Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nada-nada itu seperti menyangkut di kerongkongan. Lagu berjudul Negriku itu sebenarnya sangat biasa. Begitu pula awal musiknya: sebuah akor minor yang dimainkan gitar akustik berulang-ulang, meluncur tanpa intro, tanpa pretensi buat memikat pendengar.
Tak seperti dalam lagu-lagu lain di album yang sama, album Manusia 1/2 Dewa, gitar dan suara Iwan Fals dalam Negriku lebih cocok disebut sayup ketimbang garang. Gitar berikut segenap aransemennya mundur ke belakang, seraya memberikan "panggung" kepada lirik yang menyuarakan sembilan puluh persen ketidakberdayaan dan kelelahan, sepuluh persen harapan. Sama seperti musik yang diberi aksentuasi lewat repetisi nada serta akor, syair Negriku banyak berisi pengulangan.
Kita bisa menangkap kegetiran dalam ungkapan-ungkapan yang lebih dalam ketimbang sebuah jargon populer. Iwan, yang sayang kepada tanah air, sekarang bercerita tentang negeri para penipu, sebuah negeri yang digambarkannya terkenal ke segala penjuru, tapi surga bagi orang yang tak tahu malu. Di sana, harap dan pasrah bercampur: Bersih-bersih, bersih, bersihlah negriku/ malu-malu, malu, malulah hati/ kotornya teramat gawat, ya kotornya sangat. Dan itulah suatu negeri yang telah mendatangkan rasa perih bagi penyanyi lagu-lagu balada ini.
Album Manusia 1/2 Dewa terdiri atas 12 lagu. Tapi Iwan Fals berbicara tentang banyak hal, kecuali cinta romantis yang menjadi trademark-nya setelah era reformasi: korupsi, politik uang, kekerasan, runtuhnya benteng keadilan, pengacara busuk, dan presiden baru. Patut dicatat, lagu-lagu dalam album ini lahir pada masa penuh gejolak, masa transisi dari pemerintahan Soeharto ke B.J. Habibie pada 1998. Kita tahu, sejarah banting setir, berbelok arah. Pintu kebebasan mulai terkuak dan peristiwa-peristiwa istimewa di sekitar suksesi itu mendatangkan inspirasi bagi seniman berpendirian kritis macam Iwan.
Memang, kita melihat, Iwan nyerocos, menumpahkan kemarahan dan kedongkolannya dalam album Manusia 1/2 Dewa. Pria kelahiran Jakarta, 3 September 1961, ini kembali melontarkan kritik-kritik keras dan menyengat lewat syair lagu. Inilah ciri khas lagu Iwan sejak pemunculan album solo perdananya, Sarjana Muda. Namun, sayang sekali, manakala melodi "menyingkir", memberikan jalan kepada sang lirik, tidak banyak lirik yang menggunakan kesempatan ini sebaik Negriku.
Asik Nggak Asik bergerak dalam blues 12 bar yang dinamis. Garis melodinya sederhana, tapi tak buruk. Permainan gitarnya, bas, berikut strumming, tak terlampau istimewa, tapi amat tepat mendukung irama. Namun liriknya yang satiris rupanya tidak bergerak menuju suatu kesimpulan lebih dalam. Sebaliknya lirik Desa, yangmungkin sekalimenyerupai ceramah sosiologi tentang ketergantungan desa-kota. Desa harus dijadikan kekuatan ekonomi, agar warganya tidak hijrah ke kota. Sedangkan lagu Manusia 1/2 Dewa berisi pesan dan harapan buat presiden mendatang: bermoral, berakhlakharapan yang digambarkan pada sampul album: Dewa Wisnu, sang pemelihara, memandang bumi yang sedang dilanda perang saudara.
Iwan mengaku kebelet mengeluarkan albumnya ini. Musik memang kurang tergarap, tapi ia tak punya cukup waktu mendapatkan arranger yang bakal mengemas musiknya. Sasarannya satu, dirilis sebelum pemilihan presiden 5 Juli 2004.
Lebih dari 20 tahun lalu, kita mendengar Iwan menyanyi tentang gurunya. Dengan iringan gitar, banyo, dan biola, ia menggambarkan sosok bernama Oemar Bakrie, seorang guru lugu yang bertahan hidup pada era ketika para guru kehilangan pamor. Lukisan komikaltapi realisyang panjang dalam liriknya diakhiri dengan sebuah helaan napas: ia pegawai negeri belaka. Lantas kita juga mengenal deklarasinya yang istimewa dalam lirik dan melodi yang hebat, Galang Rambu Anarki.
Iwan memang telah berjalan jauh. Sebagian fans mungkin rindu akan sosok Iwan yang memotret realitas dengan kacamata kritis pada 1980-an. Tapi Manusia 1/2 Dewa bukan albumnya yang terbaik.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo