BUNG Hatta seorang idealis tulen. Jauh semasa ia masih inlander,
mahasiswa negara jajahan yang belajar di 'negeri induk'
Nederland itu sudah bermimpi tentang kemerdekaan. Perjuangan
kemerdekaan adalah panggilan hidupnya, tanpa memperhitungkan
suatu kali akan 'tertinggal kereta api' oleh teman-temannya yang
hanya memikirkan karir pribadi. Juga menjadi seorang pemimpi
demokrasi, ketika masyarakat membiarkan konstitusi diinjak-injak
teman sejawatnya, sesama ploklamator Bung Karno. Bahkan lebih
jauh bersedia mengundurkan diri dari jabatan nomor dua di
republik ini, sebagai wakil presiden, ketika ia melihat
demokrasi disalahi secara mendasar. Mengidealisasikan
kemerdekaan di kala kaum penjajah sedang berada di puncak
kekuasaan, dan menolak menerima tindakan menginjak-injak
demokrasi, hanya mungkin diperbuat seorang idealis tulen. Namun,
kedua tindakan di atas ternyata masih jauh lebih sehat dan masuk
akal ketimbang impian idealistiknya yang satu lagi: membangun
ekonomi yang bersendikan koperasi di bumi Nusantara. Atau,
menggunakan ungkapan zaman sekarang, menJadikan koperasi
sokoguru perekonomian nasional.
Orang lain, yang tidak memahami sepenuhnya implikasi
impiantersebut, bersorak-sorai mendukungnya - sambil tetap saja
tidak tahu apa yang harus dilakukan. Para ekonom yang nengerti
Implikasi semua memicingkan mata dan mengernyitkan dahi
Mustahil, sama sekali tidak berdasar kenyataan. Namun impian
seorang ko-proklamator tidak bisa dikesampingkan begitu saja
apalagi terang-terangan dilawan. Apalagi ia berhasil
mengumpulkan dukungan kongkrit, hingga undang-undang dasar
negeri mengakui tumpuan harapannya sebagai salah satu sektor
utama perekonomian nasional. Tidak bisa dilawan, koperasi harus
diteima sebagai kenyataan konstitusional, di samping sektor
usaha swasta dan sektor umum (perusahaan negara).
Tetapi para ahli memang pandai melawan. Cukup dengan strategi
sederhana saja: biarkan rumusan UUD 1945 itu tetap ditulis di
atas kertas, tanpa pelaksanaan berarti. Jangan terlalu serius
ditangani, cukup sikap seperti itu, sisanya serahkan saja pada
'mekanisme perekonomian'. Bangsa yang belum siap berkoperasi toh
tidak akan mampu mengembangkannya di hadapan perusahaan negara.
Itu dulu, di zaman Orde Lama.
Sekarang lain lagi. Biarkan saja mati di hadapan persaingan
sektor swasta yang ditopang masuknya modal asing melalui
perusahaan patungan dan perusahaan multinasional. Mati tenang,
mati wajar karena proses 'seleksi alamiah'. Untuk pemanis,
biarkan saja sekian persen anggaran negara 'dihadiahkan' kepada
sektor koperasi. Biar terus-menerus mencoba pelbagai proyek
rintisan. Lama-kelamaan akan bosan sendiri. Malah lebih baik
lagi, karena tenaga-tenaga perintis di sektor itu akan berpindah
ke sektor-sektor lain, sudah tertempa oleh pengalaman pahit dan
menjadi tenaga yang tahan uji. Bibit unggul untuk sektor usaha
swasta. Dalam bahasa klasik, koperasi akan mengalami
'perkembangan yang terhenti' (arrested development).
Ternyata perkembangannya menjadi lain. Kini omset koperasi sudah
terbilang trilyunan rupiah. Itu pun ketika yang mengurusi masih
sebuah direktorat jenderal yang dipindahkan kian ke mari dari
satu ke lain departemen. Dan diawasi sambil diarahkan secara
konsepsional oleh lembaga aneh bernama menteri muda. Sekarang
sudah menjadi departemen penuh, dengan menteri betul-betul
penuh. Tuntutan keseimbangan dan pemerataan akan muncul dari
departemen ini. Setidak-tidaknya rencana pengembangan akan
berskala besar guna memungkinkan sektor koperasi memperoleh
bagian lebih besar lagi dari 'kue pembangunan nasional', untuk
meminjam istilah sebuah mafia ekonomi.
Di sinilah sebenarnya masalah paling besar baru muncul bagi
koperasi. Mampukah ia merebut tempat sama besar dengan
sektor-sektor lain? Bisakah ia melepaskan diri dari 'tahap
rintisan' dan tahap 'perkembangan dini' yang dijalaninya?
Idealisme kemerdekaan Bung Hatta kini telah tercapai.
Idealismenya tentang demokrasi akan tercapai suatu ketika nanti.
Bagaimana dengan impiannya tentang koperasi, yang menyebabkannya
memperoleh gelar 'bapak koperasi'? Mampukah koperasi beranjak
dari kedudukan utopia belaka?
Kalau mampu, itu berarti penghentian kecenderungan manusia
Indonesia untuk semakin menampakkan sifat binatang ekonomis.
Kalau gagal, berarti hancurnya sebuah impian luhur, dan
terbenturnya kita pada kenyataan tidak adanya jalan lain dari
menjadi bmatang tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini