A Communist Revolutionary Movement As An International
State-Actor:
The Case of the PKI-Aidit.
Oleh: MacArthur F. Corsino
Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, Maruzen Asia,
Singapore, 1982, 229 hlm.
SALAH satu yang amat menjengkelkan dari ilmu-ilmu sosial
modern, terutama yang berkembang di Amerika Serikat, adanya
kecenderungan menyusun pemikiran dan teori yang mengarah pada
model yang muluk-muluk. Keinginan yang berlebihan untuk
menamakan dirinya sama "ilmiah"nya dengan ilmu-ilmu alam dan
matematika membuat ilmu sosial modern menjadi berbelit-belit -
penuh kategorisasi dan peristilahan yang membingungkan tanpa
menjelaskan hakikat persoalan sebenarnya.
Disertasi MacArthur Corsino, yang kini di)adlkan buku tentang
gerakan revolusioner komunis dengan studi kasus PKI-Aidit memuat
hal-hal yang menjengkelkan tadi. Banyak diagram, bagan, dan
gambar-gambar yang membeberkan bermacam-macam jenis gerakan
revolusioner di negara sedang berkembang - terutama di Asia.
Maklum, suatu disertasi harus memuat inventarisasi teori dan
penemuan empiris yang telah ada saat disertasi itu mulai
disusun.
Untung dalam revisi terhadap disertasi yang ditulis di Northern
Illinois University itu, Corsino mengadakan konsultasi dengan
beberapa ahli sejarah di Institute of Southeast Asian Studies,
Singapura. Perspektif sejarah inilah yang menyelamatkan buku ini
dari belit-belit rumus tak berarti.
Dalam bagian partama buku ini, terutama Bab 4, Corsino
mengidentifikasikan PKI sebagai gerakan revolusioner komunis di
masa Sukarno sebagai non-ruling (tak berkuasa), tetapi ikut
berperan dalam menciptakan kondisi revolusioner menuju
kemenangan bertahap. PKI, di bawah pimpinan Aidit, menghadapi
kenyataan kuatnya tradisi Indonesia melawan ajaran perjuangan
kelas Karl Marx, pesan Lenin tentang partai pelopor, ataupun
"relevansi" teori Mao Zedong tentang basis massa petani.
Seperti di tulis banyak ahli lainnya, Corsino menarik kesimpulan
bahwa Aidit mencoba mengkombinasikan "demokrasi baru" gaya Mao
Zedong dengan "jalan baru" gaya Muso setelah menolak pilihan
"perang rakyat". Pilihan Aidit itu, menurut Corsino, dirumuskan
dalam "integrasi" antara kebenaran universal Marxisme-Leninisme
dengan situasi kongkrit yang ada di Indonesia (hlm. 78). Aidit
yakin bahwa pentahapan itu harus dimenangkan dengan jalan
mematangkan kondisi ideologi, baik di kalangan pemlmpin maupun
massa. Di samping itu agar tetap memperoleh pengakuan
internasional sebagai gerakan yang setaraf dengan komunisme di
negara-negara lain, maka PKI harus membuktikan dirinya sebagai
pemeran penting pada tahap pemerintahan negara.
Jalan ke arah pematangan situasi ini di lakukan PKI lewat
persekutuan ideologis dengan borjuis nasional yang dipilihnya
(antara lain: Presiden Sukarno dan PNI yang sama-sama mengakui
"pisau analisa" Marxis sebagai ajaran praktek). Menjelang
pertengahan 1965, ketika tahap "hamil tua" hampir tiba, golongan
nasionalis yang harus disingkirkan (H.B. Jassin dan Takdir
Alisjahbana di bidang seni dan sastra Adam Malik dan A.H.
Nasution di bidang politik) sudah mulai tersudut - ada dalam
posisi yang defensif. Bahkan pada ulang tahun PKI, 20 Mei 1965,
Aidit mengumumkan di depan massa yang memenuhi stadion utama
Senayan: "Nasakom adalah senjata yang diberikan Sukarno kepada
PKI."
Tetapi jalan pematangan situasi melalui ofensif budaya yang
dimulai tahun 1963 (dengan aksi-aksi menentang film-film
Amerika) ternyata menelan biaya yang amat mahal. Rentang kendali
terhadap pembinaan organisasi mengendur, misalnya koordinasi
antara PKI Jakarta dan PKI Surabaya makin simpang siur. Belum
lagi pertentangan antara kaum yang terpengaruh kebudayaan
borjuis melawan mereka yang mementingkan semangat juang yang tak
kenal kompromi.
Bersamaan dengan itu, PKI-Aidit harus menunjukkan semangat
revolusionernya di panggung politik internasional. Sebab proses
pematangan situasi di dalam negeri harus dikaitkan dengan irama
gerakan proletar sedunia - yang pada pertengahan tahun 1960-an
mulai terpecah ke dalam kubu Soviet dan kubu Cina.
Itulah sebabnya D.N. Aidit sebagai wakil ketua MPRS dan ketua
partai harus membuktikan bahwa PKI adalah salah satu bentuk
perjuangan negara dalam negara. Sebab bagaimanapun juga,
perjuangan menuJu masyarakat proletar dan masyarakat tanpa kelas
di Indonesia mengharuskan adanya perkaitan dengan tujuan umum
gerakan komunisme internasional: runtuhnya kapitalisme dan
imperialisme internasional.
Bahkan persaingan Soviet-RRC dalam bidang ideologi dimanfaatkan
Aidit untuk menegaskan bahwa di Indonesia ada "jalan khas" yang
menerapkan Marxisme-Leninisme secara kongkrit. Jalan khas ini
pula yang dipakai untuk memukul Chaerul Saleh dan Adam Malik
yang waktu itu, menawarkan Murbaisme sebagai alternatif jalan
perjuangan sosialis.
Corsino memperinci bagaimana PKI-Aidit menghadapi berbagai tahap
perjuangan membina citra sebagai kekuatan nasional yang setaraf
dengan kekuatan pemerintahan negara. Komponen politik luar
negeri PKI yang ingin dibedakan dari politik luar negeri
Pemerintah Indonesia digambarkannya melalui empat persoalan
pokok: anti Amerika, NEFO lawan OLDEFO, dukungan terhadap
politik konfrontasi melawan Malaysia, dan poros Jakarta-Beijing.
Adalah menarik untuk diingatkan bahwa Presiden Sukarno dan
PKI-Aidit amat berkepentingan membedakan politik luar negeri
Indonesia yang "anti-imperialis" dari politik gerakan non-blok,
waktu itu dipimpin Nehru dan Tito, yang lebih menekankan
"ko-eksistensi secara damai".
Bahasan Corsino mengenai aspek lain mulai dari pertentangan PKI
melawan TNI Angkatan Darat, Nahdlatul Ulama, serta
kekuatan-kekuatan politik lainnya di Indonesia periode 1959-1965
akan menggugah banyak kenangan bagi mereka yang mengalami masa
sebelum prahara. Akhirnya semua uraian itu menandakan bahwa
dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik, kekuatan tradisi
dan budaya tetap harus diperhitungkan. Ideologi revolusi amat
sukar memanipulasi simbol-simbol tradisional. Sebaliknya
simbolisme tradisi acapkali membuktikan bisa mengandaskan
revolusi (1926, 1948, dan 1965). Kecuali bagan dan rumus
kategorisasi ilmu sosial a la Amerika yang mejengkelkan itu,
karya Corsino ini patut dipakai dalam perkuliahan politik luar
negeri Indonesia.
Juwono Sudarsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini