Fotografer Kazuo Tsunoda menggelar dua kelompok karyanya di Jakarta. Tamakiwaru dan CALMCOLOR, renungan tentang kehidupan yang justru hidup dari kematian. Kazuo Tsunoda menatap maut dengan sepasang mata yang terbuka lebar. Bagi fotografer Jepang ini, kematian ada di mana-mana, bahkan di peristiwa yang paling gembira. Panen, misalnya, adalah hari kiamat bagi lembu-lembu yang dijagal untuk pesta. Sebongkah batu yang habis dimakan waktu dan air laut berubah menjadi topeng kematian seorang raja. Inilah cuplikan imaji-imaji Tamakiwaru dan CALMCOLOR. Dengan menggelar dua kelompok karyanya sekaligus, Tsunoda telah melakukan hal yang tak lazim kita lihat di sini. Selain berbeda tempat -- Tamakiwaru di studio mini Institut Kesenian Jakarta dan Pusat Perfilman H Usmar Ismail, pekan silam CALMCOLOR di Pusat Kebudayaan Jepang sampai pekan depan -- media yang dipakainya pun tak sama. Yang pertama ditayangkan menggunakan tiga proyektor slide dan diiringi gubahan musik, sedangkan yang kedua dibingkai dan digantung di dinding. Selayang pandang, Tamakiwaru lebih eksperimental. Dibuat selama 13 tahun, kar~ya tersebut merupakan perpaduan gambar-gambar koleksi Tsunoda -- cetak kayu dari abad Meiji, foto arsip buruh wanita Jepang akhir abad ke-19 -- dengan gambar yang direkam sang fotografer di desa tempat kelahiran ibunya. Menyaksikan kumpulan gambar Tsunoda yang beruntun ini bak mendengar kembali haiku Basho, penyair besar Jepang dari abad ke-17, tentang kodok yang menyelam ke kolam tua. Suara katak yang mencebur mengentakkan lamunan Basho. Sang penyair yang kaget kemudian melahirkan baris-baris haiku. Sebaliknya, haiku itu menciptakan sosok kodok yang kemudian melompat ke kolam tua. Suaranya menjadi ilham bagi haiku Basho, dan seterusnya, dan seterusnya. Dalam dunia Basho dan Tsunoda, hidup berputar dalam sebuah lingkaran yang tiada ujung: hidup, mati, lalu hidup lagi untuk mati. Tamakiwaru, dari bahasa Jepang kuno yang artinya kira-kira "kematian dan kehidupan", bermula dengan gambar cetak kayu tentang kematian seorang bangsawan dan proses pembusukan mayat manusia. "Dari debu menjadi debu," tulis Tsunoda dalam waka, syair beruntun yang mengiringi Tamakiwaru. Dari puing-puing zaman feodal dibangun cerobong industri. Dari pabrik-pabrik yang mempekerjakan jutaan wanita dan menyemburkan racun, bukan cuma lahir kota-kota baru tapi juga dusun yang hampir mati. Tsunoda merekam rumah yang hampir ambruk -- potret sang pemilik yang menguning di pojok kamar, perabotnya dihiasi lawa-lawa -- di dusun sepi. Di sini tumbuh perjuangan untuk menyembuhkan alam. Lalu, bumi membuahkan pohon, buah, sayur, dan ulat sutera bagi manusia. Tapi, petani yang merayakan kesuburan itu pun menjadi algojo hewan-hewan kurban. Darah binatang mengalir, menyatu kembali dengan bumi. Menghamili bumi. Seorang pendeta Zen bernama Rinzai pernah bertutur, "Di tempat lain mereka dibakar. Di sini, kami dikubur hidup-hidup." Seperti Rinzai, Tsunoda menyadari betapa pada hakikatnya kehidupan itu hidup dari kematian. Setiap detik jantung kita berdetak, maka semakin dekat ajal dan semakin menggebu-gebu keinginan untuk hidup. Tak akan ada kehidupan tanpa kehadiran sang maut. Maka, betapapun menawannya benda yang direkam Tsunoda, semua dibayang-bayangi sosok kematian. Tengok CALMCOLOR, karya Tsunoda lainnya. Sekilas, agak sulit memahami bahwa dua karya yang disebut di atas dibuat oleh fotografer yang sama: sementara Tamakiwaru muram dam emosional, CALMCOLOR, sesuai dengan judulnya, riang tapi hening. Toh ada benang merah yang me~ngaitkan karya-karya tadi. Paling tidak dari proses dan pemikirannya -- yang menghabiskan waktu tujuh tahun -- kita bisa merasakan kembali obsesi Tsunoda. CALMCOLOR adalah kumpulan gambar yang direkam Tsunoda dalam wilayah 100 meter dari bibir pantai Hayama, kota kelahirannya. Yang menarik, Tsunoda selalu melakukan pemotretan sekitar setengah jam sebelum matahari terbenam. "Cahaya matahari yang mulai redup membuat benda-benda di pantai -- batu, kerang, rumput laut, ombak -- lahir kembali sebagai sesuatu yang lain," ujarnya. Sekali lagi Tsunoda seperti berlomba dengan kematian: cahaya yang redup bak ajal yang segera tiba, tapi justru pada saat itulah benda-benda mati itu "hidup". Di lensa Tsunoda, riak ombak berubah menjadi puncak gunung yang bergulung, sedangkan kerang di pasir berkilau seperti janin Bodhisatva yang lahir kembali. Transformasi benda-benda tersebut juga terjadi karena Tsunoda memotret sampai "melewati batas fokus". Tsunoda tak lagi melihat suatu benda dalam konteks planar, yang bisa mengakibatkan benda tersebut kelihatan kecil dan tak berarti bila dibandingkan dengan lingkungannya. Sebaliknya, ia menyorot langsung pada benda, dari jarak yang teramat dekat. Artinya, bukan lensa Tsunoda yang menjebak obyek, tapi obyeklah yang menelan mata Tsunoda. Ini seperti nasihat seorang pendeta Zen pada muridnya: makan kalau lapar, tidur kalau ngantuk. Setiap hal harus diterima sebagaimana sifatnya. Hanya dengan cara "mengalah" pada alam inilah manusia bisa mengenali inti hidup. Dan memang, CALMCOLOR membuktikan betapa seringnya manusia salah, hanya karena ia mempunyai prekonsepsi bahkan sebelum membuka matanya. Batu adalah batu, tapi bukan cuma batu. Di mata orang bijak, batu itu juga jantung manusia. Walaupun karya-karya Tsunoda kental dengan perenungan, ia menolak cap "Timur" atau "Jepang" untuk karyanya tersebut. Dan memang tak ada gunanya me~ngotak-ngotakkan Tsunoda. Dalam penayang~an Tamakiwaru, misalnya, ia tak lagi menyebut dirinya sebagai fotografer, tapi fotografer-perancang. Sebab, bukan gambar-gambarnya yang menjadi karya utama Tsunoda, tapi proses penyuntingan dan penyusunannya. "Melalui karya ini, saya ber~usaha mencari Jepang seperti yang diceritakan dalam dongeng ibu saya, dan Jepang yang saya kenal sekarang," kata Tsunoda. "Tamakiwaru adalah sebuah proses pencarian jati diri." Tak mengherankan bila Tsunoda menyebut Tamakiwaru sebagai "kar~ya sastra". Ini pemikiran yang masih asing di Indonesia. Kita lebih akrab dengan sosok fotografer sebagai "tukang" potret. Dan kenyataannya memang begitu. Tsunoda sendiri sehari-hari mencari makan dengan memotret iklan untuk perusahaan-perusahaan macam Fuji Film dan Sapporo Beer di Jepang. Tapi yang membedakannya dari jutaan pemotret lain, selain apa yang kita simak dalam karyanya, adalah komitmen Tsunoda pada fotografi yang lebih bersifat rohaniah. Spiritualisme ini diterjemahkan dalam berbagai hal. Tsunoda -- meminjam istilah yang populer di Indonesia -- bukan sekadar jeprat-jepret. Tamakiwaru dan CALMCOLOR dikerjakannya seperti seorang pendeta Zen menyuguhkan minuman pada upacara teh: syahdu dan suci. Dan seperti penyair haiku yang hormat pada setiap elemen dalam alam, Tsunoda mempergunakan gambar-gambarnya -- yang ditemukan dan yang dibuat -- dengan pasti. Tak ada satu gambar yang lebih penting dari gambar lainnya. Di Jepang kuno, seorang jago pedang dikatakan telah mencapai tingkat tertinggi bila ia sudah berhasil menatap maut. Tsunoda memerlukan 20 tahun untuk mencapai tingkat itu. Seperti Basho dengan kodoknya, Tsunoda pun sadar: hanya dengan cara menyatu dengan maut ia bisa menyatu de~ngan sang pencipta. Dan hanya dengan menyatu dengan sang pencipta, kita bisa menjadi pencipta. Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini