MEMASUKI usia 80 tahun, seluruh rambutnya kini memutih. Tapi
Haji selalu tampak sehat. Bahkan sejak pagi, setelah
bersembahyang subuh, ia tetap rajin berjalan kaki--walau hanya
dengan mengelilingi rumahnya. Olahraganya yang lain: naik-turun
tangga musholla yang terletak di lantai dua rumahnya.
Kakek dua orang cucu itu adalah Kiai Haji Masjkur, satu-sarunya
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
masih hidup--dan kini dikenal sebagai Wakil Ketua DPR-RK Tentang
PPKI, Kiai Masjkur masih dapat bercerita saat-saat Bung Karno
melohi tokoh-tokoh Islam waktu itu -- termasuk Masjkur sendiri
-- agar menerima Pancasila sebagai dasar negara. "Bung Karno tak
hanya pandai berpidato, tapi juga pintar melohi," kata Kiai
Masjkur. Karena lobi itu pula akhirnya Bung Karno mengucapkan
pidato 1 Juni 1945 yang rerkenal itu. Setelah pidato iru
Pancasila pun diterima oleh semua golongan yang ada dalam PPKI.
Selain berkecimpung dalam kegiatan politik, Masjkur juga
bergerak dalam perjuangan bersenjata. Misalnya dengan membentuk
Barisan Hizbullah (Tentara Tuhan) pada 1943 bersama para tokoh
Islam lainnya seperti KH Wachid Hasjim KH Zainul Arifin, Prawoto
Mangkusasmito. Ia masih ingat, pembentukan laskar yang terdiri
dari para pemuda Islam itu berlangsung di sebuah gedung di
kawasan Menteng yang kini menjadi Kantor Imigrasi Jakarta Pusat.
Ketika itu Masjkur menjadi salah seorang pimpinan Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi) bagian pertahanan. Itulah sebabnya
ia juga menjadi "panglima" laskar Islam tersebut.
Masjkur sendiri juga terjun melatih mcreka, bahkan menjadi
pimpinan Pusat Latihan Kemiliteran di Cibarusa, akarta, pada
1944. Karena pengalamannya dalam perjuangan bersenjata, ia
kemudian terpilih menjadi anggota Dewan Pertahanan Negara
(1946-48) pimpinan Mr. Amir Sjarifuddin.
Untuk memperkuat perjuangan iueliarek Suroboyo menghadapi
Inggris pada November 1945 --kemudian terkenal dengan Hari
Pahlawan--Masjkur membentuk Barisan Sabilillah bersama para
ulama lain seperti KH A. Wahab Chasbullah, KH Bisri Sansuri, KH
Hasjim Asj'ari. "Sabilillah terdiri dari para kiai, untuk
memimpin mengarahkan Hizbullah. Dengan pimpinan para kiai, dalam
pertempuran anak-anak Hizbullah itu jiwanya jadi kuat," kata
Masjkur.
Masjkur dikenal sebagai salah seorang ulama pendiri Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Kaum Ulama) di Surabaya pada 1923. Para
pendiri, sekitar enam orang, kemudian menjadi pimpinau Cabang
atau wilayah di tempat tinggal masing-masing. "Saya menjadi
Ketua Cabang NU di Malang," katanya. Dari sini ia meroket
sebagai salah seorang anggota staf Pengurus Besar NU. Dalam
kedudukan ini ia sempat melakukan peranan cukup penting.
"Ketika itu, sekitar tahun 1927, saya ditugasi Kiai Hasjim
Asj'ari, salah seorang rois PB Syuriah NU, untuk menjadi
penghubung antara Kiai Wachid Hasjim yang berada di Jombang
dengan Kiai Machfud Siddiq, Ketua Umum PB ranfidziah NU yang
berada di Surabaya. Apa yang diputuskan di Jombang saya
sampaikan ke Surabaya, yang diputuskan Surabaya saya sampaikan
ke Jombang," katanya. Dalam muktamar berikutnya karir Masjkur
naik ke puncak selagai Ketua Umum PB Tanfidziah NU menggantikan
Machfud Siddiq.
Di muktamar di Palembang, menjelang pemilu pertama 1955, Masjkur
terpilih lagi sebagai Ketua Umum PB Tanfidziah NU. Muktamar ini
cukup penting, sebab di sanalah diputuskan NU keluar dari
Masyumi. NU kemudian menjadi partai politik dan ikut dalam
Pemilu 1955 -- muncul menjadi salah satu dari empat besar di
samping PNI, Masyumi dan PKI. "Sejak itu saya menjadi anggota
parlemen -- sampai sekaran kata Masjkur.
MASJKUR juga pernah menjadi ketua Fraksi PPP di DPR. Dalam
periode ini ia memegang peranan lahirnya UU Perkawinan (1975).
"Sebelumnya, dalam beberapa kali sidang, tidak ada satu pasal
pun yang berhasil disepakati oleh keempat fraksi," katanya.
Masjkur lantas mengambil jalan pintas pasal-pasal yang
disepakati semua fraksi diparaf, sisanya dibicarakan kembali. Ia
kemudian berbicara dengan beberapa pejabat tinggi bahkan dengan
Presiden.
Akhirnya UU tersebut selesai dengan cepat, meskipun sebelumnya
sempat menimbulkan heboh. Para pemuda, pelajar dan mahasiswa
Islam berdemonstrasi di DPR. "Bahkan rumah saya dikepung para
pemuda, mereka melarang saya berangkat ke DPR," tuturnya.
Dalam organisasi NU, kini Masjkur duduk sebagai Rois Tsani
(kerua dua) PB Svuriah (legislatif) yang terdiri dari para ulama
terkemuka. Bergabungnya Masjkur dalam NU, bahkan menjadi salah
seorang pendirinya, bukan tanpa alasan. Dalam ajaran Islam,
katanya ulama adalah warotsatul anbiya (pewaris para nabi).
"Dengan mengikuti para ulama, insya Allah kita bisa mengikuti
jejak nabi," katanya. Penirian politiknya tidak lepas dari
landasan agama. Masjkur berpendapat bila untuk menyempurnakan
kehidupan agama diperlukan sesuatu, politik misalnya, maka
berpolitik itu wajib hukumnya.
Sejak kecil Masjkur tak jemu-jemunya menimba pengetahuan agama
dari pesantren ke pesantren. Lahir 30 Desember 1902 di Desa
Pagetan, Singosari, Malang (Jawa Timur), pada usia 10 tahun ia
nyantri di Pesantren Siwalan Panci, kemudian ke Tebuireng
(keduanya di Ja-Tim), lantas ke Jamsaren (Sala, JaTeng,
Bangkalan (Madura), kemudian Pesantren Ngamplang, Garut
(Ja-Bar). Seluruhnya ditempuh selama 12 tahun. Di setiap
pesantren ia mengaji salah satu pengetahuan agama -- Masjkur
lebih cenderung mempelaari hadits.
"Belajar di pondok-pondok pesantren ketika itu tidak bayar.
Hanya membayar iuran lima sen kepada lurah pondok saja,"
katanya. Seperti santri lainnya, ia juga memasak atau mencuci
pakaian sendiri. Untuk biaya hidup sehari-hari, pemuda Masjkur
menerima kiriman wesel dari orang tuanya, Haji Ma'shum, seorang
petani dan pedagang yang memiliki tanah luas.
Di Jamsaren (Sala) itu pula, untuk pertama kali Masjkur belajar
menulis dan membaca huruf Latin pada seorang nyonya Belanda di
seberang pesantren. "Unnlk belajar membaca menulis itu saya
membayar 25 sen sebulan," katanya. Masjkur, begitu pula keempat
adiknya, memang tidak mendapat pendidikan seperti itu. "Soalnya
ayah saya sangat anti pada hal-hal yang berbau Belanda. Beliau
bersikap non-cooperation, tidak mau bekerjasama dengan
penjajah," rambahnya.
Sikap politik orang tuanya itu rupanya kelak mempengaruhi sikap
politik, Masjkur. Sampai sekarang, Masjkur hanya menguasai
bahasa Inggris dan Arab secara pasif. "Bahasa Belanda,
sedikit-sedikit tahu juga," ujarnya. Pernah menjadi Menteri
Agama empat kali, Masjkurlah yang menanamkan basis Departemen
Agama dengan membentuk kantor-kantor urusan agama di seluruh
tanah air pada 1950. Ia pula yang membentuk PTHI (Pendidikan
Tinggi Hakim Islam) yang kemudian berkembang menjadi PGA dan
IAIN.
Dalam usia tua sekarang ini, selain menjadi Wakil Ketua DPR-MPR,
Masjkur juga menjadi Ketua III DPHN Angkatan 45 dan anggota
pleno PB Legiun Veteran RI. Ada pengalaman yang sangat mengesan
di hatinya ketika tentara Belanda menyerang Yogya, yang pada
1948 menjadi ibukota RI. Ketika itu ia sebagai Menteri Agama.
Dengan hanya mengenakan piyama saja, sang menteri keluar rumah
lewat belakang. Tiba-tiba Saiful, anak tunggalnya menyusul.
Di tengah jalan ia dihadang tentara Belanda. "Tapi saya
diloloskan karena saya bilang mau ke kantor agama. Ketika itu
Belanda tidak berani mengusik urusan-urusan yang bersangkutan
dengan agama," tuturnya. Khawarir Belanda akan menembaknya dari
belakang, Saiful digendong di depan. "Kalau ditembak biarlah
kami mati bersama-sama," katanya. Alhamdulillah, mereka selamat.
Kini Drs. Saiful, 40 tahun, menantu bekas Menteri Pertanian
Thajib Hadiwijaya, memberinya dua cucu (putri) yang mungil.
Sejak dua tahun lalu Masjkur berhenti merokok. Ia tidak mengidap
penyakit yang biasanya diderita orang-orang lanjut usia. Hanya
kedua belah matanya dioperasi di Jerman Barat pada bulan Puasa
lalu, karena diserang catarac.
Berbeda dari rumah para pejabat tinggi lainnya, rumah Masjkur di
Jalan Imam Bonjol 22, Jakarta Pusat, tidak gemerlapan. Interior
rumah yang dihuni sejak 1952 itu, biasa-biasa saja. Tak ada
hiasan atau pajangan apa pun di ruang tamu. "Gambar-gambar
orang atau patung-patung tidak ada. Itu kan dilarang agama,"
katanya. Hanya ada sebuah jam dinding dan dua buah lukisan
pemandangan alam. "Itu pemberian seorang kenalan pelukis dari
Bandung," ujarnya lagi.
Bila tidak ada urusan yang sangat penting, sore sampai dini hari
Masjkur tidak keluar rumah. Pada saat-saat itu ia juga tidak
bersedia menerima tamu. "Bahkan telepon dari luar pun, di malam
hari, biasanya juga tidak kami layani," katanya. Setelah
sembahyang maghrib, seperti halnya orang-orang alim, ia berzikir
sementara menunggu saat sembahyang isya. Atau membantu anak
kemanakannya mempelajari hadits. Tapi lebih sering membimbing
kedua cucunya mengaji Al Quran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini