Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sebuah masalah kebudayaan: wc

Kebudayaan tak hanya mencakup hak-hak yang besar, tetapi termasuk juga yang berhubungan dengan kebutuhan jasmani seperti minum atau pergi ke wc. sebagai gejala budaya, wc kita keadaannya memprihatinkan.

25 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM berbicara soal kebudayaan, orang cenderung ingat kepada masalah-masalah besar. Masalah-masalah itulah yang memberi kesan seakan-akan daerah pemikiran kebudayaan selalu harus melayang-layang jauh di atas kesibukan manusia, yang lebih langsung hubungannya dengan kebutuhan jasmani yang paling elementer, seperti makan-minum, perbuatan seks dan pergi ke WC. Sebenarnya perbuatan itu termasuk apa yang disebut kebudayaan sekalipun sudah merupakan kesibukan yang rutin dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakannya tidaklah kompleks. Bagaimana kita menyiapkan makan dan minum dan bagaimana cara kita makan dan minum merupakan suatu seni, dan memasak adalah suatu olah budaya tersendiri. Juga seks merupakan perbuatan budaya, kalau hubungan jasmani antara jenis kelamin yang berbeda tidak kita biarkan menjadi pelampiasan nafsu hewan yang tidak bertanggung jawab. Faktor tanggung jawab ini penting dalam laku budaya, sebab itulah yang membedakannya dari dorongan dan gerak naluri yang alamiah. Karangan-karangan seperti Kamasutra, Ars Amatoria dan Asmorogomo dengan petunjuk-petunjuk teknik bersanggama adalah usaha pengangkatan perbuatan alamiah ke tingkat kebudayaan. Sekarang soal pergi ke WC. Kita bisa terjerembab dalam pemikiran soal WC sebagai gejala budaya, kalau kita misalnya sedang bepergian dari Jakarta ke Yogyakarta naik Bima, kereta malam yang menurut sahibulhikayat paling top pelaanannya kepada penumpang. Ah, jangan lagi kalau kita pakai kereta senja utama atau lebih payah lagi kalau naik senja biasa. Perut kita bisa tersiksa di perjalanan, karena tak sampai hati pergi ke ruang WC nya yang kotor dan bau, bahkan kerapkali tidak tersedia air atau ciduknya. Kita di kereta api itu langsung berhadapan dengan suatu gejala budaya yang tidak pernah disinggung dalam seminar atau konperensi. Kecuali itu juga diabaikan sebagai masalah budaya oleh menteri-menteri dan pejabat-pejabat lain yang tidak pernah secara incognito jalan jalan dengan kereta api. Bahkan di hotel-hotel kelas satu di Jakarta, masih ada yang kamar WC-nya tidak terpelihara, sehingga tidak sesuai dengan harum namanya. Jangan lagi kita mencoba masuk ke kamar kecil di gedung-gedung jawatan pemerintah. Segala niat yang baik bisa urung karenanya. Ketika cakal-bakal kita, atau moyang penanam kepala kerbau pertama kita dulu mendirikan tempat bermukim dekat sungai atau laut, saya kira bukan pertimbangan ekonomi saja yang bermain dalam benaknya. Memang sungai lebih mudah mengaliri tanahnya untuk bercocok tanam dan laut menopang pencarian nafkahnya dengan menangkap ikan. Tetapi ada konsiderasi yang tidak pernah tercatat di dalam buku sejarah yang serba resmi: tempat bertahan dekat aliran air itu dicari juga untuk memenuhi kebutuhan badani yang hakiki, yakni membuang kotoran manusia yang merupakan muatan surplus . Aliran air di sini tidak saja berfun,gsi sebagai tempat "plung lap" atau mencemplungkan lalu seketika itu juga lengkapnya barang kita, tetapi juga untuk membersihkan bagian badan yang mencemplungkan itu. Jadi air sungai atau laut itu merupakan saluran alamiah yang paling efisien untuk keperluan itu, dengan tidak usah mengotak-atik dan mengangkatnya ke tingkat budaya. Tetapi celakanya kalau nenek-moyang itu sesudah berhari-hari berjalan tidak menemukan air mengalir, sedang yang dilihat hanya pasir berbukit-bukit saja atau pantai berkarang yang terjal, seperti misalnya di Gunung Kidul. Maka untuk keperluan hakiki itu ia menggali lubang di tanah atau begitu saja dilempar ballastnya di pasir, dan upacara pembersihannya diserahkan begitu saja kepada daun dan angin. Menggali lubang itu sudah merupakan olah budaya, hanya tingkatnya tetap berada pada tahap primitip. Budaya lubang atau 'jumbleng" itu adalah yang paling tinggi kita jumpai di kebanyakan desa-desa. Bahkan setelah penduduk mampu mendirikan rumah dari batu dan semen yang anggun "magrong-magrong" di kelurahan, masih juga jumblengnya tidak dikembangkan dari tingkat sahaja itu dan umumnya terhindar dari pemeliharaan lingkungan hidupnya. Dalam bahasa Jawa, lingkungan WC itu disebut "pakiwan" tempat sebelah kiri, yang secara implisit berarti tempat yang patut dihindari. Itu yang terjadi di Jawa. Di daerah-daerah lain, mungkin yang berperanan sebagai jumbleng adalah babi atau anjing yang berkeliaran di kampung. Ketiadaan atau lumpuhnya perkembangan kebudayaan WC demikian dibawa orang ke kota-kota waktu mengalami krisis urbanisasi. Akibatnya, wanita-wanita dengan pipi-pipi segar dari hawa sejuk di gunung dengan membawa muatan jualan kayunya di punggung berdiri seenaknya di pinggir jalan Kraulggan dan pipis di sana. Untung, atau sayang, pemandangan artistik itu mulai hilang dari lanskap kota Yogyakarta Hadiningrat. Tetapi yang masih hidup sehidup-hidupnya adalah kurangnya kepekaan kepada kebersihan dan pemeliharaan WC di kota-kota. Sebab yang disuruh mengawasi dan membereskan kamar kecil di hotel-hotel, kantor kantor dan kereta-kereta api adalah mereka yang datang dari kelangkaan kebudayaan WC. Kebudayaan kota modern menuntut disiplin pengaturan hidup, dan untuk melaksanakan disiplin itu sudah ditentukan saluran dan tempatnya yang khusus, juga untuk melakukan hajat besar maupun kecil. Di negara yang sudah lanjut perkembangan budaya kotanya, seperti di Amerika Serikat, setiap pompa bensin dan kedai makan di pingir jalan menyediakan kamar kecil buat umum. Tempat itu kebanyakan be gitu apik dan bersih, sehingga kakus itu terbiasa disebut secara manis 'Sestroom' kamar tempat kita istirahat dengan senang, atau "powderroom' tempat kita berlena berpupr dengan bedak yang harum. Sebaliknya di Jakarta, di mana kita cepat-cepat harus mencari lindungan batang pohon atau terbirit-birit berlari ke belakang dinding parit untuk melepaskan hajat kita - karena WC di pompa bensin tidak ada atau WC di hotel terdekat tak sedap aromanya - maka WC tetap merupakan masalah, bukan saja masalah lingkungan hidup, melainkan juga masalah budaya yang genting. Mudah-mudahan di dalam kongres kebudayaan yang disarankan Akademi Jakarta untuk diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta tahun depan tidak lupa mencantumkan acara yang masih gawat ini: soal WC. Jakarta, 14 September 1982.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus