Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Kiai masykur, sikakek berambut putih

Wakil ketua dpr-ri, satu-satunya anggota ppki yang masih hidup. pada zaman revolusi, selain berkecimpung dalam kegiatan politik, juga bergerak dalam perjuangan bersenjata. belajar membaca pada nyonya belanda.(tk)

25 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMASUKI usia 80 tahun, seluruh rambutnya kini memutih. Tapi Haji selalu tampak sehat. Bahkan sejak pagi, setelah bersembahyang subuh, ia tetap rajin berjalan kaki--walau hanya dengan mengelilingi rumahnya. Olahraganya yang lain: naik-turun tangga musholla yang terletak di lantai dua rumahnya. Kakek dua orang cucu itu adalah Kiai Haji Masjkur, satu-sarunya anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang masih hidup--dan kini dikenal sebagai Wakil Ketua DPR-RK Tentang PPKI, Kiai Masjkur masih dapat bercerita saat-saat Bung Karno melohi tokoh-tokoh Islam waktu itu -- termasuk Masjkur sendiri -- agar menerima Pancasila sebagai dasar negara. "Bung Karno tak hanya pandai berpidato, tapi juga pintar melohi," kata Kiai Masjkur. Karena lobi itu pula akhirnya Bung Karno mengucapkan pidato 1 Juni 1945 yang rerkenal itu. Setelah pidato iru Pancasila pun diterima oleh semua golongan yang ada dalam PPKI. Selain berkecimpung dalam kegiatan politik, Masjkur juga bergerak dalam perjuangan bersenjata. Misalnya dengan membentuk Barisan Hizbullah (Tentara Tuhan) pada 1943 bersama para tokoh Islam lainnya seperti KH Wachid Hasjim KH Zainul Arifin, Prawoto Mangkusasmito. Ia masih ingat, pembentukan laskar yang terdiri dari para pemuda Islam itu berlangsung di sebuah gedung di kawasan Menteng yang kini menjadi Kantor Imigrasi Jakarta Pusat. Ketika itu Masjkur menjadi salah seorang pimpinan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) bagian pertahanan. Itulah sebabnya ia juga menjadi "panglima" laskar Islam tersebut. Masjkur sendiri juga terjun melatih mcreka, bahkan menjadi pimpinan Pusat Latihan Kemiliteran di Cibarusa, akarta, pada 1944. Karena pengalamannya dalam perjuangan bersenjata, ia kemudian terpilih menjadi anggota Dewan Pertahanan Negara (1946-48) pimpinan Mr. Amir Sjarifuddin. Untuk memperkuat perjuangan iueliarek Suroboyo menghadapi Inggris pada November 1945 --kemudian terkenal dengan Hari Pahlawan--Masjkur membentuk Barisan Sabilillah bersama para ulama lain seperti KH A. Wahab Chasbullah, KH Bisri Sansuri, KH Hasjim Asj'ari. "Sabilillah terdiri dari para kiai, untuk memimpin mengarahkan Hizbullah. Dengan pimpinan para kiai, dalam pertempuran anak-anak Hizbullah itu jiwanya jadi kuat," kata Masjkur. Masjkur dikenal sebagai salah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Kaum Ulama) di Surabaya pada 1923. Para pendiri, sekitar enam orang, kemudian menjadi pimpinau Cabang atau wilayah di tempat tinggal masing-masing. "Saya menjadi Ketua Cabang NU di Malang," katanya. Dari sini ia meroket sebagai salah seorang anggota staf Pengurus Besar NU. Dalam kedudukan ini ia sempat melakukan peranan cukup penting. "Ketika itu, sekitar tahun 1927, saya ditugasi Kiai Hasjim Asj'ari, salah seorang rois PB Syuriah NU, untuk menjadi penghubung antara Kiai Wachid Hasjim yang berada di Jombang dengan Kiai Machfud Siddiq, Ketua Umum PB ranfidziah NU yang berada di Surabaya. Apa yang diputuskan di Jombang saya sampaikan ke Surabaya, yang diputuskan Surabaya saya sampaikan ke Jombang," katanya. Dalam muktamar berikutnya karir Masjkur naik ke puncak selagai Ketua Umum PB Tanfidziah NU menggantikan Machfud Siddiq. Di muktamar di Palembang, menjelang pemilu pertama 1955, Masjkur terpilih lagi sebagai Ketua Umum PB Tanfidziah NU. Muktamar ini cukup penting, sebab di sanalah diputuskan NU keluar dari Masyumi. NU kemudian menjadi partai politik dan ikut dalam Pemilu 1955 -- muncul menjadi salah satu dari empat besar di samping PNI, Masyumi dan PKI. "Sejak itu saya menjadi anggota parlemen -- sampai sekaran kata Masjkur. MASJKUR juga pernah menjadi ketua Fraksi PPP di DPR. Dalam periode ini ia memegang peranan lahirnya UU Perkawinan (1975). "Sebelumnya, dalam beberapa kali sidang, tidak ada satu pasal pun yang berhasil disepakati oleh keempat fraksi," katanya. Masjkur lantas mengambil jalan pintas pasal-pasal yang disepakati semua fraksi diparaf, sisanya dibicarakan kembali. Ia kemudian berbicara dengan beberapa pejabat tinggi bahkan dengan Presiden. Akhirnya UU tersebut selesai dengan cepat, meskipun sebelumnya sempat menimbulkan heboh. Para pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam berdemonstrasi di DPR. "Bahkan rumah saya dikepung para pemuda, mereka melarang saya berangkat ke DPR," tuturnya. Dalam organisasi NU, kini Masjkur duduk sebagai Rois Tsani (kerua dua) PB Svuriah (legislatif) yang terdiri dari para ulama terkemuka. Bergabungnya Masjkur dalam NU, bahkan menjadi salah seorang pendirinya, bukan tanpa alasan. Dalam ajaran Islam, katanya ulama adalah warotsatul anbiya (pewaris para nabi). "Dengan mengikuti para ulama, insya Allah kita bisa mengikuti jejak nabi," katanya. Penirian politiknya tidak lepas dari landasan agama. Masjkur berpendapat bila untuk menyempurnakan kehidupan agama diperlukan sesuatu, politik misalnya, maka berpolitik itu wajib hukumnya. Sejak kecil Masjkur tak jemu-jemunya menimba pengetahuan agama dari pesantren ke pesantren. Lahir 30 Desember 1902 di Desa Pagetan, Singosari, Malang (Jawa Timur), pada usia 10 tahun ia nyantri di Pesantren Siwalan Panci, kemudian ke Tebuireng (keduanya di Ja-Tim), lantas ke Jamsaren (Sala, JaTeng, Bangkalan (Madura), kemudian Pesantren Ngamplang, Garut (Ja-Bar). Seluruhnya ditempuh selama 12 tahun. Di setiap pesantren ia mengaji salah satu pengetahuan agama -- Masjkur lebih cenderung mempelaari hadits. "Belajar di pondok-pondok pesantren ketika itu tidak bayar. Hanya membayar iuran lima sen kepada lurah pondok saja," katanya. Seperti santri lainnya, ia juga memasak atau mencuci pakaian sendiri. Untuk biaya hidup sehari-hari, pemuda Masjkur menerima kiriman wesel dari orang tuanya, Haji Ma'shum, seorang petani dan pedagang yang memiliki tanah luas. Di Jamsaren (Sala) itu pula, untuk pertama kali Masjkur belajar menulis dan membaca huruf Latin pada seorang nyonya Belanda di seberang pesantren. "Unnlk belajar membaca menulis itu saya membayar 25 sen sebulan," katanya. Masjkur, begitu pula keempat adiknya, memang tidak mendapat pendidikan seperti itu. "Soalnya ayah saya sangat anti pada hal-hal yang berbau Belanda. Beliau bersikap non-cooperation, tidak mau bekerjasama dengan penjajah," rambahnya. Sikap politik orang tuanya itu rupanya kelak mempengaruhi sikap politik, Masjkur. Sampai sekarang, Masjkur hanya menguasai bahasa Inggris dan Arab secara pasif. "Bahasa Belanda, sedikit-sedikit tahu juga," ujarnya. Pernah menjadi Menteri Agama empat kali, Masjkurlah yang menanamkan basis Departemen Agama dengan membentuk kantor-kantor urusan agama di seluruh tanah air pada 1950. Ia pula yang membentuk PTHI (Pendidikan Tinggi Hakim Islam) yang kemudian berkembang menjadi PGA dan IAIN. Dalam usia tua sekarang ini, selain menjadi Wakil Ketua DPR-MPR, Masjkur juga menjadi Ketua III DPHN Angkatan 45 dan anggota pleno PB Legiun Veteran RI. Ada pengalaman yang sangat mengesan di hatinya ketika tentara Belanda menyerang Yogya, yang pada 1948 menjadi ibukota RI. Ketika itu ia sebagai Menteri Agama. Dengan hanya mengenakan piyama saja, sang menteri keluar rumah lewat belakang. Tiba-tiba Saiful, anak tunggalnya menyusul. Di tengah jalan ia dihadang tentara Belanda. "Tapi saya diloloskan karena saya bilang mau ke kantor agama. Ketika itu Belanda tidak berani mengusik urusan-urusan yang bersangkutan dengan agama," tuturnya. Khawarir Belanda akan menembaknya dari belakang, Saiful digendong di depan. "Kalau ditembak biarlah kami mati bersama-sama," katanya. Alhamdulillah, mereka selamat. Kini Drs. Saiful, 40 tahun, menantu bekas Menteri Pertanian Thajib Hadiwijaya, memberinya dua cucu (putri) yang mungil. Sejak dua tahun lalu Masjkur berhenti merokok. Ia tidak mengidap penyakit yang biasanya diderita orang-orang lanjut usia. Hanya kedua belah matanya dioperasi di Jerman Barat pada bulan Puasa lalu, karena diserang catarac. Berbeda dari rumah para pejabat tinggi lainnya, rumah Masjkur di Jalan Imam Bonjol 22, Jakarta Pusat, tidak gemerlapan. Interior rumah yang dihuni sejak 1952 itu, biasa-biasa saja. Tak ada hiasan atau pajangan apa pun di ruang tamu. "Gambar-gambar orang atau patung-patung tidak ada. Itu kan dilarang agama," katanya. Hanya ada sebuah jam dinding dan dua buah lukisan pemandangan alam. "Itu pemberian seorang kenalan pelukis dari Bandung," ujarnya lagi. Bila tidak ada urusan yang sangat penting, sore sampai dini hari Masjkur tidak keluar rumah. Pada saat-saat itu ia juga tidak bersedia menerima tamu. "Bahkan telepon dari luar pun, di malam hari, biasanya juga tidak kami layani," katanya. Setelah sembahyang maghrib, seperti halnya orang-orang alim, ia berzikir sementara menunggu saat sembahyang isya. Atau membantu anak kemanakannya mempelajari hadits. Tapi lebih sering membimbing kedua cucunya mengaji Al Quran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus