Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kisah Pelukis di Sampul Buku

Balai Pustaka meremajakan sampul buku-buku sastra. Pasar menghendaki buku dengan desain sampul atraktif.

11 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Balai Pustaka adalah sosok perempuan berambut panjang. Matanya hitam penuh seperti karya-karya Jeihan, tubuhnya melayang, selendangnya melambai seperti tertiup angin. Di bawahnya, seorang lelaki bertubuh legam, dengan tangan terkembang, tapi mustahil menjangkau perempuan itu. Gambaran kesia-siaan ini semakin depresif dengan sketsa gelas pecah pada latar belakang, anjing dan babi hutan menatap tajam.

Sang Kuriang, drama karya Utuy Tatang Sontani yang melukiskan kompleks oedipus, percintaan Sang Kuriang-Dayang Sumbi, kini tampil dengan sketsa dan cat air cukup atraktif. Sangat berbeda dengan penerbitan pertama pada 1959, ketika teks drama itu hanya dibalut tulisan Sang Kuriang, tanpa gambar.

Balai Pustaka juga sosok manusia dengan mata bulat, besar, melotot, serta garis-garis serba tebal dan jelas, menggarisbawahi guratan wajah atau tangan. Dalam Manusia dan Tanahnya, buku sastra karya Aoh K. Hadimadja, gambar si manusia mendekati desain sampul album kelompok rock tahun 1970-an, King Crimson. Menurut rencana, tahun 2005 ini ilustrasi Manusia dan Tanahnya akan disempurnakan dengan sapuan warna lain pada latarnya—lebih semarak ketimbang putih belaka.

Memang desain sampul buku-buku terbitan PT Balai Pustaka tak pernah lepas dari dua ciri: model sketsa buah tangan Adam Brata, dan pola manusia dengan garis mata melotot karya Adjie Soesanto. "Mendesain ulang buku-buku sastra tidak hanya untuk menambah daya tarik, tapi juga menonjolkan ciri khas kita. Agar orang yang melihat deretan buku langsung tahu yang mana buku Balai Pustaka," kata Adjie, yang sudah 22 tahun mendesain kover buku-buku Balai Pustaka.

Ya, Adjie dan Adam adalah desainer Balai Pustaka yang secara intens terlibat dalam peremajaan kover-kover buku Seri Sastra Nostalgia, program khusus yang dimulai sejak 2000. Balai Pustaka bagian penting perjalanan sastra di negeri ini. Ia sudah beroperasi sejak 1917 dengan nama Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat). Tapi kini ia membuka diri terhadap perubahan. Dan sejauh ini, sudah 47 sampul buku "direnovasi"—termasuk Atheis karya Achdiat K. Mihardja, Karena Mertua-nya Nur Sutan Iskandar, dan Kereta Api Baja 1469 karya Vsevolod Iwanov. Sastrawan Taufik Ismail diangkat sebagai konsultan, bertugas memilih karya-karya sastra yang layak diterbitkan kembali dengan penampilan baru dan sekaligus dapat diterima pasar.

Manajemen Balai Pustaka sadar, tanpa kover yang atraktif, buku-buku bagus dan bermakna terbitan mereka tidak akan dilirik orang. Tentu, Balai Pustaka tak akan bersaing langsung dengan sampul-sampul buku chicklit ataupun teenlit, buku-buku dengan penampilan cukup mencolok di rak-rak toko buku. Desain kover buku jenis ini didominasi warna cerah dan pastel, gambar-gambar bergaya poster Prancis dan neo-cubist, dengan tipe huruf cenderung feminin. Sebuah gaya belakangan ini mulai mengalami penyeragaman di sini.

"Penyeragaman itu dimungkinkan dengan ketersediaan teknologi dan bahan baku di Internet yang ada sekarang ini," kata Budiman, desainer senior pada penerbit Mizan, Bandung.

Ya, pemasaran di balik ini memang cukup menentukan. Ilustrasi boleh jadi bisa dinomorduakan pada buku-buku atau penulis yang sudah punya nama seperti Dan Brown dan Da Vinci's Code. Dengan kata lain, desainer lebih memusatkan kreativitas pada aspek hurufnya. Sebaliknya, buku yang tidak setenar buku-buku Dan Brown mencari celah untuk mencuri perhatian calon pembeli.

Tapi, inilah dunia di bawah revolusi komunikasi. Budiman—juga dikenal dengan Gus Ballon—merasakan betapa sulitnya menilai kreativitas dan orisinalitas desain sampul buku. Apalagi jika penerbit sudah memberikan patokan gaya tertentu. Dalam keadaan ini, kreativitas desainer sampul buku tak terlalu diperlukan. Menurut Hari Wahyu, desainer kover asal Yogyakarta, sampul buku sekarang ini tidak ubahnya seperti acara televisi. Program-program yang laku di luar negeri ditayangkan di sini atau dibuatkan versi Indonesia-nya. "Apalagi untuk membuat interpretasi yang mewakili isi buku," Adjie menambahkan.

Pasar memang dominan, tapi bukannya tanpa perlawanan. Di mata Hari Wahyu, misalnya, "Kover buku sebagai interpretasi desainer, dan dimungkinkan eksperimen." Dan ada masanya buku-buku berdesain artistik memang lebih dulu hadir di negeri ini. Buku-buku Pustaka Jaya dulu mampu menampilkan kover bak kanvas pelukis. Maut dan Cinta karangan Mochtar Lubis, dengan desain kover lukisan Popo Iskandar. Tampilannya terkesan sederhana: ulasan warna merah dengan aksen garis putih membelah di tengahnya, seperti petir, dengan latar belakang cokelat gelap. Juga Pulang karya Toha Mohtar, yang dibungkus dengan lukisan abstrak berbentuk manusia, seperti sedang menatap matahari terbenam. Desain sampul buku terbitan Pustaka Jaya itu tidak akan terkesan ketinggalan zaman bila "bahan mentahnya" kembali diolah dengan perangkat modern.

Budiman menceritakan pengalamannya pada awal 1980-an. Terus terang saja, ia merasa jengah dengan desain kover buku-buku Islam yang selalu identik dengan tulisan Arab. Dan ia mengajukan desain dengan tempelan sobekan kertas. Akhirnya, desain dengan gaya sobekan kertas menjadi ciri khas Mizan periode itu. Suluk Pesisiran karya Emha Ainun Nadjib, terbitan Mizan, akhirnya menang dalam lomba kover yang diadakan Ikapi pada 1990.

Perkembangan desain kover buku di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari kreasi penerbit-penerbit kecil asal Yogyakarta yang marak bermunculan pada 1998, setelah Soeharto jatuh. Waktu itu ada gairah luar biasa menerbitkan kembali buku-buku yang selama Orde Baru dilarang, terutama yang kekiri-kirian. Kebebasan berkah reformasi rupanya menetes ke kreativitas desain sampul buku. "Yang dulunya menggambar sepatu lars tentara saja dilarang, setelah reformasi anak-anak muda bebas menggambar apa saja," kata Hari Wahyu.

Era 2000-an memang tak sama dengan era 1990-an. Apa pun, yang jelas sekarang masih ada penerbit Balai Pustaka yang mencoba mengikuti selera pasar tanpa meninggalkan identitas kreasi-kreasinya.

Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus