Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Panen Hemat Ala Zaaga-Futata

Alat pemanen padi buatan arek-arek Jawa Timur lebih praktis dibanding produk impor. Belajar dari katak dan buaya.

23 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jatuh cinta pada uji coba pertama. Itulah perjalanan nasib Daman, warga Lembah, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun, dengan Zaaga. Ini bukan kisah percintaan atawa asmara antara petani 42 tahun itu dan seorang wanita. Zaaga bukanlah kembang desa, melainkan mesin pemanen padi buatan karibnya sekecamatan, Agus Zamroni, pemilik PT Jogja Inovasi Teknologi. Hingga kini, sudah enam kali musim panen padi dan Zaaga setia menemani Daman.

"Saya menggunakan Zaaga sejak 2012, sebelum dipatenkan," kata Daman saat ditemui Tempo di rumahnya, Senin pekan lalu. Setelah uji coba dilakukan setahun, termasuk yang disaksikan Daman, akhirnya Zaaga dilempar ke pasar pada akhir November 2013, selepas lulus uji sertifikasi dari Balai Pengujian Mesin dan Alat Pertanian Kementerian Pertanian. Kehadiran Zaaga mengundang minat Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan untuk mengunjungi pabrik pembuatan mesin ini di Dolopo, Madiun, awal Mei lalu.

Namanya sudah kesengsem, Daman akhirnya membeli Zaaga BN 120 AT dengan cara mengangsur seharga Rp 78 juta. Saat itu banyak petani mencibir dan ragu akan efektivitas Zaaga. Daman tak peduli. Ia yakin mesin panen padi itu bisa berfungsi dengan baik dan optimal. Harapannya terkabul. Tiap kali panen, Zaaga lancar menderu di sawah miliknya seluas satu hektare. Tak hanya memotong padi, mesin ini langsung merontokkan gabah, membersihkan, dan mengemasnya dalam karung.

Dari sisi operasional, Zaaga lebih irit bila dibandingkan dengan proses panen secara manual—menggunakan tenaga manusia. Untuk satu hektare lahan padi, Daman cukup merogoh kocek sekitar Rp 350 ribu. Alokasinya untuk enam liter solar, ongkos tiga pekerja (operator, pemasang karung, pengangkut dari sawah ke jalan), dan konsumsi.

Sebagai pembanding, jika menggunakan tenaga manusia, ia butuh 25-30 orang. Setiap delapan kuintal padi yang dipanen, upah untuk pekerja satu kuintal. Belum ditambah biaya konsumsi. Menurut hitungannya, panen manual bisa menghabiskan Rp 3,5 juta per hektare.

Keuntungan lain panen dengan Zaaga, padi yang terbuang saat panen jauh berkurang dibanding panen secara manual, yakni hanya sekitar dua persen karena langsung dikarungi. Dalam panen manual, gabah yang hilang bisa mencapai 14 persen. Melihat seabrek keuntungan itu, teman-teman Daman tertarik memanfaatkan Zaaga.

Menurut Agus Zamroni, Direktur PT JIT, dalam dua tahun terakhir Zaaga terjual 201 unit. Pembeli pertama adalah kontraktor pemenang tender yang diselenggarakan Dinas Pertanian Jawa Timur untuk program pembinaan petani dengan pengadaan 20 mesin pemanen padi. Pembelian berlangsung pada 2013 setelah Zaaga lulus proses uji coba lapangan dan mendapatkan sertifikat paten hak kekayaan intelektual dari Direktorat Jenderal HAKI Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ada tiga Zaaga yang telah mendapatkan paten, yakni Zaaga tipe BN 120 AT, BN 100 H, dan BN 120 K. Harga Zaaga Rp 65-98 juta.

Sebelum paten didapat, Imron—panggilan akrab Zamroni—sudah melakukan riset dan mencoba-coba menciptakan alat pemanen padi sejak 2011. Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat bodi mesin dari drum bekas, mengatur mekanik, dan memasang rear gear box, alat yang bisa menggerakkan mesin pemanen ke depan dan belakang.

Untuk riset dan proses utak-atik mesin pemanen, pria 45 tahun yang pernah belajar mekanik bus kepada sejumlah teknisi perusahaan otobus itu menghabiskan duit hingga Rp 2 miliar. Guna mewujudkan impiannya, anak petani ini melego mobil kesayangannya, Honda Accord keluaran 2005, dengan harga Rp 200 juta.

Imron tertantang menciptakan mesin panen karena penasaran. Sebelumnya, ia pernah menerima bantuan mesin pemanen dengan berat sekitar 800 kilogram dari Heru Lelono, anggota staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, saat diuji coba, alat ini tak berfungsi lantaran ambles di tengah sawah yang becek. Mesin rakitan orang Indonesia itu—meski semua komponennya dari Tiongkok—dinilai terlalu berat. Walhasil, keinginannya untuk menciptakan alat pemanen dengan bobot yang lebih ringan kian membuncah.

Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Imron berhasil menciptakan Zaaga, yang beratnya sekitar 300 kilogram. Anak almarhum Mohammad Bahir, petani sekaligus penyuplai beras ke Bulog di Ponorogo, ini mengaku puas. Akhirnya, bersama adiknya, Agus Sultoni, dan keponakannya, Gatut Adhiyaksa, Imron mendirikan PT JIT untuk memproduksi Zaaga secara massal.

Setelah mesin terjual, bukan berarti Imron terbebas dari masalah. Pada pertengahan Maret lalu, sekadar contoh, ada pembeli menyambangi rumah Imron dengan menggandeng aparat keamanan. Pembeli itu marah karena Zaaga miliknya tak bisa jalan di sawah.

"Dia datang pagi-pagi, saya diajak berkelahi, mau dipukuli. Kerah kaus saya sudah dipegang," Imron bercerita. Usut punya usut, ternyata pembeli itu tak mengerti teknis pengoperasian Zaaga karena tak mengikuti pelatihan penggunaan Zaaga. Setelah diajari, konsumen itu bisa mengerti. "Perasaan saya nelongso waktu itu," Imron menambahkan.

Pernah juga ada konsumen yang mengeluh karena Zaaga tak mampu berjalan di sawah berlumpur. Bukannya marah, Imron justru terpacu memperbaiki kualitas mesin pemanennya, dan terciptalah roda mesin generasi ketiga. Roda terbuat dari pelat besi yang tetap bisa berjalan di lumpur dengan kedalaman maksimal 30 sentimeter.

Penciptaan roda itu terinspirasi tayangan National Geographic di televisi. Imron melihat pawang yang digigit buaya di tanah berlumpur. Menurut dia, buaya memiliki tenaga besar karena bergerak menggunakan dada dan didorong ekornya. Sedangkan kakinya sebagai pengendali. Lalu Imron berpikir juga tentang kaki katak yang panjang sehingga mampu meloncat jauh. Cling..., itu tadi, roda generasi ketiga Zaaga pun tercipta. "Saya membuat roda dari perpaduan konsep kaki buaya, dada buaya, dan kaki katak," kata Imron. "Konsep itu memberikan topangan ringan saat Zaaga berjalan di lumpur."

Selain Zaaga, Futata adalah mesin pemanen padi 100 persen buatan Indonesia yang bisa memanen di sawah berlumpur. Penciptanya Soetrisno Basoeki, lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember angkatan 1971. Pria 61 tahun ini mulai menciptakan mesin pemanen padi pada 2007. Setahun kemudian mesin pemanennya rampung dan diberi merek Futata. Mesin pemanen ini dilengkapi roda yang dapat beroperasi di lahan berlumpur sampai 30 sentimeter, bahkan 40 sentimeter, di kondisi tanah tertentu.

"Futata diambil dari kata bahasa Tiong­hoa, yang berarti keberuntungan besar," kata Soetrisno kepada Tempo di pabriknya di Gresik, Rabu pekan lalu.

Pada 2010, dengan bendera PT Omhwaha­ha, Soetrisno memproduksi Futata dan mendaftarkan hak patennya. Hingga saat ini Futata sudah diproduksi dalam lima tipe dengan variasi pada jenis penggerak dan sistem transfer padi. Semua sudah lolos uji sertifikasi dari Kementerian Pertanian dan mengantongi paten dari Ditjen HAKI.

Kapasitas produksi Futata saat ini mencapai 50 unit per bulan. Sejak 2010 hingga 2014, Soetrisno sudah menjual 450 unit mesin Futata kepada petani di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Untuk ekspor, ia masih menjajaki negara tetangga, seperti Malaysia dan Timor Leste.

Dibanding mesin pemanen padi impor yang bisa mencapai 2,5 ton, bobot Futata lebih ringan, yakni 740 kilogram. Mesin ini bisa memanen padi lima jam per hek­tare. Harganya dibanderol sekitar Rp 13 juta. "Dengan memakai mesin, biaya panen lebih hemat," katanya.

Dwi Wiyana, Nofika D. Nugroho, Agita S. Listyanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus