MENGUAK DUNIAKU -- KISAH SEJATI KELAINAN SEKSUAL Oleh: Ramadhan KH. dan R. Prie Prawirakusumah Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti Jakarta, 1988, 541 halaman TULISAN tentang kelainan seksual tidak jarang kita temukan di berbagai media, surat kabar maupun majalah. Bahkan PT Pustaka Utama Grafiti pernah menerbitkan telaah tentang itu dalam dua buku Kami Bukan Lelaki (1986) dan Gay -- Dunia Ganjil Kaum Homofil (1987). Umumnya kelainan seksual ini dilihat dari sudut pandang orang ketiga, berdasarkan penelitian dan wawancara. Tulisan-tulisan ilmiah, semiilmiah, atau populer selalu hadir dengan warna seperti itu. Dan hingga saat ini, khususnya di tanah air kita, persoalan ini kita anggap semata-mata sebagai hal yang klinis-psikologis atau klinis-psikiatris sifatnya. Ia belum menggejala sebagai masalah sosial, seperti yang terdapat di Amerika, misalnya. Celakanya, kelainan seksual ini, seperti halnya kelainan-kelainan yang lain, sering dihadapi dengan sikap yang tidak fair oleh masyarakat sekelilingnya, tidak terkecuali masyarakat kita. Kesalahan sering kita timpakan pada mereka, tanpa sedikit pun upaya di pihak kita untuk memahami duduk soalnya. Tidak jarang kita memetik kegembiraan dari kelainan mereka. Terhadap orang cacat pun kita selalu tidak adil dan bersikap merendahkan. Suatu masyarakat konvensional memang selalu tidak dapat menerima sesuatu yang dianggapnya tidak normal. Inilah yang kita rasakan setelah membaca Menguak Duniaku, sebuah pengakuan yang jujur dari seseorang yang mengalami kelainan seksual. Hendrika, sebagai protagonis dalam kisah ini, memberontak terhadap keluarganya, lingkungan teman-temannya, dan masyarakatnya. Pemberontakan itu terpaksa dilakukannya karena perjalanan hidupnya yang pahit, khususnya dalam bercinta. Ia dengan gagah berani mencoba menampilkan identitasnya. Secara jasmaniah ia adalah seorang wanita, tetapi secara rohaniah ia adalah lelaki tulen. Kondisi rohaniah itulah yang dipertahankannya mati-matian. Kisah cinta pun terjalin antara Hendrika dan Dewi. Keluarga kedua pihak tidak dapat menerima cinta "sumbang" ini dan berupaya keras memisahkan mereka. Hendrika merasa ditantang untuk melakukan perlawanan. Perlawanan itu pun tak terelakkan. Akibatnya, Hendrika pernah ditahan di kantor polisi dan dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Upayanya memperistri Dewi senantiasa membentur tembok. Sementara itu, dua wanita lain, Sunanti dan Rima, yang juga teman sekolah Hendrika, dengan pasrah menanti uluran kasih Hendrika. Kasih yang tidak pernah mereka dapatkan betapapun akhirnya hubungan Hendrika-Dewi terputus secara tragis. Hendrika ternyata menyerahkan cintanya kepada Ela, yang muncul kemudian, ketika kemelut kisah-kasih Hendrika-Dewi mencapai puncaknya. Dengan Ela inilah Hendrika menikmati malam pertamanya sebagai suami. Dengan wanita itu pulalah Hendrika menyelimutkan kehidupan yang penuh dengan kesetiaan dan cinta. Hendrika memang tidak dapat kita anggap sebagai "wakil" kaum yang mengalami kelainan seksual itu. Tapi kasus yang menimpa tokoh ini agaknya tidak berbeda jauh dengan kasus yang memojokkan tokoh-tokoh lain, kaum yang sejenis dengan Hendrika. Ini seakan jeritan yang selama ini kita abaikan. Misi itu yang tampaknya ingin disampaikan Ramadhan K.H. dan R. Prie Prawirakusumah, dengan buku ini. Mereka berdua pun seakan bersikap partisan dan secara implisit mengatakan, kita harus meninjau kembali sikap kita selama ini. Kalau hanya untuk sampai ke sana, kedua pengarang sebenarnya tidak perlu menulis buku setebal ini. Kisah cinta segi lima ini bisa dipadatkan, tidak perlu diuraikan berpanjang-panjang karena hanya akan melelahkan pembaca. Jangkauan pembaca yang luas telah menjadi obsesi kedua pengarang ini dengan menampilkan gaya bertutur ala novel-novel populer. Romantisasinya sering terasa berlebihan, vulgar, dan tidak meyakinkan. Buat pembaca yang kurang senang membaca buku-buku telaah, kisah ini agaknya dapat memberi pemahaman sedikit tentang arti lesbian dan gay. Juga tentang kondisi orang-orang yang mungkin menjalani operasi kelamin atau hormon dalam tubuh yang menyebabkan kelainan seksual itu. Paling tidak, buku ini bisa menambah pengetahuan kita tentang kehidupan orang-orang yang selama ini kita anggap tidak punya masalah, karena toh mereka bisa berkelompok dengan rekan-rekan senasib. Padahal, kalau ada salah seorang anggota keluarga kita seperti mereka, mungkin kita akan menganggap buku ini sangat berharga dan kita akan mendukung perjuangan Hendrika untuk menampilkan identitasnya secara terbuka itu. Sori Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini