MEMENUHI PANGGILAN TUGAS Jilid 8: Masa Pemancangan Orde Pembangunan Oleh: Dr. A.H. Nasution Penerbit: CV Haji Masagung, Jakarta, 1988, 475 halaman BANYAK tulisan dan buku yang mengupas masalah lahirnya Orde Baru. Tapi tak banyak kisah mengenai sejarah tumbuhnya Orde Baru, setelah Bung Karno jatuh sampai mantapnya kepemimpinan nasional di bawah Presiden Soeharto. Terasa ada semacam kekosongan dalam penuturan mengenai periode setelah 1966. Mungkin ada yang menganggap jarak waktunya masih terlalu dekat. Mungkin ada yang sungkan atau takut membeberkan, karena banyak pelaku sejarah masa itu yang masih hidup. Atau mungkin juga karena tidak banyak yang sempat membuat catatan dalam zaman yang penuh galau itu. Di situlah kelebihan A.H. Nasution. Jenderal purnawirawan ini dikenal sebagai tokoh yang rajin mencatat. Puluhan buku telah ditulisnya, di antaranya kisah perjalanan hidupnya, Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid 8 bukunya ini berkisah mengenai periode 1967-1970, suatu bagian yang penting dalam riwayat Orde Baru. Soalnya, dalam masa inilah terjadi konsolidasi dan kristalisasi kekuatan-kekuatan pendukung Orba. Saat itu, "bulan madu" antara ABRI dan mahasiswa telah berakhir. Muncul dua aliran besar pemikiran. Yang pertama mengutamakan diteruskannya "peng-Orba-an" di semua bidang, artinya mengubah dan menyesuaikan segala lembaga dan kebijaksanaan yang ada dengan Pancasila dan UUD 1945. Mereka dikenal dengan slogan "Konsekuen dengan UUD 1945", "clean government" atau "rule of law". Nasution termasuk kelompok ini. Kelompok kedua mencanangkan perlunya pemantapan stabilitas dulu guna memulai pembangunan ekonomi. Slogan mereka, antara lain, "Politik No, Pembangunan Yes", "back to campus" dan "program oriened". Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai kelompok ABRI-Teknokrat. Abdul Haris Nasution waktu itu menjabat sebagai Ketua MPRS. Ia ikut terlibat dalam proses tarik-ulur ini. Karena itu, apa yang ditulis dalam bukunya ini merupakan insider's stor tentang apa yang terjadi saat itu. Ia yakin bahwa, "Apa yang saya tulis ini semua fakta sejarah, terutama yang berkaitan dengan tugas saya. Berbahaya atau tidak, menurut saya, tergantung bagaimana kita menginterpretasikan fakta-fakta tersebut," ujarnya Sabtu pekan lalu, dalam acara penyerahan buku Memenuhi Panggilan Tugas jilid 8 dari Mas Agung kepada A.H. Nasution. Di buku ini tampak bahwa Nasution kecewa dengan perkembangan situasi sejak 1967, yang tak sesuai dengan harapannya. Namun, dia juga menegaskan bahwa sebagai prajurit dia akan selalu mematuhi keputusan pimpinan Angkatan Darat. Secara detail dikisahkannya "pergolakan" menjelang Sidang Umum MPRS 1968, yakni perbedaan pendapat antara pimpinan MPRS dan kabinet serta DPR. Pimpinan MPRS menganggap, tugas mereka adalah "untuk mengikuti dan mengawasi" pelaksanaan putusan-putusan MPRS, termasuk yang menyangkut pelaksanaan tugas Presiden. Sedang DPR dan kalangan menteri menilai, yang melakukan tugas itu seharusnya DPR. Jika DPR menganggap Presiden melanggar haluan negara yang telah ditetapkan, barulah MPR diundang untuk mengadakan persidangan istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Friksi itu terjadi sejak November 1967, menjelang diselenggarakannya sidang Badan Pekerja MPRS untuk mempersiapkan sidang MPRS 1968. Lalu muncullah "gerakan" untuk meretool DPR. Pimpinan DPR, yang waktu itu diketuai H.A. Syaikhu, pada 8 Februari 1967 menyetujui prakarsa Penjabat Presiden untuk menambah anggota DPR (dari 330 menjadi 414), serta me-recall 119 anggota lainnya. Pada 9 Februari 1967 keluar SK Penjabat Presiden yang menetapkan jumlah anggota DPR 414 orang. Lalu pada 28 Februari, DPR yang telah dirombak ini secara aklamasi menyetujui resolusi agar Penjabat Presiden melakukan penyegaran pada keanggotaan MPRS. Selain itu juga mendesak agar MPRS bersidang pada 20 Maret, dengan acara, antara lain, menetapkan pola dasar pembangunan nasional lima tahun dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI. Nasution kemudian secara rinci mengisahkan perkembangan yang terjadi: bagaimana dia dituduh berambisi menjadi Presiden, suasana sidang MPRS, bagaimana ia melantik Penjabat Presiden Soeharto menjadi Presiden, bagaimana dua komisi SU MPRS kemudian tak berhasil menyelesaikan tugasnya. Dia mencatat, sejak itu berakhirlah secara politik peran MPRS. Dikisahkannya kemudian bagaimana sebagai Ketua MPRS sejak 1969 dia mulai "terasing". Ia mengutip pendapat yang menyebut dia "terlalu moralis". Dia, seperti diakuinya, menyadari posisinya sebagai "jenderal tanpa pasukan", atau "politisi tanpa partai", hingga yang bisa dilakukannya adalah "menganjurkan". Buku ini juga sarat dengan berbagai kritik, dari soal "penghijauan", "komandoisme dan feodalisme", sampai korupsi. Semua itu disajikannya secara kurang sistematis, agak campur aduk, sehingga sering terjadi pengulangan. Buku ini penting sebagai catatan sejarah, setidaknya menurut versi Nasution. Dan mungkin sekali akan memancing reaksi. Tampaknya Nasution pun siap dicela. "Yang penting, dalam sejarah, fakta yang bagaimanapun -- khususnya mengenai pengelolaan negara -- adalah hak seluruh warga negara untuk mengetahuinya," ujarnya pekan lalu. Susanto Pudjomartono, Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini