Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mereka Yang Di Bawah Sana

Gambaran tentang buruh wanita di Indonesia. (pdk)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARTINI tak cuma di atas. Dia juga di bawah. Tanpa glamor. Dan dengan kepedihan. Niar, misalnya. Wanita kelahiran Lampung yang tamat STM ini bekerja di sebuah pabrik tekstil di Bandung. Ia terkenal lincah dan pandai bergaul di kalangan buruh-buruh wanita lainnya yang umumnya berpendidikan SD dan SLTP. Tak dapat tidak karena itu ia menonjol di kalangan rekan-rekannya dan menjadi tempat mengadukan nasib - tapi sekaligus dianggap berbahaya oleh pihak majikan. Niar memang suka menampung pengaduan kawan sekerjanya. Pimpinan pabrik mencari akal: ia ditawari menjadi kepala regu asal ia rajin melaporkan siapa saja yang bekerja sambil mengantuk. Niar menolak. Ia tahu persis bekerja malam tanpa makanan ekstra bisa membuat mengantuk. Justru Niar mengusulkan ada makanan ekstra untuk pekerja malam. Pimpinan pabrik mencoba sekali lagi. Kali ini ditawari menjadi tenaga staf administrasi, asal ia tak banyak bicara. Bahkan atasan yang lain menawari lain lagi: diangkat sebagai karyawan staf, asal Niar mau dianggap sebagai "adik". Niar tetap menolak - apalagi karena "adik" berarti istri kedua atau ketiga atau istri simpanan. Hari pahit itu pun datang. Sahabatnya di pabrik tanpa suatu sebab tiba-tiba memaki dan menampar Niar. Perkelahian terjadi. Direksi memecat keduanya. Tapi seminggu kemudian, buruh yang menampar Niar itu dikawini ketua Basis Serikat Buruh setempat - dan kembali kerja. Niar tetap diberhentikan dengan dua bulan pesangon. Kisah nyata ini, hanya satu contoh dari berbagai kisah sedih tentang buruh wanita yang ditemui tim peneliti Lembaga Studi Pembangunan (LSP), bersama Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBHWK), FBSI dan Yayasan Ford - Desember tahun lalu. Menurut Direktur LSP, Adi Sasono, ada 5 kelompok peneliti yang disebarkan, masing-masing di Jakarta/Bogor (bidang elektronik), Semaran/Kudus (rokok), Bandung/Majalaya (tekstil), Yogya/Solo (Batik) dan Surabaya/Malang (industri makanan dan minuman). Hasil penelitian LSP yang sengaja mencari pabri yang sebagian besar buruhnya wanita ini, kini sedang diolah. "Bersama FBSI, kami ingin memberikan rekomendasi, kebijaksanaan apakah yang bisa disarankan untuk melindungi buruh wanita," kata Adi Sasono. Dari penelitian itu terlihat "ada kecenderungan beberapa perusahaan lebih menyukai buruh wanita," kata Adi Sasono. Alasannya, gaji buruh wanita lebih rendah, tidak suka memprotes dan tak menuntut perbaikan nasib. Gambaran keseluruhannya memang tak cerah. Tak seorang pun atau satu pihak pun yang membela nasib Niar. Bahkan FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) yang semestinya bersuara, tak banyak dikenal. Dari 15 pabrik di 9 kota yang diteliti, 80% buruhnya tak mengenal apa itu FBSI. "Tetapi bila ditanyakan perlunya lembaga yang dapat membantu buruh, hampir semua menjawab perlu" kata laporan penelitian itu. Buruh wanita dianggap bekerja untuk dirinya sendiri, tanpa tanggungan. Karena itu upah rata-rata mereka tak jauh dari upah standar minimum. Di sebuah pabrik makanan di Semarang, upah buruh wanita malahan cuma Rp 500 sehari dengan tujuh jam kerja, sedangkan standar minimum sektoral di sana Rp 525. Tidak ada makan siang, tidak ada uang transpor, sementara lokasi pabrik sekitar 15 km dari rumah buruh-buruh itu. Nursiyam (nama samaran) menuturkan jika ia pulang pergi naik kendaraan, ia harus mengeluarkan uang transpor Rp 200 sehari Ditambah pengeluaran Rp 100 untuk ma kan siang (kadang-kadang singkong rebus). Jadi ia cuma membawa uang Rp 200 sehari. Buruh wanita di perusahaan itu langsung dipecat tanpa peringatan lebih dulu, jika ketahuan makan ceceran bahan makanan hasil pabrik, walaupun sisa itu tak bisa dijual. Di Malang, di pabrik makanan, upah buruh wanita rata-rata Rp 3.000 s/d. Rp 7.000 seminggu - sedangkan buruh pria menerima rata-rata Rp 9.000 s/d. Rp 50.000 seminggu di perusahaan yang sama. Perbedaan upah di antara sesama buruh wanita ditentukan oleh jenis pekerjaannya. Anehnya, kata hasil laporan tim peneliti LSP, buruh wanita yang diperlakukan tak wajar itu menerimanya dengan wajar. "Malah ia tetap merasa beruntung mendapatkan pekerjaan," simpul tim itu. "Untung tidak dipecat", kalimat ini populer di kalangan buruh wanita di hampir semua pabrik. Jika mereka haid dan perlu istirahat sehari dua hari, begitu masuk kerja beruntung jika tempatnya tidak diambil-alih buruh baru. Upah mereka selama-tak masuk tentu saja tak dibayar. "Hanya 2% dari sekitar 6.000 buruh wanita dari berbagai perusahaan yang diteliti tahu adanya hak cuti haid," kesimpulan penelitian LSP. Hak cuti hamil/melahirkan pun banyak yang tak tahu dan karenanya tak pernah dipakai. Melahirkan berarti pemutusan hubungan kerja. Jika sang bayi sudah bisa ditinggal di rumah, ibunya boleh ke pabrik: diterima atau tidaknya tergantung lowongan saat itu. Di Jakarta masih lebih baik. Buruh yang sakit masih bisa berobat ke dokter perusahaan, walaupun seperti yang diakui seorang buruh, "obatnya antalgin melulu ...." Buruh wanita itu kebanyakan berusia 16-20 tahun (36,53%) dan 20-25 tahun (30,22%). Buruh wanita yang diteliti oleh LSP umumnya tak ada yang berpikir soal hak-hak buruh, perjanjian kerja, masalah kesehatan, hak cuti. Bahkan tak banyak menuntut upah. Yang penting kerja. Karena statusnya sebagai penganggur, di beberapa daerah juga mempersulit mencari jodoh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus