"PETISI SOETARDJO" DAN PERJUANGANNYA Oleh: Drs. Setiadi Kartohadikusumo Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1990, 247 halaman DI kalangan generasi muda kita, nama Soetardjo mungkin hanya dikenal dalam kaitannya dengan "Petisi Soetardjo". Petisi yang diajukan Soetardjo Kartohadikoesoemo, bersama sejumlah rekannya anggota Volksraad (disetujui dengan perbandingan suara 26:20), pada 9 Juli 1936 itu meminta agar Hindia Belanda secara berangsur-angsur, dalam sepuluh tahun, dapat memperoleh otonomi dalam lingkup Kerajaan Belanda. Petisi ini pada 1938 ditolak oleh pemerintah Belanda. Di antara golongan nasionalis Indonesia, terutama yang radikal, petisi ini kurang mendapat dukungan karena dianggap terlalu lunak. Malah PSII, salah satu partai terbesar saat itu, menganggap harapan petisi untuk memperoleh status dominion ini "terlalu naif". Toh oleh banyak pakar, misalnya George Mc T. Kahin, Petisi Soetardjo dinilai penting karena penolakan petisi itu menyadarkan banyak orang Indonesia yang sebelumnya mengira bahwa sikap moderat dan kooperatif akan bisa menghasilkan kemerdekaan. Lika-liku lahirnya Petisi Soetardjo selama ini kurang diketahui. Memang, dalam setiap pembahasan sejarah Indonesia, petisi ini selalu disinggung. Namun, bagaimana kisah kelahirannya, juga profil pencetusnya, tak banyak diungkapkan. Lewat buku Soetardjo ini, untuk pertama kalinya pembaca awam bisa mengetahui kisah petisi ini, karena di sini Soetardjo (1890-1976) menuturkan secara panjang lebar tentang petisi yang dicetuskannya itu. Buku ini sebenarnya sebuah memoar, sehingga pencantuman nama Setiadi Kartohadikusumo (putra Soetardjo) di kulit buku, yang mengesankan dialah penulisnya, sebenarnya agak membingungkan. Kisah terbitnya memoar ini unik. Alkisah, menurut Kata Pengantar yang ditulis oleh Setiadi, setelah Soetardjo meninggal, keluarganya secara kebetulan menemukan catatan-catatan yang ditulis Soetardjo dalam helaian-helaian kertas bekas kalender. Tulisan tangan Soetardjo begitu kecil sehingga sering baru bisa dibaca dengan kaca pembesar. Ini mengagetkan keluarganya karena semasa hidupnya Soetardjo sering menolak saran anak-anaknya untuk menulis biografi. "Biarlah orang lain menulis tentang diriku, jangan saya," begitu konon ia sering berkata. Catatan itulah, yang ditulis Soetardjo hingga 1970, yang diterbitkan menjadi buku ini. Dugaan bahwa Soetardjo enggan menulis memoar agaknya kurang tepat. Susan Abeyasekere pernah menulis dalam majalah Indonesia, April 1973, bahwa tatkala melakukan penelitian mengenai Petisi Soetardjo, ia memperoleh kisah lahirnya petisi itu dari Soetardjo sendiri, yang memberikan petikan dari "memoarnya yang belum diterbitkan". Memoar Soetardjo sebenarnya bukan sekadar sebuah kisah riwayat hidup biasa. Ia kaya akan anekdot. Kelebihan Soetardjo, ia bisa menulis dengan menarik hingga kisah yang ditulisnya menjadi hidup dan enak dibaca (meski ia sering lupa mencantumkan tanggal dan waktu peristiwa). Misalnya, ceritanya tatkala ia menjadi asisten wedana (kini camat), bagaimana ia "menaklukkan" para pencuri dan bandit dengan pendekatan psikologisnya. Juga tatkala melukiskan "pasar malam" yang diselenggarakannya di berbagai daerah yang pernah dipimpinnya. Suasana zaman itu bisa amat gampang dirasakan oleh pembaca dengan gaya Soetardjo berkisah. Soetardjo bercerita dengan kaca mata seorang pamong praja. Jiwa Soetardjo memang jiwa pamong praja, yang sewaktu zaman Hindia Belanda diketahui kebanyakan bersikap kooperatif dengan pemerintah penjajah Belanda. Maka, tidak akan bisa ditemui di sini semangat nasionalisme yang meledak-ledak, yang pada zaman 1920-1940 itu menjalari banyak orang Indonesia. Dalam ruang lingkup kerjanya sejak sebagai juru tulis jaksa (1911), mantri kabupaten, asisten wedana pembantu jaksa, jaksa, wedana, dan kemudian patih (1929), terkesan bahwa Soetardjo hidup dalam dunianya sendiri, sebagai pamong praja. Memoar ini memang bisa disebut sebagai potret pamong praja kita di zaman itu. Tapi itu tidak berarti Soetardjo tidak berjuang. Dengan caranya sendiri Soetardjo berusaha memperbaiki nasib rakyat yang dicintainya, sebagai pamong praja, kemudian sebagai anggota Volksraad sejak 1931. Dan untuk itu ia berani menghadapi Belanda. Soetardjo adalah potret seorang priayi yang sabar, tenang, dan tidak meledak-ledak. Ia percaya, dengan itikad baik dan kesabaran, secara berangsur-angsur Belanda akan memberikan kemerdekaan pada Indonesia. Dalam konteks pemikiran Soetardjo seperti inilah petisinya dicetuskan. Di zaman pergerakan itu, Soetardjo mungkin bisa dikelompokkan dalam golongan nasionalis moderat. Bisa dimengerti bila menghadapi Soetardjo, Bung Karno bisa meledak-ledak. Dalam pidato "Lahirnya Pancasila", 1 Juni 1945, yang masyhur itu, Bung Karno meledek Soetardjo, yang menganggap bahwa bangsa Indonesia baru siap merdeka bila seluruh rakyat Indonesia sudah berjiwa merdeka. Bagaimanapun, sumbangan Soetardjo kepada bangsanya cukup besar. Setelah kemerdekaan, ia pernah menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat (1945), anggota Dewan Pertimbangan Agung (1947), lalu Ketua DPA (1948-1950), anggota DPR (1950-1956). Kegiatannya dalam organisasi pergerakan rakyat beraneka ragam. Mulai dari ketua cabang Budi Utomo Magelang (1909-1911), memimpin PPBB (Persatuan Pegawai Bestuur Bumiputra, 1929-1942), Direktur Soetardjo Bank (1940-1943), sampai Ketua Dewan Presidium Persatuan Pensiunan RI (1961-1965). Untuk jasa-jasanya, pada 1962 Pemerintah menganugerahkan Bintang Mahaputra Kelas IV pada Soetardjo. Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini