Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tensi Tinggi untuk Urusan Kedelapan

Jokowi minta biaya proyek transportasi massal dihitung kembali. Pengusaha berdatangan.

4 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CUKUP satu jam bagi Joko Widodo untuk mengambil keputusan tentang solusi tujuh masalah utama Jakarta yang menggantung tak kunjung selesai. Gubernur Ibu Kota ini bertamu ke kantor Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Kamis pekan lalu—yang menurut Humas Kementerian merupakan kunjungan pertama Gubernur Jakarta ke gedung itu.

Joko dan Djoko mendiskusikan penataan Kali Ciliwung, banjir, penanganan limbah rumah tangga, air minum, tata ruang permukiman kumuh, pagar hijau di laut utara, serta proyek-proyek jalan tol dalam kota yang terhambat karena biaya dan pembebasan lahan. "Rapatnya efektif sekali. Di tingkat kebijakan, seratus persen beres. Tinggal tindak lanjut teknis di lapangan," kata Djoko Kirmanto seusai rapat.

Menurut Djoko, proyek-proyek itu terhenti di tengah jalan karena pemerintah Jakarta dan kementeriannya tak pernah sepakat soal pengerjaan dan penanggung jawab biaya. Kementerian ini punya program di tujuh proyek itu, tapi mesti mendapat izin dari Gubernur Jakarta. Dalam rapat itu, kedua pejabat sepakat berbagi beban. "Untuk rasio biayanya, masih harus ada rapat lagi, tapi prinsip bagi beban sudah disepakati," ujar Jokowi.

Untuk relokasi permukiman kumuh, misalnya, Kementerian Pekerjaan Umum akan membangun rumah susun bekerja sama dengan Kementerian Perumahan Rakyat. "Saya sudah menyediakan lokasinya, tapi harus berbicara dulu dengan masyarakat supaya tak ada yang keberatan," kata Jokowi. Begitu juga penanganan banjir dengan mengeruk dan menata Sungai Ciliwung yang akan dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum.

Tujuh urusan beres, masalah kedelapan membuat Jokowi mesti menepuk jidat berkali-kali: mass rapid transit (MRT). Ia setuju meneruskan proyek transportasi massal yang digagas pada zaman Sutiyoso ini. Tapi ia belum yakin terhadap proyek prestisius itu, terutama soal biaya dan harga proyek pembangunan rel per kilometer. "Sekarang tensinya sedang tinggi," ujarnya.

Tiga kali rapat dengan PT MRT, perusahaan daerah yang didirikan untuk mengurusi proyek kereta massal, belum ada kejelasan pembangunan rel untuk mengurai macet ini. Jokowi belum sreg dengan skema dan pembiayaannya. Proyek ini digagas pada 2005. Idenya adalah menciptakan angkutan massal berbasis rel, baik di bawah tanah maupun melayang di atas permukaan.

Untuk tahap pertama, akan dibangun rel layang dari Lebak Bulus ke Blok M sepanjang 15,5 kilometer, bersambung dengan rel bawah tanah dari Blok M ke Bundaran Hotel Indonesia sepanjang enam kilometer. Modal untuk membangun sudah diper­oleh dari Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 31 Maret 2008 sebesar 132,6 miliar yen atau Rp 15,1 triliun. Kajian yang menghabiskan Rp 1,5 triliun juga sudah digeber.

Bahkan tender untuk kontraktor yang mengerjakannya juga sudah digelar. Namun Fauzi Bowo—gubernur sebelum Jokowi—tak kunjung menunjuk pemenang lelang. Ada dua konsorsium di urutan teratas dari lima perusahaan yang lolos prakualifikasi tender: Shimizu-Obayashi-Wijaya Karya-Jaya Constructions dan Sumitomo Mitsui Construction Company-Hutama Karya.

Janji Fauzi mengumumkan pilihannya dua hari sebelum pemilihan Gubernur Jakarta pada 11 Juli lalu tak terlaksana. JICA tak memberi rekomendasi konsorsium mana yang mesti dipilih. Restu JICA harus ada karena utang itu memakai skema pinjaman mengikat (tied loan). Ini jenis utang murah karena bunganya cuma 0,2 persen per tahun dengan jangka pengembalian 40 tahun.

Fauzi Bowo sepakat dengan skema ini karena tak ada bank komersial yang mau membiayai. "Break-even point proyek ini bisa 22 tahun," katanya sepekan sebelum pemilihan gubernur.

Jepang setuju memberi modal lewat pinjaman mengikat. Syaratnya, pengadaan barang dan jasa konstruksi mesti berasal dari Negeri Matahari Terbit. Perusahaan atau pemerintah negeri itu juga mesti menjadi kepala proyeknya. Karena itu, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai skema utang ini mengakibatkan biaya MRT lebih mahal ketimbang proyek serupa di negara lain.

Menurut MTI, dengan biaya Rp 15 triliun, proyek ini akan menelan biaya Rp 1 triliun per kilometer. MTI menilai harga itu kelewat mahal karena kapasitas kereta massal ini hanya 400 ribu-1 juta penumpang per hari. "Pemerintah harus mengkaji lagi harga proyek prestisius ini," kata Direktur Eksekutif MTI Pandit Pranggana.

Di tempat lain, seperti Kolkata (India) dan Singapura, biaya membangun kereta massal pada 2002 hanya Rp 373 miliar per kilometer. Kota Meksiko tak jauh beda. Sejak dilantik 15 Oktober lalu, Jokowi sudah mengatakan akan mengkaji biaya pembangunan, yang akan berimbas pada harga tiket kelak.

Tahap persiapan MRT sudah diluncurkan Fauzi Bowo pada Maret lalu. Pemerintah Jakarta pun sudah meneken dan mencairkan utang tahap I dan II senilai Rp 5,7 triliun untuk fase persiapan memindahkan Stadion Lebak Bulus, meluaskan terminal, membebaskan lahan yang dilalui rel, dan memindahkan bangunan-bangunan sepanjang jalur proyek.

Jika semua rencana mulus, pembangunannya bisa dimulai tahun depan dan orang Jakarta akan menikmati MRT pertama pada 2016. Kereta massal ini akan meringkas waktu tempuh Lebak Bulus-Hotel Indonesia dari satu jam lebih dalam keadaan macet menjadi 30 menit. Transportasi massal ini dinilai ampuh mengurai macet ketika disatukan dengan kereta komuter, bus antarkota, busway, monorel, plus jalan tol dalam kota.

Ternyata proyek itu tak semulus yang direncanakan. Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama bahkan mengatakan akan mengkaji seluruh proyek ini dari hal paling mendasar. "Akan kami kaji kenapa harus dimulai dari Lebak Bulus ke Bundaran Hotel Indonesia. Kenapa tak dimulai dari tempat lain?" katanya. Jokowi pekan lalu mampir ke terminal itu, melihat fasilitas publik yang akan tergerus akibat proyek.

Jokowi belum yakin dengan semua proses yang sudah berjalan. Alih-alih menunjuk salah satu konsorsium untuk mengerjakan proyek ini, ia meminta PT MRT mengkaji ulang biayanya. Dalam rapat dengan para kepala dinas di Balai Kota, Senin pekan lalu, ia mengajukan tiga pertanyaan: pengembalian investasi, pembiayaan, dan kelangsungan proyek setelah jalan.

Jokowi tak puas terhadap penjelasan Direktur Utama PT MRT Tribudi Rahardjo. "Saya ini orang dagang. Kalau belum menguntungkan, ya, harus dikaji lagi," ujar bekas pengusaha mebel itu.

Dia ingin MRT bernegosiasi ulang dengan Jepang untuk mengubah skema utang mengikat menjadi pinjaman tak mengikat. "Negara lain ada yang bisa meminjam dari Jepang tapi belanja barangnya dari Korea, yang lebih murah," katanya. Apalagi Indonesia juga bisa mendapatkan utang tak mengikat dari negara itu pada 2008 untuk membiayai pembangunan trek rel ganda di selatan Jawa.

Direktur Keuangan PT MRT Erlan Hidayat mengatakan data tiga poin yang diminta Jokowi sebetulnya sudah disiapkan. Dalam rapat itu, Jokowi meminta detail item per item sehingga penjelasannya pun mesti mendetail. "Data yang diminta Pak Gubernur sudah kami siapkan, nanti dipaparkan dalam pertemuan berikutnya," ujar Erlan.

Dalam penjelasan tertulis kepada Tempo, Tribudi mengatakan biaya mahal yang dijadikan dasar penghitungan MTI berbasis pada harga 2002. Itu pun berdasarkan analisis dengan data sementara oleh Profesor Bent Flyvbjerg dari Sekolah Bisnis Oxford University, Inggris. Menurut dia, hitungan itu belum termasuk teknologi yang digunakan. Jenis sinyal, rel, dan teknologi akan menentukan biaya per kilometer.

Untuk memperoleh harga dan biaya yang dianggap wajar, Direktur MTI Pandit Pranggana mengusulkan pemerintah Jakarta menunjuk konsultan non-Jepang. Jokowi tak setuju. Menurut dia, sudah banyak konsultan mengkaji kelayakan MRT. "Saya hanya perlu kejelasan soal tiga itu. Kalau clear, saya teken saat itu juga," katanya.

Begitu tahu proyek ini hendak dikaji ulang, pengusaha berdatangan mengajukan penawaran. "Yang datang buanyak. Bukan lagi orang, tapi uooorang," ujar Jokowi. Ia bergeming dan tak akan membatalkan proses yang sudah berjalan. Untuk soal yang satu ini, ia tak bisa memutuskannya dalam satu jam.

Bagja Hidayat, Amandra Megarani, Syailendra Persada


Perbandingan Biaya Pembangunan MRT

1. MRT Jakarta

  • Panjang jalur 21,5 kilometer
  • Struktur bawah tanah 28,5 persen
  • Jumlah stasiun 21
  • Jarak antarstasiun 1 kilometer
  • Biaya pembangunan US$ 98 juta per kilometer

    2. Singapura (Singapore Mass Rapid Transit)

  • Panjang Jalur 67 kilometer
  • Struktur bawah tanah 30 persen
  • Jarak antarstasiun 1,6 kilometer
  • Biaya pembangunan US$ 54,5 juta per kilometer

    3. Korea Selatan (Seoul Metropolitan Rapid Transit)

  • Panjang jalur 116,5 kilometer
  • Struktur bawah tanah 80 persen
  • Jarak antarstasiun 1,1 kilometer
  • Biaya pembangunan US$ 45,2 juta per kilometer

    4. India (Kolkata Metro)

  • Panjang jalur 16,5 kilometer
  • Struktur bawah tanah 95 persen
  • Jarak antarstasiun 1 kilometer
  • Biaya pembangunan US$ 59,9 juta per kilometer

    5. Meksiko (Mexico City Line B)

  • Tahun pembuatan 2000
  • Panjang jalur 23,7 kilometer
  • Struktur bawah tanah 25 persen
  • Jarak antarstasiun 1 kilometer
  • Jumlah stasiun 21
  • Biaya pembangunan US$ 43,8 juta per kilometer

    6. Venezuela (Caracas Metro Line 3)

  • Tahun pembuatan 1994
  • Panjang jalur 4 kilometer
  • Struktur bawah tanah 100 persen
  • Jumlah stasiun 4
  • Jarak antarstasiun 1 kilometer
  • Biaya pembangunan US$ 98,4 juta per kilometer

    7. Cile (Santiago Metro Rail Transit)

  • Tahun pembuatan 2000
  • Panjang jalur 2,8 kilometer
  • Struktur bawah tanah 100 persen
  • Jumlah stasiun 3
  • Jarak antarstasiun 0,9 kilometer
  • Biaya pembangunan US$ 71,8 juta per kilometer

    Pembiayaan

  • Kreditor: Japan International Cooperation Agency
  • Kontrak: 31 Maret 2008
  • Skema: Pinjaman mengikat
  • Batas kredit: 132,589 miliar yen
  • Kurs: 1 yen = Rp 113,9
  • Porsi: 58 persen pinjaman, 42 persen hibah
  • Bunga: 0,2 persen per tahun
  • Pengembalian: 30 tahun
  • Masa tenggang: 10 tahun
  • Cair: 59,9 miliar yen Sumber: PT MRT

    JOKO WIDODO:
    Saya Enggak Mau Keliru Menghitung

    PADA bulan pertamanya menjadi Gubernur Jakarta, Joko Widodo tancap gas. Ia mendatangi kali kumuh, mengunjungi rumah susun, juga pagi-pagi menginspeksi kantor kelurahan. Mantan Wali Kota Solo itu datang ke Bandung, menemui koleganya, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, untuk membicarakan solusi macet dan banjir. Sehari kemudian, ia datang ke kantor Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto.

    Voorijder tidak berjalan di depan mobil dinas barunya, tapi mengekor di belakang. Jokowi sebenarnya emoh dikawal. Namun prosedur standar pengawalan baku kudu dilakukan. "Karena di belakang, jadi berisik… wuak-wuik…," kata sang Gubernur ketika ditemui Widiarsi Agustina dan Bagja Hidayat dari Tempo, Kamis siang pekan lalu.

    Apa prioritas Anda saat ini?

    Soal sosial-ekonomi masyarakat bawah. Tiap hari, warga kemriyek ke Balai Kota minta kejelasan status area yang diting­gali. Ada sengketa di daerah kumuh. Kalau masalah ini tak ditangani, berbahaya bagi Jakarta. Bisa bikin hati dan otak warga jadi panas. Saya enggak sakti-sakti amat. Karena itu, saya datangi mereka, saya terima mereka. Syukur-syukur masalahnya bisa diselesaikan cepat.

    Anda ketemu sejumlah menteri….

    Saya ketemu semua, warga, bupati, gubernur, juga menteri. Semua perlu didatangi untuk program Jakarta. Ya, kudu datang, wong kami yang berkepentingan. Enggak usah gengsi. Ini demi pekerjaan.

    Tujuh program Anda sepakati dengan Menteri Pekerjaan Umum. Ini prioritas?

    Tujuh proyek itu gede semua dan itu terkait dengan soal Jakarta. Masalah Jakarta kan terkait dengan proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan. Semua kami bahas satu-satu dan, alhamdulillah, semua senang karena bisa segera direalisasi. Proyek itu antara lain percepatan penataan Ciliwung, penataan limbah rumah tangga, penyediaan air minum, tata ruang, transportasi, dan masalah banjir. Juga ada great sea walls atau tanggul raksasa di pantai utara Jakarta. Juga jalan tol tengah kota. Semua sudah siap dieksekusi mulai 2013.

    Secepat itu membuat program?

    Sebenarnya desain makronya sudah ada, cetak birunya sudah ada. Hanya eksekusinya yang lambat.

    Tapi proyek mass rapid transit (MRT) yang sudah disetujui malah Anda tunda….

    Bukan ditunda. Saya minta kajian lebih detail soal bisnisnya. Saya juga enggak ngerti kenapa katanya sudah diputusin­ meski kajian detail bisnisnya belum jelas. Saya tak ingin, begitu dioperasikan, tiba-tiba macet di tengah jalan, mengingat sudah ada pengalaman empat negara kolaps mengoperasikan bisnis ini. Bagaimanapun, MRT Jakarta itu badan usaha milik DKI. Kalau memang penjelasannya masuk nalar, detik ini juga saya putusin eksekusi.

    Seperti apa kajian detail itu?

    Ada pertanyaan yang belum terjawab, misalnya penjelasan letter atau return of investment. Bagaimana rute dan intensitas penumpang? Apakah tercukupi? Bagaimana pula soal pinjaman? Mengapa harus tied loan dan bukan untied loan? Untuk proyek sebesar itu, hitung-hitungannya harus riil. Saya sendiri inginnya spartan, karena kita kejar-kejaran waktu. Tapi saya juga emoh keliru menghitung kalau ujung-ujungnya rugi.

    Harganya kemahalan?

    Ini juga belum ada penjelasan: mengapa harga yang dibandingkan adalah harga tahun 2009? Saya tak ingin misalnya tiket Rp 38 ribu, masyarakat hanya mampu Rp 7.000. Jadinya MRT nombok Rp 30 ribu.

    Sepertinya monorel akan lebih dulu dieksekusi?

    Saya pinginnya dua-duanya segera dieksekusi. Soal kenapa monorel, lha… itu tiang-tiangnya mau diapain? Sudah setengah jalan, ya diterusin. Saat ini kami masih menunggu presentasi dari tim dari BUMN.

    Busway tak akan dipakai?

    Masih dipakai. Tapi, kalau ternyata tabrakan dengan monorel, busway bisa dipakai untuk feeder di pinggir kota. Busway sendiri kini sedang dibenahi. Desember ini akan dibeli 100 unit bus. Tahun depan 600. Semuanya bertahap dan butuh proses.

    Ada jalan tol baru, busway, monorel, dan MRT. Apa enggak semrawut?

    Soal transportasi dan mengatasi kemacetan, orientasinya harus jelas. Selama ini kan tidak. Kami ingin memfasilitasi orang, bukan mobil. Kalau yang difasilitasi mobil, jalan tol dalam kota ditambah. Jika mobil difasilitasi, semakin banyak mobil dan semakin macet. Kalau yang difasilitasi orang, transportasi publiknya yang diperbaiki. Semua ini akan mudah kalau saya mulai dari nol. Masalahnya jadi ruwet karena ada peninggalan masa lalu yang semrawut.

    Mengapa semrawut?

    Terlalu banyak kepentingan, sehingga bikin repot.

    Kepentingan apa?

    Ada yang ngotot agar proyek tertentu segera dikerjakan. Jadi, pasti ada kepentingan, kan. Saya pingin semua proses terbuka dan masyarakat bisa mengontrol.

    Termasuk anggaran?

    Anggaran harus digunakan dengan efisien. Misalnya, anggaran taman selama ini mencapai Rp 300 miliar, tapi yang ditanam teh-tehan, bakung, dan pisang-pisangan yang harga setangkainya Rp 300. Di Solo, untuk penghijauan segede itu cuma habis Rp 2 miliar. Jakarta besarnya lima kali Solo.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus