Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Petisi 40 Gaya Palu

Dekan fakultas hukum untad, andi abdul salam mendapat protes mahasiswa dan 40 dosen penanda tangan petisi. abdul salam menganggap, studi perdata tidak memiliki kekuatan hukum. 17 mahasiswa diskors.

21 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KISRUH di Universitas Tadulako (Untad) Palu, Sulawesi Tengah, masih terus berlanjut. Bahkan tambah meruncing dengan keluarnya keputusan Dekan Fakultas Hukum Untad, Andi Abdul Salam, S.H. yang menindak 17 mahasiswa. Mereka ini, yang terlibat dalam aksi corat-coret di kampus itu bulan November lalu, dikenai skorsing sejak Januari ini. Ada yang diskors satu semester, ada yang dua semester. Sementara itu, hubungan antara staf pengajar di Fakultas Hukum Untad dan Andi Abdul Salam juga meruncing. Dari 60 dosen di fakultas itu, 40 dosen menyatakan tak bisa bekerja sama dengan Abdul Salam. Melalui sebuah petisi yang dikirimkan ke Menteri P dan K lewat Rektor Untad, "kelompok 40" ini minta dialihtugaskan sementara dari FH Untad. "Dia yang mundur atau ke-40 dosen yang terpaksa pamit ke tempat lain," kata seorang dosen penanda tangan petisi. Kekisruhan itu bermula dari kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Andi Abdul Salam yang tidak mengakui kehadiran Program Kekhususan Perdata di FH Untad dengan alasan bidang studi ini tidak memiliki kekuatan hukum. Menurut Abdul Salam, yang menjabat Dekan FH Untad awal tahun lalu, berdasarkan Keputusan Menteri P dan K tahun 1984, dalam lingkungan Fakultas Hukum Untad hanya ada dua jurusan, yakni Tata Negara dan Pidana. "Berarti jurusan perdata memang tidak ada. Kalaupun dilaksanakan jelas tidak mempunyai dasar hukum," katanya. Tapi, jurusan itu sudah ada sejak Untad dinyatakan sebagai perguruan tinggi negeri Agustus 1981. Namanya memang bukan jurusan, melainkan "program kekhususan" dan menumpang pada Jurusan Tata Negara. Sudah ada 45 sarjana jurusan perdata yang diluluskan dari program kekhususan ini. Sekarang jumlah mahasiswanya 140 orang. Reaksi mula-mula datang dari mahasiswa yang memilih program itu. Puluhan mahasiswa, di awal November tahun lalu, melangsungkan aksi corat-coret. Spanduk dan pamflet bertebaran di seputar Fakultas Hukum. Unjuk rasa itu "didengar" Jakarta. Melalui suratnya pada pertengahan November lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa di FH Untad memang hanya ada dua jurusan: Tata Negara dan Pidana. Namun, Program Kekhususan Perdata tetap diperbolehkan sebagai program studi yang bernaung di Jurusan Tata Negara. Abdul Salam tetap bersikukuh bahwa program kekhususan itu tidak berdiri berdasarkan hukum. Karena itu, mereka meminta agar mahasiswa yang memilih bidang studi itu pindah ke jurusan lain. Staf pengajar di FH Untad tampaknya sependapat dengan mahasiswa. Program ini tak layak dihapus, bahkan justru perlu ditingkatkan sebagai jurusan yang berdiri sendiri. Tapi pendapat mereka itu macet dan akhirnya keluar petisi Kelompok 40. "Saya hanya mampu menangis, menangisi kenyataan ini," kata Rachman Badong, Dekan FH Untad periode 1982-1988, salah seorang penanda tangan petisi. Menurut Rachman Badong, ia dan rekan-rekannya tak punya ambisi pribadi selain keinginan untuk pengembangan fakultas. Menurut seorang dosen yang enggan disebutkan namanya, dalam menanggapi setiap masalah, Abdul Salam dinilai cenderung kurang luwes. Kenyataannya, program kekhususan perdata sudah ada sejak Untad didirikan. Secara hukum memang lemah. "Namun, kalau hanya dasar hukumnya yang dipersoalkan, ia semestinya tidak hanya berpatokan pada hukum tertulis. Ia juga harus mampu mengantisipasi setiap permasalahan yang muncul di tengah masyarakat kampus," kata dosen itu. "Seharusnya Dekan justru berusaha memperjuangkan pengukuhan status program khusus yang sudah berjalan sekian lama," tambah dosen itu. Dikecam bawahannya dengan petisi, Abdul Salam balik menulis petisi tandingan dengan mengumpulkan tanda tangan dosen lain. "Ini untuk membalas petisi kelompok 40. Dengan demikian, Menteri P dan K tahu, bukan hanya saya yang jelek, tapi juga mereka," kata Abdul Salam. Cuma tak dijelaskan, apa isi petisi tandingan itu. Yang jelas, tidakan drastis sudah jatuh dengan menindak 17 mahasiswa. Di antara mahasiswa yang ditindak, sebagian ada yang di tingkat akhir. Bahkan dua orang, Nurjannah dan Nurhayati, sudah menyelesaikan skripsi. Mereka terancam drop ot dengan jatuhnya skorsing itu. Mereka hanya boleh ujian kalau bersedia minta maaf. Sampai pekan lalu belum ada dari 17 mahasiswa itu yang minta maaf. "Kami akan mempraktekkan ilmu yang sudah kami peroleh untuk menggugat dan menuntut pimpinan universitas secara hukum," ujar seorang mahasiswa yang terkena skorsing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus