Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ketika ibu pertiwi mulai hamil

Pengarang: macarthur, f. corsino singapura: maruzen, 1982 resensi oleh: juwono sudarsono. (bk)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A Communist Revolutionary Movement As An International State-Actor: The Case of the PKI-Aidit. Oleh: MacArthur F. Corsino Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, Maruzen Asia, Singapore, 1982, 229 hlm. SALAH satu yang amat menjengkelkan dari ilmu-ilmu sosial modern, terutama yang berkembang di Amerika Serikat, adanya kecenderungan menyusun pemikiran dan teori yang mengarah pada model yang muluk-muluk. Keinginan yang berlebihan untuk menamakan dirinya sama "ilmiah"nya dengan ilmu-ilmu alam dan matematika membuat ilmu sosial modern menjadi berbelit-belit - penuh kategorisasi dan peristilahan yang membingungkan tanpa menjelaskan hakikat persoalan sebenarnya. Disertasi MacArthur Corsino, yang kini di)adlkan buku tentang gerakan revolusioner komunis dengan studi kasus PKI-Aidit memuat hal-hal yang menjengkelkan tadi. Banyak diagram, bagan, dan gambar-gambar yang membeberkan bermacam-macam jenis gerakan revolusioner di negara sedang berkembang - terutama di Asia. Maklum, suatu disertasi harus memuat inventarisasi teori dan penemuan empiris yang telah ada saat disertasi itu mulai disusun. Untung dalam revisi terhadap disertasi yang ditulis di Northern Illinois University itu, Corsino mengadakan konsultasi dengan beberapa ahli sejarah di Institute of Southeast Asian Studies, Singapura. Perspektif sejarah inilah yang menyelamatkan buku ini dari belit-belit rumus tak berarti. Dalam bagian partama buku ini, terutama Bab 4, Corsino mengidentifikasikan PKI sebagai gerakan revolusioner komunis di masa Sukarno sebagai non-ruling (tak berkuasa), tetapi ikut berperan dalam menciptakan kondisi revolusioner menuju kemenangan bertahap. PKI, di bawah pimpinan Aidit, menghadapi kenyataan kuatnya tradisi Indonesia melawan ajaran perjuangan kelas Karl Marx, pesan Lenin tentang partai pelopor, ataupun "relevansi" teori Mao Zedong tentang basis massa petani. Seperti di tulis banyak ahli lainnya, Corsino menarik kesimpulan bahwa Aidit mencoba mengkombinasikan "demokrasi baru" gaya Mao Zedong dengan "jalan baru" gaya Muso setelah menolak pilihan "perang rakyat". Pilihan Aidit itu, menurut Corsino, dirumuskan dalam "integrasi" antara kebenaran universal Marxisme-Leninisme dengan situasi kongkrit yang ada di Indonesia (hlm. 78). Aidit yakin bahwa pentahapan itu harus dimenangkan dengan jalan mematangkan kondisi ideologi, baik di kalangan pemlmpin maupun massa. Di samping itu agar tetap memperoleh pengakuan internasional sebagai gerakan yang setaraf dengan komunisme di negara-negara lain, maka PKI harus membuktikan dirinya sebagai pemeran penting pada tahap pemerintahan negara. Jalan ke arah pematangan situasi ini di lakukan PKI lewat persekutuan ideologis dengan borjuis nasional yang dipilihnya (antara lain: Presiden Sukarno dan PNI yang sama-sama mengakui "pisau analisa" Marxis sebagai ajaran praktek). Menjelang pertengahan 1965, ketika tahap "hamil tua" hampir tiba, golongan nasionalis yang harus disingkirkan (H.B. Jassin dan Takdir Alisjahbana di bidang seni dan sastra Adam Malik dan A.H. Nasution di bidang politik) sudah mulai tersudut - ada dalam posisi yang defensif. Bahkan pada ulang tahun PKI, 20 Mei 1965, Aidit mengumumkan di depan massa yang memenuhi stadion utama Senayan: "Nasakom adalah senjata yang diberikan Sukarno kepada PKI." Tetapi jalan pematangan situasi melalui ofensif budaya yang dimulai tahun 1963 (dengan aksi-aksi menentang film-film Amerika) ternyata menelan biaya yang amat mahal. Rentang kendali terhadap pembinaan organisasi mengendur, misalnya koordinasi antara PKI Jakarta dan PKI Surabaya makin simpang siur. Belum lagi pertentangan antara kaum yang terpengaruh kebudayaan borjuis melawan mereka yang mementingkan semangat juang yang tak kenal kompromi. Bersamaan dengan itu, PKI-Aidit harus menunjukkan semangat revolusionernya di panggung politik internasional. Sebab proses pematangan situasi di dalam negeri harus dikaitkan dengan irama gerakan proletar sedunia - yang pada pertengahan tahun 1960-an mulai terpecah ke dalam kubu Soviet dan kubu Cina. Itulah sebabnya D.N. Aidit sebagai wakil ketua MPRS dan ketua partai harus membuktikan bahwa PKI adalah salah satu bentuk perjuangan negara dalam negara. Sebab bagaimanapun juga, perjuangan menuJu masyarakat proletar dan masyarakat tanpa kelas di Indonesia mengharuskan adanya perkaitan dengan tujuan umum gerakan komunisme internasional: runtuhnya kapitalisme dan imperialisme internasional. Bahkan persaingan Soviet-RRC dalam bidang ideologi dimanfaatkan Aidit untuk menegaskan bahwa di Indonesia ada "jalan khas" yang menerapkan Marxisme-Leninisme secara kongkrit. Jalan khas ini pula yang dipakai untuk memukul Chaerul Saleh dan Adam Malik yang waktu itu, menawarkan Murbaisme sebagai alternatif jalan perjuangan sosialis. Corsino memperinci bagaimana PKI-Aidit menghadapi berbagai tahap perjuangan membina citra sebagai kekuatan nasional yang setaraf dengan kekuatan pemerintahan negara. Komponen politik luar negeri PKI yang ingin dibedakan dari politik luar negeri Pemerintah Indonesia digambarkannya melalui empat persoalan pokok: anti Amerika, NEFO lawan OLDEFO, dukungan terhadap politik konfrontasi melawan Malaysia, dan poros Jakarta-Beijing. Adalah menarik untuk diingatkan bahwa Presiden Sukarno dan PKI-Aidit amat berkepentingan membedakan politik luar negeri Indonesia yang "anti-imperialis" dari politik gerakan non-blok, waktu itu dipimpin Nehru dan Tito, yang lebih menekankan "ko-eksistensi secara damai". Bahasan Corsino mengenai aspek lain mulai dari pertentangan PKI melawan TNI Angkatan Darat, Nahdlatul Ulama, serta kekuatan-kekuatan politik lainnya di Indonesia periode 1959-1965 akan menggugah banyak kenangan bagi mereka yang mengalami masa sebelum prahara. Akhirnya semua uraian itu menandakan bahwa dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik, kekuatan tradisi dan budaya tetap harus diperhitungkan. Ideologi revolusi amat sukar memanipulasi simbol-simbol tradisional. Sebaliknya simbolisme tradisi acapkali membuktikan bisa mengandaskan revolusi (1926, 1948, dan 1965). Kecuali bagan dan rumus kategorisasi ilmu sosial a la Amerika yang mejengkelkan itu, karya Corsino ini patut dipakai dalam perkuliahan politik luar negeri Indonesia. Juwono Sudarsono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus