bisa duduk di samping sutradara Korea, Bong Joon-ho (Host, Mother) dan Morgan Spurlock (Supersize Me) atau berbincang dengan Jason Reitman (Juno) atau Matt Groening (The Simpsons).

Park City, (selain Salt Lake City dan Ogden), di Utah kini bukan hanya kota kecil. Kini ketiganya telah menjadi kota turis dan film yang menjadi tujuan para sineas yang serius dan penuh cita-cita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus