Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SANG Penantang” itu takluk di tangan seorang hakim wanita.- Andriani Nurdin, hakim di Peng-adilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat sore dua pekan lampau mem-bacakan putusan besar: Darianus- Lungguk Sitorus terbukti bersalah dan divonis delapan tahun penjara dan membayar denda Rp 5 miliar. Suara -Andriani lantang, lalu terhenti se-ben-tar untuk meminta keluar ratus-an pendukung ”Sang Penantang”—begitu panggilan D.L. Sitorus—yang saling ber-te-riak dan memaki, lalu meneruskan sidang yang berlangsung selama -em-pat- jam le-bih. ”Lahan kelapa sawit mi-lik terdak-wa juga disita untuk negara,” -Andriani melanjutkan.
D.L. Sitorus, pria berusia 65 tahun- itu hanya terpaku di tengah ingar-bi-ngar- suporternya. ”Saya merasa t-idak ber-sa-lah dan kecewa dengan putus-an ini,” ujarnya seusai sidang. Si-torus menyatakan banding atas putusan itu. -Kalau kalah ia akan melanjutkan ke kasasi. ”Masih panjang perjuangan saya,” kata tuan tanah di Sumatera Utara dan Riau yang punya puluhan ribu hektare kelapa sawit itu.
Putusan ini sebuah prestasi aparat hu-kum. Sitorus dianggap ”orang kuat” yang selalu bisa lolos dari jerat hukum dalam beberapa kasus penyerobotan -tanah warga yang ia jadikan lahan kelapa sawit. Kasus ini makin menarik karena dakwaan yang dipakai j-aksa baru pertama kali dilakukan: menje-rat pelaku pembalakan liar memakai UU Antikorupsi. Sayang, dakwaan ini -kandas. Walau Sitorus mendapat hu-kum-an, hakim Andriani tak mengguna-kan UU Antikorupsi. Sitorus dianggap -terbukti melanggar UU Kehutanan.
Kasus Sitorus memang terkait dengan lahan kehutanan. Dalam dakwa-an, -De-partemen Kehutanan menuduh Sito-rus telah ”merampok” lahan milik ne-gara- sekitar 80 ribu hektare yang tercatat dalam register 40. Tanah ini ada di kawasan Padang Lawas, Tapanuli -Selatan, Sumatera Utara.
Di kawasan inilah Sitorus mem-bangun kerajaan bisnis kelapa sawitnya. Dengan bendera PT Torganda dan PT Torus Ganda, pria ber-badan tegap ini mulai masuk Padang Lawas pada 1998. Ketika Tempo berkunjung ke sana April, kebun kelapa sawit itu ter-lihat terawat, menghijau, dan segar. Di dalam kebun itu terdapat pabrik kepala sa-wit yang dikelola Koperasi Bukit Ha-rapan. Dalam ”hutan” sawit itu pula terda-pat sekitar 15 ribu pekerja yang meme-tik dan mem-produksi minyak sawit. Setiap hari, sejumlah truk ke-luar-masuk- loka-si perkebunan mengangkut ba-han mi-nyak sawit itu.
Menurut Ketua- Koperasi Bukit Harapan, Jonggi Sito-rus, areal hutan- sawit itu sebelumnya ada-lah tanah adat milik ke-luarga Hasibuan. Warga menye-rahkan lahan ke PT Torgan-da untuk dikelola dalam bentuk- ko-perasi dengan sistem bagi hasil.
Di areal perkebunan yang jauh-nya -ratusan kilometer dari Medan itu, se-tiap anggota koperasi mendapat jatah ta-nah seluas dua hektare. ”Setiap bu-lan me-reka memperoleh uang Rp 500 ribu setelah dipotong biaya operasio-nal,” ujar Jonggi. Hasil kebun sawit mereka setor ke PT Torganda. Koperasi akan mendapat bagian keuntungan dari bisnis sawit yang dijalankan Torganda. ”Nanti setelah 25 tahun atau 30 tahun, tanah itu dikembalikan lagi ke warga,” ujar Jonggi.
Bisnis Sawit Sitorus di Padang Lawas berjalan lancar. Persoalan timbul karena status pemilikan lahan. Dengan tuduhan telah merampas tanah negara, D.L. Sitorus diseret ke meja hijau. Pada akhir Agustus tahun lalu, tim jaksa dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan Ke-jaksaan Agung berhasil me-mak-sa ”godfather” itu meninggalkan tempatnya menginap di suite room Siantar -Hotel untuk diterbangkan ke Jakarta. -Ia langsung dijebloskan ke rumah tahan-an Kejaksaan Agung.
Sejak itulah tim jaksa di bawah pim-pinan M. Jasman Panjaitan memeriksa Sitorus. Sedikitnya 40 saksi diperiksa berkaitan dengan kasus pencaplokan lahan hutan produktif yang dilakukan ”sang penantang” dari Tapanuli itu.
Setelah 25 kali bersidang, vonis ja-tuh namun tidak seperti yang didakwakan jaksa. Jaksa penuntut umum M. Jas-m-an Panjaitan ”menembak” Sitorus d-e-ngan UU Antikorupsi. Adapun pelanggar-an atas UU Kehutanan hanya didak-wa-kan pada dakwaan ketiga dan keem-pat. ”-Sa-lah satu alasannya, undang-undang -kehutanan tidak ada unsur uang peng-ganti,” kata Jasman.
Menurut Jasman, dengan menguasai- lahan negara dan menebangi hutan di- sana, negara telah dirugikan sekitar- Rp 400 miliar. ”Tindakannya jelas m-embuat negara itu rugi,” ujar jaksa. Jasman menuntut Sitorus 12 tahun penjara, de-nda Rp 200 juta, dan membayar ganti rugi negara sekitar Rp 323 miliar.
Tuduhan korupsi tak bisa diterima pengacara Sitorus, Amir Syamsuddin. Menurut pengacara kawakan itu, kategori korupsi didasarkan pada terdapatnya penggunaan dan manipulasi uang negara. Ini tidak terdapat pada kasus -Sitorus. ”Kalau ada pengusaha datang ke sana berinvestasi dan menampung tenaga kerja, apa itu korupsi?” ujarnya.
Unsur korupsi juga tak dilihat majelis hakim dalam perbuatan Sitorus. Me-nurut Andriani Nurdin, Sitorus ha-nya terbukti menduduki secara sengaja kawasan hutan negara tanpa izin. Per-buatan itu, ujar Andriani, menyebabkan rusaknya kawasan serapan air di sana, dan membuat erosi serta banjir. ”Perbuatan terdakwa mengurangi luas hutan tropis Indonesia yang sudah dite-tapkan sebagai paru-paru dunia,” ujar ha-kim. Menurut hakim, itulah unsur yang memperberat ”dosa” Sitorus.
Lolosnya Sitorus dari jerat korupsi -membuat kecewa Direktur- Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan, Darodi. Menurut Darodi, sejak awal pihaknya ingin hakim berani menerapkan Undang-Undang Antikorupsi. ”Itu sekali-gus bisa membuat preseden bagi pelaku illegal logging lainnya karena hu-kum-an dalam undang-undang ini lebih berat,” ujarnya.
”Saya tahu persis yang dilakukan- -Sitorus. Tanah yang diambil itu tanah- -ne-gara, bukan tanah ulayat,” ujar Da-rodi.- Dirjen ini memang pernah bertugas selama 24 tahun di Sumatera Utara. Ia per-nah menjabat Kepala Wilayah Kehu-tanan Sumatera Utara, juga menjadi Ke-pala Kehutanan di Kabupaten Tapanuli.
Kekecewaan yang sama dilontarkan- Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supanji. Ditemui Tempo, Jumat pekan lalu, di kantornya, -Hen-darman menyatakan pihaknya te-tap yakin yang dilakukan Sitorus ada-lah -ko-rupsi. ”Justru tidak adanya unsur nega-ra yang dirugikan itu yang akan kami persoalkan,” ujar jaksa yang juga menjadi Koordinator Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini.
Jasman juga menyatakan keheranannya dengan sikap hakim yang ”menying-kirkan” UU Antikorupsi dalam kasus Sitorus. Menurut dia, seharusnya ma-jelis hakim menerapkan Undang-Undang Antikorupsi sebagai lex specialis- dari Undang-Undang Kehutanan. ”Ka-re-na unsur kerugian untuk negara dalam -kasus ini jelas,” katanya.
Bagaimana tanggapan majelis h-akim? Ditemui Tempo di ruang kerjanya, Kamis pekan lalu, ketua majelis hakim yang mengadili kasus Sitorus, Andriani Nurdin, menyatakan, pihaknya mem-punyai alasan kuat tak memakai UndangUndang Antikorupsi. ”Tak ada unsur ko-rupsi dalam kasus Sitorus; fakta di persidangan menunjukkan itu,” ujar hakim yang juga menjabat Wakil Ketua- Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini. ”Apalagi kerugian negara yang di-sebutkan jaksa sekadar asumsi.”
Menurut Andriani, sejumlah pakar- pi-dana, antara lain Rudi Satrio dan Sujatna Sunusubrata, yang dipanggil se-bagai saksi ahli di persidangan, juga menyatakan yang dilakukan Sitorus bukan tindak korupsi. ”Menurut me-reka, -unsur korupsi dengan menghitung ke-rugian negara harus jelas dan nyata, tidak menggunakan perkiraan.”
Kendati lolos dari Undang-Undang Antikorupsi, bagi Ketua Wahana Lingkungan Hidup Chalid Muhammad, dihukumnya Sitorus bakal berdampak lu-as. Menurut Chalid, putusan hakim sudah memenuhi rasa keadilan masya-rakat. ”Kita harus apresiasi putus-an itu. Setidaknya, ini menunjukkan ke-sung-guhan negara mengungkap illegal logging,” kata Chalid.
L.R. Baskoro, Danto, Agung Wijaya, Hambali Batubara (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo