Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Koperasi, sudah beranjak dari utopia

Bung hatta dengan idenya ingin membangun ekonomi yang menjadikan koperasi sebagai sokoguru. para ahli ekonomi melawan dengan strategi sederhana. biarkan rumusan tertulis di atas kertas, tanpa pelaksanaan berarti.

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNG Hatta seorang idealis tulen. Jauh semasa ia masih inlander, mahasiswa negara jajahan yang belajar di 'negeri induk' Nederland itu sudah bermimpi tentang kemerdekaan. Perjuangan kemerdekaan adalah panggilan hidupnya, tanpa memperhitungkan suatu kali akan 'tertinggal kereta api' oleh teman-temannya yang hanya memikirkan karir pribadi. Juga menjadi seorang pemimpi demokrasi, ketika masyarakat membiarkan konstitusi diinjak-injak teman sejawatnya, sesama ploklamator Bung Karno. Bahkan lebih jauh bersedia mengundurkan diri dari jabatan nomor dua di republik ini, sebagai wakil presiden, ketika ia melihat demokrasi disalahi secara mendasar. Mengidealisasikan kemerdekaan di kala kaum penjajah sedang berada di puncak kekuasaan, dan menolak menerima tindakan menginjak-injak demokrasi, hanya mungkin diperbuat seorang idealis tulen. Namun, kedua tindakan di atas ternyata masih jauh lebih sehat dan masuk akal ketimbang impian idealistiknya yang satu lagi: membangun ekonomi yang bersendikan koperasi di bumi Nusantara. Atau, menggunakan ungkapan zaman sekarang, menJadikan koperasi sokoguru perekonomian nasional. Orang lain, yang tidak memahami sepenuhnya implikasi impiantersebut, bersorak-sorai mendukungnya - sambil tetap saja tidak tahu apa yang harus dilakukan. Para ekonom yang nengerti Implikasi semua memicingkan mata dan mengernyitkan dahi Mustahil, sama sekali tidak berdasar kenyataan. Namun impian seorang ko-proklamator tidak bisa dikesampingkan begitu saja apalagi terang-terangan dilawan. Apalagi ia berhasil mengumpulkan dukungan kongkrit, hingga undang-undang dasar negeri mengakui tumpuan harapannya sebagai salah satu sektor utama perekonomian nasional. Tidak bisa dilawan, koperasi harus diteima sebagai kenyataan konstitusional, di samping sektor usaha swasta dan sektor umum (perusahaan negara). Tetapi para ahli memang pandai melawan. Cukup dengan strategi sederhana saja: biarkan rumusan UUD 1945 itu tetap ditulis di atas kertas, tanpa pelaksanaan berarti. Jangan terlalu serius ditangani, cukup sikap seperti itu, sisanya serahkan saja pada 'mekanisme perekonomian'. Bangsa yang belum siap berkoperasi toh tidak akan mampu mengembangkannya di hadapan perusahaan negara. Itu dulu, di zaman Orde Lama. Sekarang lain lagi. Biarkan saja mati di hadapan persaingan sektor swasta yang ditopang masuknya modal asing melalui perusahaan patungan dan perusahaan multinasional. Mati tenang, mati wajar karena proses 'seleksi alamiah'. Untuk pemanis, biarkan saja sekian persen anggaran negara 'dihadiahkan' kepada sektor koperasi. Biar terus-menerus mencoba pelbagai proyek rintisan. Lama-kelamaan akan bosan sendiri. Malah lebih baik lagi, karena tenaga-tenaga perintis di sektor itu akan berpindah ke sektor-sektor lain, sudah tertempa oleh pengalaman pahit dan menjadi tenaga yang tahan uji. Bibit unggul untuk sektor usaha swasta. Dalam bahasa klasik, koperasi akan mengalami 'perkembangan yang terhenti' (arrested development). Ternyata perkembangannya menjadi lain. Kini omset koperasi sudah terbilang trilyunan rupiah. Itu pun ketika yang mengurusi masih sebuah direktorat jenderal yang dipindahkan kian ke mari dari satu ke lain departemen. Dan diawasi sambil diarahkan secara konsepsional oleh lembaga aneh bernama menteri muda. Sekarang sudah menjadi departemen penuh, dengan menteri betul-betul penuh. Tuntutan keseimbangan dan pemerataan akan muncul dari departemen ini. Setidak-tidaknya rencana pengembangan akan berskala besar guna memungkinkan sektor koperasi memperoleh bagian lebih besar lagi dari 'kue pembangunan nasional', untuk meminjam istilah sebuah mafia ekonomi. Di sinilah sebenarnya masalah paling besar baru muncul bagi koperasi. Mampukah ia merebut tempat sama besar dengan sektor-sektor lain? Bisakah ia melepaskan diri dari 'tahap rintisan' dan tahap 'perkembangan dini' yang dijalaninya? Idealisme kemerdekaan Bung Hatta kini telah tercapai. Idealismenya tentang demokrasi akan tercapai suatu ketika nanti. Bagaimana dengan impiannya tentang koperasi, yang menyebabkannya memperoleh gelar 'bapak koperasi'? Mampukah koperasi beranjak dari kedudukan utopia belaka? Kalau mampu, itu berarti penghentian kecenderungan manusia Indonesia untuk semakin menampakkan sifat binatang ekonomis. Kalau gagal, berarti hancurnya sebuah impian luhur, dan terbenturnya kita pada kenyataan tidak adanya jalan lain dari menjadi bmatang tadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus