Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kepakan Sayap 'Heri Donology'

Heri Dono menggelar pameran retrospeksi di Art 1 New Museum. Ia memiliki dunia tersendiri. Dunia yang mampu membuatnya menembus berbagai biennial dan triennial internasional.

23 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hamengku Buwono IX melayang digantung tali-tali. Sayapnya mengembang. Kedua tangannya mengepal ke depan seperti Superman saat mengarungi langit. Ia mengenakan kupluk kebesaran Keraton Yogyakarta tapi dengan tambahan tancapan sorot lampu. Kupingnya bersimping. Ia berkaus tangan putih dan bertelanjang kaki. Di dadanya ada kotak elektronik, yang bisa membuat sayapnya bergerak-gerak.

Homage to Hamengkubuwono IX. Itu judul yang diberikan Heri Dono untuk karyanya pada 2010. Dua tahun sebelumnya, ia membuat patung malaikat Mahatma Gandhi. Dua tahun berikutnya, ia memproduksi karya berjudul Oxymoronia. Tiga sepeda motor lawas peretelan diberinya penunggang bersayap putih dengan tubuh cokelat. Wajah para pembalap itu berpupur putih dengan bibir merah mirip makeup mulut punakawan wayang orang. Mengenakan helm dengan led light dan kacamata pengelas, di dada mereka ada kotak elektronik-agar sepeda motor menderu dan sayap mengepak-ngepak.

Sayap adalah salah satu ikon dari "Heri Donology" (demikian sebuah pameran menyebut dunia Heri Dono). Sejak awal kariernya, ia intens mengolah sayap. Instalasi pertamanya mengenai sayap mungkin Flying Angels (1996). Digantung di udara dengan tali-tali seperti marionette, bila kita mendongak, akan terlihat wajah malaikat yang jauh dari cherubim yang lucu. Wajah mereka putih pucat. Seolah-olah gabungan antara boneka Loro Blonyo dan Barbie. Semenjak itu, mengalir seri malaikatnya. Angels Falls from the Sky (2008), misalnya. Serombongan malaikat ceria berpipi tembem memiliki sungu atau tanduk. Sayap mereka dilengkapi roket-roketan kecil.

Heri Dono adalah satu perupa kita yang mampu dengan baik berulang-alik antara kanvas dan instalasi. Pertengahan 1980-an, ia menggebrak dengan memposisikan diri sebagai pembawa spirit kartun yang baru. Energinya berandalan dan anti-kemapanan. Kanvasnya berisi tingkah polah liar makhluk-makhluk setengah wayang, setengah superhero, dan setengah binatang. Fantasi lokal dan global menyatu. Makhluk-makhluk ganjil tersebut sering diwujudkan dalam bentuk instalasi wayang-wayangan. Selanjutnya interaksi antara kanvas dan instalasinya mengalir dinamis.

Terakhir (2014), Heri membuat panel sepanjang 30 meter berisi lukisan panorama alam dengan figur-figur aneh yang lebih dulu dibuat instalasinya. Misalnya astronaut-astronaut dan patung sejumlah dinosaurus berkepala Saddam Hussein, Usamah bin Ladin, dan Adolf Hitler.

Kemampuan Heri memblender dunia pop, komik, dan wayang ini membetot perhatian festival internasional. Jim Supangkat-dalam buku The World and I: Heri Dono's Art Odyssey, yang diterbitkan khusus mengiringi pameran retrospeksi ini-mengutip tulisan penulis seni Stephanie Britton di jurnal Artlink mengenai posisi Heri Dono. Britton menyurvei 112 seniman dunia yang paling sering diundang dalam biennial dan triennial di dunia. Ia membagi menjadi delapan peringkat. Peringkat pertama: seniman kontemporer Cina, seperti Cai Gio Qiang dan Yang Fudong. Sedangkan peringkat kedua ternyata ditempati Heri Dono. Posisi Heri jauh di atas seniman besar Joseph Beuys, Yoko Ono, dan Marina Abramovi, yang dalam survei menduduki peringkat kedelapan.

Jim memperkirakan posisi Heri akan bertahan sampai sekarang. Dia melihat perhatian besar festival internasional itu karena Heri dianggap mampu terus-menerus menyajikan bahasa baru tradisi yang mengagetkan.

Pada titik ini, adalah hal menarik bila kita melihat ulang bagaimana Heri menyerap dunia vernacular wayang-gamelan di Yogya dan membawanya ke alam imajinasi yang diterima kancah global. Pada 1987, di tengah keputusan tak merampungkan skripsinya di Institut Seni Indonesia, Heri belajar wayang kepada Sukasman (wafat umur 73 tahun pada 2009).

Sukasman seorang pemberontak. Dia pernah 14 tahun bekerja di studio-studio desain di Eropa. Begitu pulang, ia tidak bekerja profesional di jagat periklanan. Dengan biaya sendiri, Sukasman melakukan eksperimen seputar anatomi wayang. Menurut dia, para empu pencipta wayang adalah seorang "matematikus". Panjang leher, tangan, dan kaki wayang yang tampak ganjil itu ternyata memiliki hitungan dan ukuran yang eksak. Sukasman kemudian membuat wayang dengan panjang-pendek tersendiri, yang bila ditampilkan di layar dengan sorotan lampu warna-warni dari belakang akan membuat visual yang menarik.

Kepada Sukasman, Heri belajar membuat raksasa, siluman, genderuwo, dan roh gentayangan. Pada saat bersamaan, ia membuka diri terhadap banyak pengaruh Picasso, gerakan Cobra, dan gerakan pop. Ia menjumbuhkannya. Walhasil, Heri berhasil menggali kemungkinan-kemungkinan demit lokal menjadi funky dan kontemporer. Deformasinya atas sosok jin menjadi pengucapan global. "Saya tertarik pada konsep animisme bahwa semua benda memiliki roh. Air, misalnya, bisa menangis dan tertawa," katanya kepada Ratnaning Asih dari Tempo. Ini kalimat kunci. Bila kita melihat dalam alam lukisan Heri, benda-benda bisa berbicara sendiri. Itu tak diambilnya dari Walt Disney, tapi dari kosmologi kebatinan Jawa.

Dan "pandangan dunia arkaik"-nya ini didukung oleh minatnya keluyuran mencari barang elektronik bekas. Salah satu pencapaian estetik Heri, tak syak, adalah "karya kinetik" seperti sayap-sayap di atas. Selain membikin sayap, ia membuat seri gamelan yang bisa berbunyi sendiri.

Yang khas dari Heri-dan ini yang mungkin menjadikannya "seksi" dalam penglihatan kurator-kurator dunia-ia justru menghindari penggunaan materi elektronik dan komputerisasi canggih. Pada saat dunia telah mencapai "kultur iPad dan telepon seluler cerdas", karya kinetiknya justru menggunakan bahan kabel dan chip loakan. Karyanya, Gamelan of Rumour (Soal Gosip), misalnya, berupa sederet kenong yang berketak-ketuk sendiri. Semuanya dibuat dari materi bahan elektronik sederhana. "Keprimitifan"-nya terasa.

Heri Donology maka juga mencakup dunia elektronik bekas. Weltanschauung Heri Donology meliputi dunia pasar rombeng. Hampir bisa dipastikan anak kolonel ini sering blusukan ke pasar-pasar transistor, radio bekas.

Di Yogya, misalnya, ada Pasar Klithik, yang letaknya di belakang Pasar Beringharjo. Di situ dilego aneka macam radio kuno masih memakai tabung (baik hasil curian maupun hasil apa pun) sampai berbagai televisi, kipas angin, kompor gas, dan kulkas jadul dari merek Sanyo hingga Mitsubishi. Di Yogya, jauh sebelum ada tukang servis notebook, sudah banyak terdapat kios reparasi radio transistor. Di sana mudah menemukan seorang tukang becak terlelap di joknya sembari memeluk radio kecil mendengarkan siaran wayang. Semua ini tentu menjadi ilham Heri Dono.

Lihat dada bolong malaikat berisi kumparan yang dibiarkan semrawut. Lihat karyanya: Gamelan Goro-goro. Di samping kenong yang bisa mengetuk-ngetuk sendiri dan kabel-kabelnya dibiarkan molor sana-sini, ada sungi-sunggian ember yang dibuat sap-sap. Dari ember teratas sampai bawah dipasang pipa sambung-menyambung yang otomatis mengalirkan air. Di sini Heri justru mempromosikan "teknologi penyulingan" tingkat rendah.

Awal ketertarikan Heri terhadap kinetik mungkin saat ia terkesima menonton karya Nam June Paik tatkala mendapat kesempatan melakukan residensi di Swiss. Nam June Paik adalah seniman migran Korea yang banyak menggunakan medium televisi. Kita tahu kemudian, di masa kini, terjadi gelombang perupa mengeksplorasi medium screen digital, multichannel video dengan gadget canggih. Di sini Heri seolah-olah antitesis. Ia justru mengedepankan artefak bekas yang telah dibuang kalangan urban. Ia pemulung dan pendaur ulang sampah elektronik.

Bukan hanya rombengan elektronik yang menjadi perhatiannya. Mainan anak-anak murah yang telah hilang pun, seperti kapal-kapalan yang bisa berputar sendiri di ember plastik serta kincir-kinciran berbentuk Petruk dan Gareng yang bergerak sendiri di tiup angin dan berbunyi srek srek, dia kumpulkan. Bahkan emblem bordiran.

Lihatlah Palace Guard. Karyanya pada 2014 ini menampilkan sosok tiga laki-laki berseragam veteran bercampur prajurit keraton. Mereka tak berkaki, tapi beroda dan berekor. Jelas ini simbol veteran yang cacat dan tersingkir. Di dada mereka tersemat emblem Banser. Tapi, bila kita periksa, di sekujur seragam juga tertempel emblem korps sepak bola sampai organisasi kebatinan. Kita tertawa. Heri mengumpulkan emblem berbagai organisasi di Yogya, dari organisasi beraliran keras, klangenan, sampai perkumpulan yang menjurus premanisme.

Karena itu, Heri Donology bukanlah semacam dunia bermain untuk bermain sendiri. Motifnya tetap satire dan parodi. Ia mengolok-ngolok realitas paling kini. Ia menyindir amburadulnya politik. Sayang, pamerannya tidak menghadirkan karya Fermentation of Mind (juga Fermentation of Nose). Ini salah satu karyanya yang terkuat. Umumnya kritik Heri sering tak langsung. Tapi kali ini tajam. Menggigit tapi tak verbal. Menghadirkan sosok-sosok patung dengan mata meram yang ditancapkan di bangku-bangku sekolah. Ada bunyi-bunyian mendenging di kepalanya. Mereka seperti masyarakat kita yang tercuci otaknya. Mereka simbol kebodohan massal.

Bagaimanapun, tanpa Fermentation of Mind, retrospeksi ini penting. Salah satu yang mengagetkan adalah Heri Dono ternyata seorang "arsipis". Di pameran ini disajikan catatan-catatan tangan Heri pada 1980-an. Ia menyimpan catatan kegelisahan, renungan hariannya seputar akan mana seni rupa Indonesia. Ia juga menyimpan coretan konsep desain pemanggungan wayangnya. Juga studinya atas berbagai morfologi makhluk-makhluk ganjil dari alam komik, pop, dan tradisi. Dokumen ini sangat berguna melacak evolusi estetis Heri. Sebab, di pameran ini dihadirkan sebuah lukisan Heri bertahun 1981. Judulnya Segitiga Senin Jakarta. Gayanya masih seperti dekoratif. Catatan itu berguna untuk menelusuri bagaimana awalnya Heri berpindah dari gaya konvensional ke alam anarkinya.

Karya terbaru lain bertahun 2014 adalah Riding the Tigerish Goat. Heri membuat sosok-sosok berseragam militer menunggangi binatang aneh-kesan saya modifikasi dari bentuk Sphinx. Binatang itu berbadan, berkaki, dan bersurai singa tapi dengan kepala anak-anak. Binatang itu bersayap dan tubuhnya berlengket senapan. Seri karya ini juga ditampilkan di ArtJog 2014. Di sini kita melihat pengembaraan makhluk Heri bertambah. Heri Donology makin mengepakkan sayap ke cakrawala mitologi lain.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus