KARTINI tak cuma di atas. Dia juga di bawah. Tanpa glamor. Dan dengan kepedihan.
Niar, misalnya. Wanita kelahiran Lampung yang tamat STM ini
bekerja di sebuah pabrik tekstil di Bandung. Ia terkenal lincah
dan pandai bergaul di kalangan buruh-buruh wanita lainnya yang
umumnya berpendidikan SD dan SLTP. Tak dapat tidak karena itu ia
menonjol di kalangan rekan-rekannya dan menjadi tempat
mengadukan nasib - tapi sekaligus dianggap berbahaya oleh pihak
majikan.
Niar memang suka menampung pengaduan kawan sekerjanya. Pimpinan
pabrik mencari akal: ia ditawari menjadi kepala regu asal ia
rajin melaporkan siapa saja yang bekerja sambil mengantuk. Niar
menolak. Ia tahu persis bekerja malam tanpa makanan ekstra bisa
membuat mengantuk. Justru Niar mengusulkan ada makanan ekstra
untuk pekerja malam.
Pimpinan pabrik mencoba sekali lagi. Kali ini ditawari menjadi
tenaga staf administrasi, asal ia tak banyak bicara. Bahkan
atasan yang lain menawari lain lagi: diangkat sebagai karyawan
staf, asal Niar mau dianggap sebagai "adik". Niar tetap menolak
- apalagi karena "adik" berarti istri kedua atau ketiga atau
istri simpanan.
Hari pahit itu pun datang. Sahabatnya di pabrik tanpa suatu
sebab tiba-tiba memaki dan menampar Niar. Perkelahian terjadi.
Direksi memecat keduanya. Tapi seminggu kemudian, buruh yang
menampar Niar itu dikawini ketua Basis Serikat Buruh setempat -
dan kembali kerja. Niar tetap diberhentikan dengan dua bulan
pesangon.
Kisah nyata ini, hanya satu contoh dari berbagai kisah sedih
tentang buruh wanita yang ditemui tim peneliti Lembaga Studi
Pembangunan (LSP), bersama Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum
untuk Wanita dan Keluarga (LKBHWK), FBSI dan Yayasan Ford -
Desember tahun lalu.
Menurut Direktur LSP, Adi Sasono, ada 5 kelompok peneliti yang
disebarkan, masing-masing di Jakarta/Bogor (bidang elektronik),
Semaran/Kudus (rokok), Bandung/Majalaya (tekstil), Yogya/Solo
(Batik) dan Surabaya/Malang (industri makanan dan minuman).
Hasil penelitian LSP yang sengaja mencari pabri yang sebagian
besar buruhnya wanita ini, kini sedang diolah. "Bersama FBSI,
kami ingin memberikan rekomendasi, kebijaksanaan apakah yang
bisa disarankan untuk melindungi buruh wanita," kata Adi Sasono.
Dari penelitian itu terlihat "ada kecenderungan beberapa
perusahaan lebih menyukai buruh wanita," kata Adi Sasono.
Alasannya, gaji buruh wanita lebih rendah, tidak suka memprotes
dan tak menuntut perbaikan nasib. Gambaran keseluruhannya memang
tak cerah. Tak seorang pun atau satu pihak pun yang membela
nasib Niar. Bahkan FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) yang
semestinya bersuara, tak banyak dikenal.
Dari 15 pabrik di 9 kota yang diteliti, 80% buruhnya tak
mengenal apa itu FBSI. "Tetapi bila ditanyakan perlunya lembaga
yang dapat membantu buruh, hampir semua menjawab perlu" kata
laporan penelitian itu.
Buruh wanita dianggap bekerja untuk dirinya sendiri, tanpa
tanggungan. Karena itu upah rata-rata mereka tak jauh dari upah
standar minimum. Di sebuah pabrik makanan di Semarang, upah
buruh wanita malahan cuma Rp 500 sehari dengan tujuh jam kerja,
sedangkan standar minimum sektoral di sana Rp 525. Tidak ada
makan siang, tidak ada uang transpor, sementara lokasi pabrik
sekitar 15 km dari rumah buruh-buruh itu.
Nursiyam (nama samaran) menuturkan jika ia pulang pergi naik
kendaraan, ia harus mengeluarkan uang transpor Rp 200 sehari
Ditambah pengeluaran Rp 100 untuk ma kan siang (kadang-kadang
singkong rebus). Jadi ia cuma membawa uang Rp 200 sehari.
Buruh wanita di perusahaan itu langsung dipecat tanpa peringatan
lebih dulu, jika ketahuan makan ceceran bahan makanan hasil
pabrik, walaupun sisa itu tak bisa dijual.
Di Malang, di pabrik makanan, upah buruh wanita rata-rata Rp
3.000 s/d. Rp 7.000 seminggu - sedangkan buruh pria menerima
rata-rata Rp 9.000 s/d. Rp 50.000 seminggu di perusahaan yang
sama. Perbedaan upah di antara sesama buruh wanita ditentukan
oleh jenis pekerjaannya.
Anehnya, kata hasil laporan tim peneliti LSP, buruh wanita yang
diperlakukan tak wajar itu menerimanya dengan wajar. "Malah ia
tetap merasa beruntung mendapatkan pekerjaan," simpul tim itu.
"Untung tidak dipecat", kalimat ini populer di kalangan buruh
wanita di hampir semua pabrik. Jika mereka haid dan perlu
istirahat sehari dua hari, begitu masuk kerja beruntung jika
tempatnya tidak diambil-alih buruh baru. Upah mereka selama-tak
masuk tentu saja tak dibayar. "Hanya 2% dari sekitar 6.000 buruh
wanita dari berbagai perusahaan yang diteliti tahu adanya hak
cuti haid," kesimpulan penelitian LSP.
Hak cuti hamil/melahirkan pun banyak yang tak tahu dan karenanya
tak pernah dipakai. Melahirkan berarti pemutusan hubungan kerja.
Jika sang bayi sudah bisa ditinggal di rumah, ibunya boleh ke
pabrik: diterima atau tidaknya tergantung lowongan saat itu.
Di Jakarta masih lebih baik. Buruh yang sakit masih bisa berobat
ke dokter perusahaan, walaupun seperti yang diakui seorang
buruh, "obatnya antalgin melulu ...."
Buruh wanita itu kebanyakan berusia 16-20 tahun (36,53%) dan
20-25 tahun (30,22%).
Buruh wanita yang diteliti oleh LSP umumnya tak ada yang
berpikir soal hak-hak buruh, perjanjian kerja, masalah
kesehatan, hak cuti. Bahkan tak banyak menuntut upah. Yang
penting kerja. Karena statusnya sebagai penganggur, di beberapa
daerah juga mempersulit mencari jodoh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini