BERITA baik untuk mahasiswa Indonesia. Konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan lembaga Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) yang sudah berumur satu dasawarsa lebih akan dihapuskan tahun ini juga. Tapi tunggu dulu. NKK/BKK itu baru dicabut setelah disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional, yang diperkirakan paruh pertama tahun ini. Kesepakatan itu, menurut sebuah sumber, dihasilkan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembimbing Kemahasiswaan Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta yang berakhir Jumat pekan lalu. Rakernas ini dibuka Senin pekan lalu di gedung Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Kemang, Jakarta, dihadiri para pembantu rektor III dan sekretaris Kopertis di seluruh Indonesia. Rapat ini memang tidak secara khusus membahas soal NKK/BKK, tetapi kehidupan kemahasiswaan secara menyeluruh. Disepakati bahwa di setiap perguruan tinggi ada lembaga kemahasiswaan yang sepenuhnya mandiri. "Semacam Senat Mahasiswa Universitas yang dipilih oleh mahasiswa sendiri, atau dipilih oleh wakil-wakil Senat Mahasiswa Fakultas dan Unit Kegiatan Mahasiswa," kata sumber TEMPO itu. Lembaga itu bertanggung jawab kepada rektor. Lebih kurang sama dengan Dewan Mahasiswa yang ada sebelum diberlakukannya NKK/BKK. Namun, Rakernas menyepakati tidak membolehkan nama Dewan Mahasiswa dipakai. Juga nama-nama yang didahului kata majelis, misalnya, Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) yang pernah ada -- tidak dibolehkan. Diusulkan enam nama sebagai alternatif: Forum Komunikasi Senat Mahasiswa, Forum Komunikasi dan Koordinasi Kemahasiswaan, Badan Keluarga Mahasiswa, Lembaga Kemahasiswaan, Himpunan Lembaga Kemahasiswaan, dan Organisasi Mahasiswa Intra-Universitas. Menurut seorang peserta Rakernas yang tak mau dikutip namanya, nama lembaga baru ini akan didiskusikan segera di kalangan akademis, dan mahasiswa dilibatkan. "Dengan demikian tidak akan terjadi salah penafsiran lembaga tersebut datang dari atas. Justru yang diinginkan adalah menumbuhkan demokrasi di kalangan mahasiswa," katanya. Kesepakatan yang diambil peserta Rakernas mengenai penghapusan NKK/BKK memang berjalan lancar. Rupanya, jauh sebelum ini, tanpa ribut-ribut, Menteri P dan K Fuad Hassan telah membentuk tim kecil yang diketuai oleh Soeripto, S.H., lulusan Universitas Padjadjaran Bandung, yang juga konsultan dari PT Bina Asih. Tugas tim yang beranggotakan sejumlah ahli di antaranya Prof. Slamet Iman Santoso, Enoch Markum, Sarlito Wirawan, Bagja Waluyo, mengadakan pemantauan ke berbagai kampus, melihat bagaimana aktivitas mahasiswa sehubungan dengan diterapkannya NKK/BKK. Setelah bekerja selama dua setengah tahun, tim kecil ini menyampaikan sebuah usulan penting: NKK/BKK harus diganti dengan lembaga yang lebih mandiri. Pertimbangannya, selama ini pihak administratur perguruan tinggi lebih berperan dibanding mahasiswa. "Akibatnya, wawasan mahasiswa tak berkembang. Dengan diubahnya NKK/BKK, diharapkan akan ada angin segar dalam kehidupan akademis," begitulah antara lain kesimpulan tim. Hasil tim ini memperlancar pembahasan soal NKK/BKK di Rakernas. Tim ini juga memberi masukan tentang perlunya memperbanyak kegiatan diskusi di kampus untuk menambah wawasan mahasiswa. Selain itu, tim mengamati, selama ada NKK/BKK banyak mahasiswa tak menguasai organisasi. Untuk itu, diperlukan ada semacam Kursus Latihan Kepemimpinan Mahasiswa, yang sebelum NKK/BKK pernah ada. Fuad Hassan, yang memberikan pengarahan pada pembukaan Rakernas ini, terlibat dialog cukup seru dengan peserta rapat -- satu-satunya forum yang bisa diliput wartawan. Seorang peserta mempermasalahkan kurang menonjolnya peran mahasiswa karena selama ini kebanyakan program kegiatan mahasiswa diturunkan dari atas dan bukan inisiatif mahasiswa. Fuad menanggapi, "Saya dapat memahami keadaan ini, karena sering BKK bukan hanya mengkoordinasi, tapi menjadi direksi dari kegiatan mahasiswa. Lalu ini dirasakan sebagai keterlibatan yang berlebihan dari rektorat terhadap kegiatan kemahasiswaan." Namun, Fuad selalu mengelak ketika ditanya kapan NKK/BKK itu akan diganti. Ia dengan tegas berkata, "Tidak akan ada perubahan sebelum UU Pendidikan Nasional selesai. Saya bilang semua perubahan kebijaksanaan, sesudah UU berlaku". Konsep NKK/BKK diberlakukan secara resmi 17 Mei 1978, lewat Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi (waktu itu) Doddy Tisna Amidjaja. Di masa itu mahasiswa dinilai terlalu banyak melakukan kegiatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkembangan kampus, seperti berpolitik praktis. Menurut Doddy waktu itu, tatanan baru melalui NKK/BKK memang depolitisasi kampus, politik harus keluar dari kampus. Kampus perlu di-"normal"-kan (TEMPO, 3 Juni 1978). Dalam sebuah wawancara tertulis dengan TEMPO, Menteri P dan K (waktu itu) Daoed Joesoef lebih jelas lagi menyebut ketidaknormalan kampus. Ada tiga hal. Pertama ilmu pengetahuan di dalam kampus ditanggapi dan diperlakukan secara tidak sempurna, tidak lengkap, semakin lama menjadi hanya sebagai "produk", semakin lama semakin kurang sebagai "proses", dan semakin lama semakin tidak sebagai "masyarakat". Kedua, kalaupun karena sesuatu hal ilmu pengetahuan ini terpaksa belum dapat dikembangkan dalam artiannya yang lengkap, maka titik berat perhatian secara wajar harus pada artian ilmu pengetahuan sebagai "masyarakat" dan bukan sebagai "produk" seperti yang telah terjadi selama ini. Dan ketiga, yang merusakkan artian ilmu pengetahuan sebagai "masyarakat" adalah anak didik (mahasiswa) melalui aksi dan tindakannya mengatasnamakan kampus, melalui aksi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan perkembangan kampus sebagai lingkungan hidup ilmu dalam artian "masyarakat ilmiah". Dalam konsep NKK itu lembaga BKK alias Badan Koordinasi Kemahasiswaan diketuai oleh Pembantu Rektor III dan beranggotakan Pembantu Dekan III. Ada yang disebut staf ahli yang terdiri dari para dosen pembimbing serta tokoh-tokoh mahasiswa yang dianggap mengetahui seluk beluk kemahasiswaan. Namun, di banyak perguruan tinggi wakil-wakil mahasiswa tak bersedia duduk di BKK. Gelombang protes muncul di mana-mana, menolak kehadiran NKK/BKK ini. Beberapa Dewan Mahasiswa -- yang statusnya dibekukan -- menyelenggarakan pertemuan untuk membuat konsep yang memodifikasi NKK. Tapi lebih banyak yang berkoar-koar dengan atau tanpa corat-coret. Dan NKK/BKK jalan terus. Gelombang protes turun-naik. Belakangan hampir-hampir lenyap. Mahasiswa sibuk belajar mungkin. Masalah ini baru muncul lagi, dan dengan cepat menjalar disertai aksi mahasiswa di beberapa kota, bersamaan dengan ramainya perbincangan di sekitar Rancangan Undang Undang Pendidikan Nasional. Di RUU itu banyak dicantumkan tentang kebebasan akademis dan kebebasan mimbar. Misalnya, Fuad Hassan ditodong untuk berdialog dengan sekelompok mahasiswa ITB awal November tahun lalu. Beberapa hari setelah itu, ketika berada di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Fuad diberondong berbagai poster. Terakhir, akhir tahun lalu, di kantornya Fuad Hassan dengan terpaksa menerima perutusan mahasiswa yang mengatasnamakan mahasiswa Indonesia -- istilah yang sama sekali tak disukai Fuad. Semua aksi mahasiswa itu mempermasalahkan dan meminta agar Fuad mencabut atau setidak-tidaknya meninjau kembali NKK/BKK. Uniknya, di setiap kesempatan itu Fuad justru "di atas angin" dan berkesempatan memberi kuliah gratis tentang apa itu kebebasan akademis, kebebasan mimbar akademis, otonomi kampus, dan sebagainya. Dalam rapat-rapat Pansus (Panitia Khusus) DPR yang membahas RUU Pendidikan, masalah NKK/BKK sering pula diomongkan. Ada pendapat yang menyebutkan keberadaan NKK/BKK itu sudah tidak beralasan dikaitkan dengan stabilitas politik dan keamanan yang mantap. Dan kini Rakernas di gedung LPPI Kemang itu sudah mengisyaratkan "kematian" NKK/BKK. Namun, seperti yang dikatakan Drs. Imam Sujudi, Purek III IKIP Jakarta Rakernas tidak melahirkan keputusan tetapi masukan-masukan. "Kita tidak memutuskan sesuatu untuk dilaksanakan. Sekarang masukan itu ada di Direktorat Kemahasiswaan. Nanti dibawa ke atas untuk dirumuskan, kemudian baru menjadi pedoman aturan," kata Imam Sujudi kepada Tommy Tamtomo dari TEMPO. Yusroni Henridewanto dan Muchsin Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini