Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ketika Listrik Padam

WENDOKO menulis puisi dan cerita. Karya-karyanya tersiar di sejumlah media massa.

10 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Imam Yunni/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA LISTRIK PADAM
Wendoko 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA-TIBA lampu padam. Tidak hanya lampu di ruang makan, tempat Nita–perempuan kecil berumur sembilan tahun dan berambut kepang itu–duduk menggarap PR matematika. Tapi semua lampu di dalam rumah padam. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa saat Nita terdiam. Lalu, pelan-pelan, dengan bantuan cahaya samar dari genting kaca di atap dapur, matanya mulai menyesuaikan dengan suasana gelap itu. Lamat-lamat dia melihat bentuk meja, kursi, dinding, dan meja pantri–karena ruang makan ini tersambung dengan dapur. Nita bertanya-tanya, sekarang listrik yang padam atau hanya saklar di meteran listrik yang turun? 

Nita bangkit. Pelan-pelan, sambil meraba-raba dan menggeser kaki di lantai agar tak tersandung, dia berjalan ke ruang depan. Dia berjalan beberapa meter. Begitu tiba di pintu yang menghubungkan ke ruang depan, lewat kisi-kisi lubang udara, dia tahu tak ada yang salah pada meteran listrik. Di luar gelap. Tak kelihatan cahaya lampu. 

Nita mendengus. Berarti, dalam minggu ini, sudah dua kali listrik padam. 

Nita lalu berbalik. Dia berjalan lagi, sambil meraba-raba dan menggeser kaki. Aku harus menyalakan lilin, batinnya. Dia tiba di dapur dan membuka rak di atas meja pantri, dengan menggeser penutup kaca, lalu mengeluarkan lilin dan pemantik api. 

Nita menyalakan satu lilin di dapur dan dua lilin di meja makan. 

Setelah menyalakan lilin, dia duduk di depan meja makan. Buku pelajaran matematika dan buku tulisnya masih terbuka di meja itu. Apa aku mesti lanjut menggarap PR matematika, batinnya? Atau masuk ke kamar tidur dengan membawa lilin dan menunggu sampai lampu menyala? Nita ragu. Sejenak dia berpikir-pikir. Tapi kalau listrik padam, itu bisa sebentar, bisa satu jam, atau lebih. Bahkan sebulan lalu, listrik padam sampai beberapa jam–sejak malam sampai menjelang subuh. Padahal PR matematika ini belum selesai dan besok harus dikumpulkan di kelas.  

Akhirnya Nita memutuskan lanjut menggarap PR matematika. Tapi dua lilin di meja makan tak cukup terang. Dia lalu menyalakan lilin ketiga.
 

***

SETENGAH jam kemudian, PR matematika selesai. Nita merapikan meja dan memasukkan pensil, penghapus, buku pelajaran matematika, dan buku tulisnya ke dalam tas. Dia membuka tutup penanak nasi di sudut kanan meja. Nasi sudah matang sejak tadi dan masih hangat. Sekarang tinggal menunggu Ibu pulang dan makan malam. 

Tapi Ibu belum pulang. 

Kakak laki-lakinya belum pulang. 

Ayah? Sudah dua minggu ini Ayah tidak pulang. 

Nita lalu duduk di kursi bersandaran miring di samping meja makan. Malam ini dia sangat sedih, karena–ketika listrik padam–dia hanya sendiri di rumah. Nita memandang ke sekitarnya. Rumah ini besar, berlantai dua, dan semua penutup jendela dari papan kayu–dan karena itu sangat gelap ketika listrik padam. Ruang makan ini sebetulnya lorong yang menghubungkan ruang depan ke tangga kayu di samping dapur. Ada dua kamar di seberang lorong. Kamar yang lebih besar adalah kamarnya bersama Kakak. Kamar yang lebih kecil digunakan oleh Ayah. Di loteng, ada satu kamar bersekat papan dan biasa digunakan Ibu. 

Loteng itu berlantai papan kayu. Jika seseorang berjalan di loteng, suaranya bisa didengar dari bawah. Bahkan suara langkah kucing tetangga, yang kadang menyelinap ke rumah ini, bisa didengar waktu malam. 

Pandangan Nita terhenti pada cahaya lilin yang menciptakan bayang-bayang bergerak di dinding. 

Tadi siang, setelah jam dua, Ibu pergi. Ibu tidak bilang apa-apa. Nita juga tidak bertanya, karena Ibu tidak suka dia banyak bertanya. Biasanya Ibu pergi mengajar, sekaligus menjaga, anak-anak seorang kenalan Ibu. Dan biasanya Ibu akan pulang sebelum petang, atau paling telat sebelum gelap. Tapi sekarang? 

Nita menengok ke jam dinding di atas meja makan. Hampir pukul 19.30. 

Tadi siang, tak lama sepulang dari sekolah, dia melihat Kakak–yang tiga tahun lebih tua darinya–bertengkar dengan Ibu. Nita tak tahu apa yang mereka ributkan. Dia tak mendengar dengan jelas. Dia hanya tahu Ibu membentak Kakak. Kakak membalas dengan sama kerasnya dan Ibu lebih keras lagi. Lalu Kakak pergi. 

Pertengkaran itu adalah pertengkaran kedua dalam dua minggu ini. Sebelumnya Ayah dan Ibu bertengkar hebat. Mereka saling memaki. Lalu piring atau gelas dibanting ke lantai. Nita menangis. Malam itu dia hampir tak mendengar apa-apa. Sekujur tubuhnya menggigil karena suara gaduh itu. Lalu Ayah mengangkat kursi bersandaran miring–kursi yang didudukinya sekarang–dan seperti mau dilempar pada Ibu. Nita dan Kakak menjerit. 

Ayah tak jadi melempar kursi itu. 

Esok pagi, Ayah berkata pada Nita bahwa dia akan pergi. Nita menangis dan meminta Ayah jangan pergi. Tapi sepulang dari sekolah, Ayah sudah tidak ada. 

Nita duduk sambil memeluk lutut. 

Ayah dan Ibu memang kerap bertengkar, sejak dulu. Nita tak pernah jelas apa yang mereka pertengkarkan karena dia menutup telinga rapat-rapat waktu Ayah dan Ibu bertengkar. Suara bentakan dan makian selalu membuatnya takut. Tapi, seingat Nita, mereka tak pernah bertengkar begitu sengit seperti malam itu. Dia tidak tahu kenapa,. Tapi dia tahu, sejak Ayah tidak bekerja, kedua orang tuanya lebih sering bertengkar. Kira-kira tiga bulan yang lalu, mungkin lebih, Ayah tidak lagi membantu Kakek–dan karena itu lebih sering di rumah. Malam itu, lewat pertengkaran Ayah dan Ibu, dia menangkap potongan-potongan kalimat yang memaksa masuk ke telinganya dan lalu dirangkainya sendiri. Ayah, yang ketika itu bekerja sebagai penjaja keliling di usaha dagang milik Kakek, ketahuan telah menggelapkan uang. Karena itu Kakek marah dan mengusir Ayah. 

Tentu, Nita senang karena Ayah punya banyak waktu di rumah. Tapi Ibu marah. Kata Ibu, Ayah hanya diam dan tak berbuat apa-apa. 

Tiba-tiba Nita teringat Lia, teman akrabnya. Lia juga teman sekelasnya di sekolah. Lia tinggal di gang lain, tak jauh dari rumah ini. Nita berpikir, apa yang dilakukan Lia malam ini–ketika listrik padam? Apakah Lia sudah tidur dengan ditemani ayah dan ibunya? Atau Lia sedang menggarap PR matematika, ditemani oleh ayahnya? 

Sepanjang yang dia tahu, kedua orang tua Lia tidak bertengkar. Nita tahu karena dia kerap bermain ke rumah Lia. Padahal ayah Lia juga tidak bekerja.


***

NITA tersentak. Dia melihat lilin-lilin di meja makan memendek. Bagaimana jika lilin-lilin itu padam, batinnya, sementara lampu belum menyala? Sudah tidak ada lilin di rak dapur. Tinggal empat lilin itu, yang sebetulnya hanya potongan-potongan lilin. 

Sekarang hampir pukul 20.00. 

Satu lilin di meja makan padam. 

Saat ini Nita betul-betul kangen pada Ayah. Dia ingin bertemu Ayah. Hanya Ayah yang paling sayang padanya di rumah ini. Ayah selalu menjaga Nita. Berbeda dengan Ibu yang gampang marah dan ringan tangan main pukul. Ayah selalu membela ketika Ibu memarahi, apalagi sampai memukul Nita. Mereka pernah bertengkar gara-gara soal itu. Dan karena itu Ibu tak pernah memarahi atau memukul Nita ketika Ayah di rumah. 

Sebetulnya Ayah juga galak, dan sering memukul Kakak, terutama waktu Kakak mengganggu Nita sampai menangis. 

Kadang Nita merasa Ibu tidak sayang padanya. Ibu lebih sayang Kakak, karena Kakak lebih pintar di sekolah. Tapi Ibu juga ringan tangan memukul Kakak. Berbeda dengan Nita yang lebih pendiam, Kakak suka memberontak. 

Tapi apa benar Ibu tidak sayang padanya? Atau tidak sayang pada Kakak, atau Ayah? Nita tahu, sejak Ayah "hanya diam" di rumah, Ibu yang bekerja. Bahkan ketika Ayah masih bekerja, Ibu juga bekerja sambil mengurus rumah. 

Saat ini sebetulnya Nita juga merasa takut. Dia hanya sendiri di rumah dan duduk di tengah redup cahaya lilin. Lalu dia teringat Kakak pernah berkata bahwa dia tak perlu takut. Tidak ada yang perlu ditakuti di rumah ini. Tidak ada yang namanya hantu atau semacam itu. Betul-betul tidak ada! Paling-paling hanya ada pencuri. Tapi jika semua jendela ditutup dan pintu depan dikunci, tidak ada yang perlu ditakuti lagi. Apalagi kita tinggal di gang kecil yang padat, lanjut Kakak, di mana rumah-rumah berdempet dan orang berlalu-lalang. 

Tetapi apakah Kakak tahu, batin Nita, ketika listrik padam, gang di depan rumah sangat sepi? Entah ke mana orang-orang.


***

NITA mulai gelisah. Lilin di dapur padam, sementara dua lilin di meja makan sudah sangat pendek. Bagaimana jika lilin-lilin itu benar-benar padam dan lampu belum juga menyala? 

Lagi, Nita menengok ke jam dinding. Pukul 20.15. 

Lalu dia teringat, dulu Kakak juga pernah berkata, jika dia takut lebih baik berdoa. Nita mulai melipat tangan dan berdoa. 

“Tuhan di surga. Aku mohon agar lampu cepat menyala. Aku takut, Tuhan. Aku hanya sendiri di rumah. Tidak ada Ayah, tidak ada Kakak, tidak ada Ibu. Aku mohon agar Ibu cepat pulang, Kakak cepat pulang, dan Ayah juga pulang. Aku takut, Tuhan. Aku sayang pada Ibu, pada Kakak, dan Ayah….” 

Begitu membuka mata, lagi-lagi Nita tersentak. Dua lilin di meja makan–yang hampir padam dan mulai lumer–tiba-tiba menyala terang. Tidak seterang lampu, tapi lebih terang dibanding empat lilin yang menyala. Dia bisa melihat bentuk meja makan dengan lebih jelas, berikut kaleng biskuit, tiga cangkir, dan penanak nasi di sudut kanan. Dia juga melihat dua kamar di seberang meja makan, berikut dinding penyekat berupa papan berwarna cokelat. Bahkan dia bisa melihat pintu ke arah ruang depan dan tangga di samping dapur. 

Lalu ada ketukan di pintu. 

Nita hampir melompat dari kursi bersandaran miring itu. Apakah itu Ibu, atau Kakak, atau malah Ayah yang pulang? 

Nita berjalan cepat ke ruang depan. Dia tak perlu meraba-raba atau berjalan dengan menggeser kaki lagi. 

Suara ketukan terdengar lagi. 

Tapi Nita terhenyak. Dia berdiri mematung di depan pintu. Ketukan itu–suara ketukan itu aneh! Itu bukan ketukan Ibu, karena Ibu biasa mengetuk dengan keras sambil memanggil nama Kakak atau namanya. Bukan juga ketukan Kakak, karena Kakak juga mengetuk keras tapi tidak memanggil-manggil. Itu juga bukan ketukan Ayah, karena Ayah selalu mengetuk dengan pelan. 

Ketukan itu bahkan lebih pelan daripada ketukan Ayah, dan tidak ada suara memanggil-manggil. 

Apa ada orang datang bertamu? Jika orang itu tamu, biasanya dia akan mengetuk pintu pagar. Bukan langsung masuk dan mengetuk pintu depan. Lagi pula, siapa yang akan bertamu ketika listrik padam? 

Nita masih mematung di depan pintu. Dia merasa bulu kuduknya meremang. 

Suara ketukan terdengar lagi. 

***

WENDOKO menulis puisi dan cerita. Buku cerpennya, Gerimis di Kuta, terbit pada 2018. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus